Pendidikan Moral Spritualitas di Era Modern

Salah satu tantangan terbesar umat manusia saat ini adalah menghadapi era 4.0. Dimana era ini adalah era globalisasi, modern dan perkembangan teknologi yang cukup pesat. Bahkan dalam suatu istilah, zaman ini dinamakan dengan zaman yang tiada batas. Dimana komunikasi yang sangat terjangkau seakan membawa manusia pada ruang tertentu dan sempit dalam lingkup dunia yang sangat luas. Ini adalah bentuk kemodernan yang positif.

Dalam hal lain, zaman tiada batas juga termaknai dalam lingkup negatif. Maka tentu dalam menghadapi zaman era sekarang ini, bukan hanya menjadi suatu kemudahan, namun juga menjadi suatu cobaan dan ujian.

Dalam makna lain, kehidupan yang serba modern saat ini seakan bertolak belakang dengan kekhusyuan ibadah umat manusia. Contoh kecil yang konkrit yang mungkin bisa menjadi tolak ukur dua hal ini adalah misalkan pada saat ini sangat terkenal dengan era gadget. Dimana gadget ini telah diketahui akan memakan waktu yang terpakai begitu banyak.

Manusia saat ini akan mudah terlena dengan keindahan gadget yang menguji mata. Tidak sadar banyak waktu yang sudah “dirampok” oleh benda ini. Dan membuang waktu-waktu optimal untuk memperbanyak ibadah kepada Allah swt. Apalagi, banyak orang di masa sekarang ini setelah selesai ibadah langsung membuka gadget yang ada di tas nya. Ini hanya contoh kecil. Bersifat remeh namun ini semua mengikis kekhidmatan peribadahan kepada sang Khalik.

Berikutnya, ujian terberat dalam menghadapai kehidupan di masa ini adalah kehidupan yang serba “kebaratan”. Konsep hidup ini tentu menjadi “boomerang” untuk manusia khususnya kaum muslimin karena konsep tersebut dinilai jauh dari nilai agama. Mereka hanya mangadopsi nilai leluhurnya terdahulu yang mengganggap agama adalah suatu corak kemunduran dan berbahaya bagi manusia.

Permasalahan saat ini yang begitu terlihat di antaranya bentuk-bentuk spritualitas juga dianggap sebagai hal yang “tabu” bagi mereka pecinta dunia. Ya, karena sejatinya dunia adalah pengganggu fokus manusia dalam mempertahankan spiritualitas. Dua hal yang seakan tidak pernah menyatu. Seseorang yang sudah diindahkan dengan gemerlap dunia, akan condong mengurangi spiritualitas. Dan seseorang yang berada di koridor spiritualitas tinggi akan kurang dalam hal kegiatan duniawinya.

Memang tidak dapat menyatu. Namun tugas manusia adalah bagaimana keduanya dapat berjalan beriringan. Karena agama Islam mengajarkan tentang pentingnya tujuan hidup yaitu akhirat namun tidak melupakan kehidupan dunia. Tidak meninggalkan duniawi, tidak juga meninggalkan urusan akhirat. Namun manusia lengah. Dan ini nyata.

Lebih lanjut, menurut Thomas Lickona dalam bukunya Mendidik Untuk Membentuk karakter, ada delapan gejala permasalahan karakter yang dialami oleh perserta didik yang perlu mendapatkan perhatian lebih untuk merubah ke arah yang lebih baik. Gejala-gejala kerusakan moral tersebut adalah kekerasan dan tindakan anarki, pencurian, tindakan curang, pengabaian terhadap aturan, tawuran antar pelajar, ketidaktoleransian, penyimpangan seksual dan perusakan diri.

Maka suatu kesimpulan singkat, penyebab kosongnya karakter spritualitas di era modern ini adalah minimnya pemahaman tentang agama dan Ketuhanan, hodenisme duniawi, dan perilaku yang tidak baik. Secara agama Islam, kita mengenal bahwa akhlak menjadi suatu hal yang sangat penting dalam berkehidupan. Bahkan Nabi Muhammad saw bersabda dalam haditsnya,

Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia” (HR. Bukhori Muslim)

Dalam dunia Pendidikan kita mengenal Pendidikan karakter atau moral. Secara esensi sama, yaitu mementingkan Pendidikan akhlakul karimah agar menjadi kepribadian manusia dan sebagai output termahal Pendidikan. Hasil syariat dan Pendidikan adalah akhlak yang baik. Jika akhlak tidak menyatu dalam kepribadian manusia. Maka manusia akan senantiasa melakukan yang tidak baik dan jauh dari spiritualitas kepada Rabnya. 

Dari tinjauan masalah-masalah kemanusiaan yang telah diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa permasalahan moral khususnyadi dalam dan dari luar negeri umumnya merupakan masalah yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena akhlak atau karakter merupakan tujuan inti pendidikan. Maka dalam hal ini perlunya memperhatikan pengembangan pendidikan akhlak. Al-Quran memberikan peranan yang penting dalam pendidikan akhlak dan pengembangannya. Sekaligus menyatuikan moral dengan spiritualitas.

Al-Qur’an merupakan kitab pendidikan dan sekaligus kitab moral. Alasan pertama, dilihat dari segi surah yang pertama kali diturunkan adalah surat yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu surat al ‘Alaq (96) ayat 1-5, 

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ  ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ  ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ  ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ  ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ  ٥

Terjemahan: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Q.S. al Alaq/ 96: 1-5)

Kata iqra terambil dari kata qara’a yang berarti menghimpun. Dalam kegiatan iqra dalam arti menghimpun ini lahir bermacam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik yang tertulis maupun tidak. Maka dari itu, makna iqra adalah bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun tidak. Dalam arti luas, wahyu pertama yang turun di Al-Qur’an ini adalah pendidikan mencari ilmu dan mendidik manusia ke arah yang baik.

Kedua, dilihat dari segi misi utamanya, Al-Qur’an memiliki misi utama yaitu pembinaan karakter mulia. Terdapat ratusan ayat AlQ-ur’an yang secara konkrit mengatur moral dan spiritualitas manusia. Dalam hal ini Fazlur Rahman menyatakan bahwa, secara eksplisit dasar ajaran Al-Qur’an adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial.

Hukum moral tidak dapat diubah. Ia merupakan perintah Tuhan, manusia tidak dapat membuat hukum moral, bahkan ia sendiri harus tunduk kepadanya. Hal ini disebabkan karena tekanan utama Al-Qur’an adalah pada sektor moral atau akhlak.

Dari uraian diatas sekiranya dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an diturunkan benar-benar seakan sebagai “kitab pendidikan moral kehidupan manusia”. Al-Qur’an berisi tentang ujaran-ujaran yang berisi pendidikan terutama karakter manusia di masa 4.0 ini. Juga telah memberikan pembelajaran, isyarat dan inspirasi bagi lahirnya konsep pendidikan sekaligus dapat merubah akhlak atau karakter anak dari masalah-masalah akhlak anak yang telah dijelaskan diatas.

Dari bukti-bukti nyata tentang kehidupan saat ini, maka sangat berimbas kepada kekuatan spiritualitas manusia. Manusia yang secara hakikat membutuhkan agama dan Tuhan dan mempunyai kewajiban untuk ber-akhlakul karimah justru disodorkan kebiasaan-kebiasaan buruk lingkungan yang membawa mereka kepada jurang kemunduran. Ini adalah tugas manusia secara pribadi dan tugas berat masyarakat secara umumnya untuk mengubah lingkungan menjadi ke arah yang lebih baik. 

Sebagai solusi, manusia pada saat ini harus sadar akan pentingnya peranan spiritualitas dalam membentuk karakter kemanusiaan yang baik. Manusia juga harus sadar mana hal yang bersifat baik yang dapat mendukung pengembangan spiritualitas dan karakter, dan mana hal yang bersifat buruk yang dapat mengikis spiritualitas.

Dengan bentuk kesadaran-kesadaran ini akan menunjukkan dan mengarahkan manusia akan pentingnya suatu aturan lingkungan yang baik. Hal ini akan mempengaruhi karakter manusia di sekitarnya, dan akan menumbuhkan setiap kebiasaan yang baik. Secara otomatis akan menumbuhkan kecintaan manusia akan spiritualitas kepada sang penciptanya dan dapat menyeimbangkan dengan serba-serbi kehidupan saat ini.

M. Riyadi Lubis, SQ, S.PdMahasiswa Pascasarjana International Islamic University Islamabad, Pakistan dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang M. Riyadi Lubis, SQ, S.Pd? Silakan klik disini