Tidak Semua Yang Buntu itu Buruk, Begini Penjelasan Quran

Sebagai manusia, kita tentu pernah mengalami momen culdesac (jalan buntu) dalam kehidupan. Kebuntuan ini acapkali dilematis. Di satu sisi, ia mencerminkan momen kontemplasi begitu mendalam jika disikapi dengan bijak, di lain sisi, kalau disikapi dengan buru-buru (grusa-grusu), momen ini makin pelik.

Jika kita tarik benang merah, “momen culdesac” sejatinya bukan sekadar kebuntuan psikologis, tapi pengalaman spiritual yang pernah dilalui para nabi dan orang-orang saleh. Dalam hidup, setiap manusia pasti akan sampai pada titik nadir, yakni rencana gagal, daya upaya habis, sandaran dunia runtuh, jalan lama sudah tidak berfungsi, sementara jalan baru belum ketemu. Itulah culdesac—sebuah ruang hampa yang membuat gelisah sekaligus membuka peluang lahirnya kesadaran baru.

Al-Qur’an mengajarkan bahwa kebuntuan (culdesac) bukanlah akhir, melainkan bagian dari sunnatullah dalam perjalanan iman. Nabi Ibrahim ’alaihissalām, misalnya, tidak bisa ke mana-mana ketika tubuhnya dilempar ke kobaran api. Begitupun, Nabi Musa ’alaihissalām terjepit di tepi laut dengan Fir’aun mengejar di belakang. Nabi Yunus ’alaihissalām gelap gulita di perut ikan. Nabi Muhammad Saw hampir saja tertangkap di Gua Tsur. Semua tampak buntu, tapi justru di situlah rahasia pertolongan Allah hadir.

Kebuntuan itu tak ubahnya seperti ambang pintu—antara gelap dan terang. Ibn ‘Arabi menyebutnya sebagai maqām al-ḥayrah, maqom kebingungan. Tatkala akal, sumber daya, strategi, , dan seluruh “alat tempur” manusia mentok, justru saat itulah pintu rahasia Allah terbuka. Rasulullah Saw bersabda, “Ketahuilah, pertolongan itu datang bersama kesabaran, jalan keluar itu hadir bersama kesulitan, dan bersama kesempitan selalu ada kelapangan” (HR. Ahmad).

Surat Al-Baqarah [2]:214 menangkap momen ini dengan bahasa yang sangat kuat:

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَّثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۗ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاۤءُ وَالضَّرَّاۤءُ وَزُلْزِلُوْا حَتّٰى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ مَتٰى نَصْرُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ نَصْرَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”

Ayat di atas seakan menjadi cermin universal tentang dinamika hidup orang beriman. Allah seakan bertanya langsung kepada kita: “Apakah kamu mengira akan masuk surga tanpa ujian?” Di dalam kalimat tersebut terkandung pesan kuat bahwa jalan menuju ridha Allah tidaklah mulus, tapi penuh lika-liku, cobaan, hantaman, dan guncangan.

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafātīḥ al-Ghayb mengurai dengan tajam: “al-Ba’sā” merujuk pada kesempitan hidup, kemiskinan, dan keterbatasan, sementara “ad-Darrā” menunjuk pada penderitaan fisik, rasa sakit, dan musibah yang menimpa. Jadi, satu sisi berbicara tentang terbatasnya kebaikan dan manfaat yang kita bisa raih, sisi lain tentang hadirnya keburukan dan rasa sakit yang menghimpit. Lalu “wa zulzilū” – mereka diguncang – menggambarkan krisis batin yang meluluhlantakkan stabilitas jiwa, sebagaimana dijelaskan al-Zajjāj, akar katanya terkait dengan “azala”, yakni tergeser dari tempat semula, diguncang hingga goyah.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbāh menekankan bahwa situasi tersebut merupakan sunnatullah. Orang-orang terdahulu pun harus melalui fase sulit itu: kehilangan harta, sakit, kematian orang terdekat, hingga tekanan sosial yang mengguncang iman mereka. Bahkan Rasulullah saw yang sejak kecil digembleng dengan berbagai ujian dan cobaan sekalipun, bersama para sahabat senior yang setia dan sabar; Abu Bakar, sampai berseru: “Matā naṣrullāh?” – Kapan pertolongan Allah datang?

Di situlah letak rahasianya. Allah menegaskan: “Ala inna naṣrallāhi qarīb” – Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu sangat dekat. Jawaban ini memberikan harapan betapa pertolongan-Nya amatlah dekat, tapi tidak diukur dengan waktu manusia, melainkan dengan kepastian janji Allah.

Bila direnungkan dalam konteks kita hari ini, “al-ba’sā” bisa berwujud tekanan ekonomi, politik, atau sosial; “ad-darrā” tampak dalam penyakit, ancaman, atau musibah besar; dan “wa zulzilū” hadir dalam bentuk guncangan batin—kecemasan, kegelisahan, dan hilangnya pegangan. Namun, sebagaimana yang dialami Nabi dan para sahabat, kebuntuan itu bukanlah tanda kehancuran, melainkan tanda akan hadirnya pertolongan.

Seperti malam yang semakin gelap menjelang subuh, begitu pula hidup: semakin pekat ujian, semakin dekat cahaya pertolongan Allah. Maka seorang mukmin yang diuji harus meyakini janji ini. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (HR. Tirmidzi, menafsirkan QS. Al-Insyirah: 5-6).

Dengan kata lain, kebuntuan bukanlah akhir dari segalanya, bisa jadi ia pembuka jalan yang kelak mengantarkan kita sampai kepada-Nya. Justru di titik paling buntu, di situlah pertolongan Allah mengetuk. Qorīb—dekat sekali.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini