Perangkat Metodis dalam Mengidentifikasi Maqashid al-Syariah

Dalam nalar Maqashidiyah atau proses rasionalisasi hukum yang menggunakan pendekatan maqashid al-syariah ada beberapa perangkat yang yang harus diperhatikan sebagai alat identifikasi. Banyak ahli yang merumuskan tentang perangkat-perangkat yang diperlukan dalam melakukan ijtihād maqāshidiyah, di antaranya Jasser Auda, al-Syatibi, Thahir ibn Asyur serta al-Raisuni. Namun tidak semua dari keempat tokoh tersebut yang memberikan rumusan yang rinci terkait perangkat-perangkat metodis yang diperlukan dalam mengidentifikasi maqāshid al-syarī‘ah dalam teks.

Ketiga tokoh pertama misalnya (Jasser Auda, al-Syatibi, Thahir ibn Asyur) hanya memberikan rumusan yang sifatnya global dan tidak merinci masing-masing poin tersebut. Jasser Auda hanya menyebutkan metode istiqrā’i sebagai kunci dalam mengindentifikasi maqāshid al-syarī‘ah, lalu al-Syatibi hanya mengemukakan lima perangkat tanpa diperinci yaitu 1) tidak ditemukannya deklarasi perintah maupun larangan; 2) memperhatikan konteks ‘illat dalam setiap perintah maupun larangan; 3) memperhatikan semua maqāsihd yang sifatnya turunan; 4) tidak ada keterangan syar’i; 5) istiqrā’i. Sedangkan Thahir ibn Asyur mengutarakan tiga poin dalam melakukan identifikasi maqāshid al-syarī’ah yaitu 1) melalui pembacaan istiqrā’i; 2) melalui ayat al-Qur’an yang memiliki kejelasan dalil; 3) melalui hadis mutawatir (Rahman, 2019: 50-51)

Berbeda halnya dengan al-Raisuni yang memberikan penjabaran rinci mengenai perangkat-perangkat yang diperlukan dalam mengidentifikasi maqāshid al-syarī‘ah yang disebutnya dengan istilah masālik al-ta’līl. Secara terminologis al-Raisuni menjelaskan bahwa masālik al-ta’līl merupakan perangkat metodis yang dipergunakan untuk mengungkap ‘illat dari syari’at tertentu. ‘Illat yang dimaksud oleh al-Raisuni bukanlah illat dalam istilah Ushul Fiqh yang kongkrit dan terbatas, namun lebih luas dari itu yaitu mencakup illat dalam maqāshid maupun ma’āni. Jadi ‘illat dalam pandangannya sepadan dengan maqāshid itu sendiri (Raisuni, 1999: 66).

Dalam masālik al-ta’līl-nya, al-Raisuni (1999: 59-67) menjabarkan lima perangkat metodis dalam mengidentifikasi maqāshid  al-syari’ah, yaitu:

  • Ijmā’

Ijmā’ merupakan kesepakatan ulama atas suatu ‘illat hukum tertentu. Seperti contohnya ‘illat hukum bagi kasus perwalian harta anak ialah belum akil-baligh sehingga belum bisa mengelola hartanya dengan baik. Maka dalam suatu kasus apabila ditemukan ijmā’ atas kasus tersebut, maka ketentuan ‘illat hukum dalam ijma’ tersebut sudah cukup untuk mewakili maqāshid al-syarī’ah tanpa perlu melakukan penalaran lanjutan jika tidak ada tuntutan tertentu.

  • Nash

Nash yang dimaksud ialah dalam pemaknaan yang spesifik yaitu nash yang memperlihatkan ‘illat secara kongkrit dalam ayat maupun hadis. Contohnya dapat dilihat dalam Q.S. al-Hasyr (59): 7:

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ

Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya. 

Penggalan ayat (كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ) menjadi frasa yang menunjukkan illat hukum yang kongkrit dalam nas. Maka berdasarkan teks atau nas dapat langsung disimpulkan bahwa fa’y (pembagian harta rampasan perang) ialah bertujuan untuk mencegah terjadinya kapitalisasi harta di antara orang-orang kaya saja.

  • Isyārah

Berbeda halnya dengan poin sebelumnya, isyārah merupakan ‘illat yang tidak langsung ditunjukkan dalam teks al-Qur’an maupun Hadis secara kongkrit namun secara tekstual terdapat dalam ayat dalam bentuk hikmah. Sebagaimana dalam Q.S. al-Ankabut: 45:

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. 

Frasa (اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ) menjadi isyārah atas ‘illat dari pensyari’atan sholat. Sebab secara gamblang dalam teks tidak ditemukan penggalan yang menegaskan illat secara kongkrit sebagaimana pada poin sebelumnya. Namun sebagai konsekuensi dari pemahaman terminologis illat yang dipilih oleh al-Raisuni, maka dapat dikatakan tepat jika ia menyebutkan bahwa “mencegah perbuatan keji dan mungkar” sebagai illat sebab menurutnya tidak ada perbedaan antara illat dengan maqāshid .

  • Korelasi Logis

Korelasi logis yang dimaksud ialah kesesuaian antara suatu hukum dan suatu perbuatan secara jelas dan logis jika ditinjau dari sisi maslaah dan mafasadah. Sebagai contoh dalam mencari illat dari pengharaman khamr maka berdasarkan informasi internal maupun eksternal ayat (asbābun nuzūl) dapat dijumpai bahwa pengharaman khamr ditujukan untuk mencegah rusaknya akal sehat manusia serta bentuk kerusakan lain secara sosial yang merupakan masalah turunan yang berpotensi terjadi dari hilangnya akal sehat (Mustaqim, 2020: 50). Maka jika dinalar, akan didapati kesimpulan yang berkorelasi logis antara pengharaman khamr dan potensi perilaku mafsadah yang dapat saja timbul.

  • Istiqra’i

Istiqra’i menjadi salah satu pendekatan yang digunakan oleh para ulama untuk membaca teks-teks syari’at. Pendekatan ini sederhananya merupakan model pembacaan induktif yang berupaya menggali maqāshid secara spesifik dari masing-masing ketentuan syara’, lalu mencoba memisahkan maqāshid yang sifatnya umum (universal value) dari maksud-maksud spesifik (particular value). (Raisuni, 2002: 189).

Masālik al-Ta’līl yang dirumuskan oleh al-Raisuni merupakan salah satu perangkat metodis ideal dalam upaya menggali maqāsid al-syarī‘ah. Sebab selain banyak dirujuk dan dapat meminimalisir subjektivitas dalam menentukan maqāshid—sehingga tidak ada unsur tasāhul (simplifikasi) dalam menentukannya, rumusan ini juga sangat fleksibel untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai basis atau batu loncatan bagi rumusan-rumusan yang lebih mutakhir.

Melalui dua poin yang telah dijabarkan di atas, seditaknya ada dua hal yang menjadi poin refleksi maqāid al-syarī’ah sebagai alat atau perspektif dalam meninjau suatu ikhtilāf fiqhiyyah. Pertama, asumsi dasar maqāid al-syarī’ah yang menekankan pada mashlaah, sebagai landasan prinsipilnya, memberikan signifikansi dalam menilai sebuah ikhtilāf fiqhiyyah dengan melakukan verifikasi awal berupa kandungan mashlaah yang ada di dalamnya—hal ini mencakup fungsi kritis dan konstuktif. Sebab prosentase yang rendah atau bahkan ketiadaan aspek mashlalah dapat menjadi indikator dari gagalnya atau tidak validnya sebuah aturan fiqhi sehingga bisa dipertanyakan kembali relevansinya untuk diaplikasikan. Hal ini juga sangat beririsan dengan ranah taqīq al-manath (penerapan atau penetapan ‘illat hukum).

Kedua, sebagai keilmuan yang menduduki posisi sebagai filsafat ilmu, khususnya ilmu hukum Islam, maqāid al-syarī’ah memiliki peran sentral dalam memberikan sebuah panduan epistemologis dalam melihat suatu masalah hukum dalam ranah hukum Islam. Hal ini menyangkut perangkat metodis yang diaplikasikan dalam analisa hukum. Perangkat metodis sangat berkaitan dengan poin pertama yang menyinggung mashlahah sebagai central point dari sebuah hukum. Sebab perangkat metodis ini selain dapat digunakan untuk memproduksi hukum, juga dapat digunakan sebagai alat dalam menganalisis suatu ikhtilāf fiqhiyyah yang terjadi. 

Asumsi teoretisnya ialah bahwa sebuah produk hukum yang “ideal” seharusnya mampu mengaplikasikan segenap perangkat metodis yang ditawarkan dan apabila terjadi suatu ikhtilāf fiqhiyyah, maka ijtihād yang paling mampu mengadopsi perangkat metodis yang dipersyaratkan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan yang utama. Namun, di sisi lain, analisis ini juga memberikan celah untuk menilai secara kritis dalam rangka merekonstruksi suatu hukum baru yang lebih “ideal” berdasarkan konstruksi epistemis maqāid al-syarī’ah.

Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A., Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A.? Silakan klik disini