Perkembangan kegiatan menghafal al-Quran di Indonesia sangat fantastis, dari mulai bermunculan program tahfidz di sekolah-sekolah hingga rumah-rumah tahfidz di berbagai tempat. Namun seringkali penulis temui bahwa banyak sekali anak-anak penghafal al-Quran tetapi melalaikan akhlak yang seharusnya melekat dalam diri seorang penghafal. Fenomena seperti ini pernah terjadi di masa lalu, hingga menjadikan seorang Imam Nawawi menulis kitab at-Tibyan fi adabi hamalati al-Qur’an sebagaimana dinyatakan oleh beliau dalam muqaddimah kitab tersebut.
Krisis moral dan nilai-nilai islami dalam diri santri dan penghafal al-Quran juga menjadi sorotan banyak ulama. Para kiai dan pakar pendidikan sepakat bahwa adab menjadi misi utama dalam proses pendidikan mereka. Lebih jauh, Prof. Quraish Shihab mengingatkan kita dalam bukunya yang berjudul “Yang Hilang Dari Kita: Akhlak” bahwa moral, adab dan etika hanya efektif bila ditanamkan melalui keteladanan. Menurutnya, hilangnya keteladanan dari guru menyebabkan murid kehilangan jati diri dan etika dalam bersosial.
Nilai-nilai etika yang pudar ini sebenarnya bisa dipulihkan secara bertahap. Selain melalui keteladanan seorang guru, dapat dilakukan pula dengan kembali mengajak santri atau murid untuk mempelajari al-Quran dengan cara yang utuh. Hal ini tentunya harus dilakukan oleh guru-guru al-Quran. Apa yang harus dilakukan para guru tersebut adalah apa yang dahulu diembankan kepada Nabi Muhammad saw. Mengutip do’a nabi Ibrahim as., Allah berfirman dalam surat al-Baqarah [2]: 129
“Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Dalam doa nabi Ibrahim as. di atas terdapat peran seorang rasul yaitu membacakan (tilawah), mengajarkan kandungan dan hikmah ayat-ayat Allah (tafsir dan tadabbur), kemudian menyucikan hati kaumnya (tazkiyah). Sebagai pewaris nabi dalam mengajarkan al-Qur’an, peran seorang guru al-Quran sepertinya banyak yang terlupakan, terutama dalam hal men-tadabburi, mengambil hikmah dan menjadikan ayat tersebut sebagai penyucian jiwa. Mayoritas guru al-Quran selesai pada tahap tilawah yang berisi tahsin (perbaikan bacaan) dan tahfidz (hafalan) ataupun pada tahap tafsir (penjelasan makna ayat).
Kurangnya perhatian terhadap proses tadabbur dan tazkiyah ini menjadikan nilai-nilai pedoman dan tuntunan yang dikandung oleh ayat tidak menyentuh hati dan jiwa santri dan murid. Akibatnya, hafalan yang banyak tersebut tidak membuatnya bertambah dalam ketaatan dan akhlak yang baik.
Alasan tidak tercapainya pendidikan al-Qur’an pada tahap tadabbur dan tazkiyah biasanya dilatarbelakangi oleh metode yang kurang tepat, sumber daya yang kurang mumpuni dan orientasi pendidikan al-Qur’an yang dituju. Misalnya metode yang dipakai adalah metode yang membuat santri atau murid sibuk dalam proses tilawah saja. Atau, guru al-Qur’an yang tidak mampu mengeksplore kandungan ayat sehingga tidak mampu pula mengajari anak didik. Begitu juga orientasi pendidikan yang hanya menekankan pada jumlah hafalan saja menjadikan kurangnya dalam proses tadabbur dan tazkiyah ini.
Solusinya sebenarnya sudah tersedia di sekitar kita. Asalkan sebagai guru al-Quran mau untuk meningkatkan proses dan tahapan dalam pendidikan al-Qur’an ini. Banyak sekali metode-metode mudah dalam mentadabburi al-Qur’an. Misalnya ada metode 3T+1M atau singkatan dari tilawah, tafhim, tikror dan muraja’ah.
Ada lagi metode tadarrus al-Qur’an 5T atau singkatan dari tamhid, tilawah, tafsir, tadabbur dan tazkiyah. Metode-metode ini penting dipelajari oleh guru-guru al-Qur’an dalam rangka berperan serta dalam mengembalikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat islam. Khususnya dalam menanggulangi krisis etika di kalangan santri dan penghafal al-Qur’an.
Khoirul Muhtadin, M.Ag., Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini