Membicarakan orang lain adalah perilaku yang sering dilakukan oleh seseorang, entah itu membicarakan sikap, sifat, atau karakter, baik atau pun buruk. Membicarakan orang lain biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun kini, orang sudah terbiasa melakukan hal tersebut secara terang-terangan, misalnya, di media sosial dengan akun-akun gosip yang disenangi banyak netizen.
Dalam bahasa agama Islam, perilaku ini biasa disebut dengan ghibah. Gibah masuk ke dalam bahasa Indonesia sebagai kata serapan, yang dalam KBBI dimaknai sebagai membicarakan keburukan (keaiban) orang lain. Dalam bahasa Arab, kata gibah berakar dari kata gaaba (tersembunyi, tidak hadir, absen, dan lain sebagainya). Maka, gibah merupakan suatu perbuatan membicarakan orang lain, di mana orang yang dibicarakan tidak berada di tempat tersebut.
Secara istilah, al-Jurjani dalam kitab al-Ta’riifaatnya (hal. 137) mendefinisikan gibah sebagai ‘menyebut (membicarakan) saudaramu (orang lain) mengenai sesuatu (yang benar-benar ada pada dirinya) yang tidak disenangi (apabila dibicarakan)’. Definisi di atas merujuk pada sebuah hadis yang berbunyi:
Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tau apa itu gibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi Bersabda, “(gibah adalah) menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.” Ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana jika yang kami bicarakan benar-benar ada pada dirinya?”. Beliau menjawab, “Jika yang kau bicarakan benar ada padanya, maka kau telah gibah. Dan jika yang kau bicarakan tidak ada padanya, maka kau telah berbuat fitnah.” (HR. Muslim, no. 2591).
Hadis di atas menjelaskan bahwa membicarakan keburukan orang lain adalah perbuatan yang tercela. Perilaku itu akan menjerumuskan seseorang pada dua kemungkinan, yaitu gibah atau fitnah.
Gibah, Ibarat Memakan Bangkai Saudara Sendiri
Al-Qur’an secara tegas melarang perilaku menggunjing atau menggibah orang lain. Bahkan, al-Qur’an mengibaratkan perilaku ini seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Lebih lengkap firman-Nya dalam surah al-Hujurat[49]: 12 berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”
Ayat di atas telah mewanti-wanti orang beriman agar menjauhi gibah. Bahkan, ayat tersebut juga mengingatkan agar menjauhi perilaku yang dapat mengarah pada gibah, yaitu banyak berprasangka dan mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus).
Dalam al-Jaami’ li Ahkaam al-Qur’an (jil. 16, hal. 335), Imam al-Qurthubi menjelaskan mengapa orang yang bergibah diibaratkan seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Menurutnya, karena orang yang telah mati tidak tau siapa yang telah memakan dagingnya. Hal ini juga yang dialami oleh orang yang digibahi, ia tidak tau siapa yang sedang membicarakan keburukannya.
Ia juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menjelaskan keterkaitan permisalan pada ayat di atas, bahwa memakan bangkai merupakan perbuatan haram yang sangat kotor. Karenanya, gibah juga perbuatan yang haram menurut agama serta akan berdampak buruk bagi jiwa.
Fitnah, Lebih Buruk Daripada Membunuh
Secara bahasa, fitnah berarti bala, ujian, dan cobaan. Dalam KBBI, fitnah dimaknai sebagai perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang lain. Dan tergantung pada konteks, di dalam al-Qur’an makna fitnah bisa berarti kekufuran, kesesatan, azab, dan lain-lainnya (al-Mausuu’aah al-Fiqhiyyah[32]: 18).
Di antara ancaman yang paling diingat banyak orang terkait fitnah adalah al-fitnah asyaddu min al-qatl (fitnah lebih buruk daripada pembunuhan) dalam surah al-Baqarah ayat 191. Namun, Quraish Shihab dalam tafsirnya menerangkan bahwa fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut berarti penganiayaan atau kemusyrikan, mengacu pada perlakuan kaum musyrik Mekah yang dijelaskan pada ayat tersebut dan ayat sebelumnya (Tafsir al-Mishbah[1]: 420).
Namun demikian, Kang Maman Suherman dalam bukunya Aku Takut KehilangMu (hal. 25) memberikan gambaran peristiwa bagus bagaimana fitnah merupakan perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan.
Kang Maman mengisahkan sebuah ajaran yang didapatnya dari sahabatnya, yaitu tentang seorang santri yang memfitnah salah seorang kiainya. Sang santri kemudian meminta maaf dan minta cara bagaimana menghapus fitnah yang telah tersebar. Sang kiai meminta si santri untuk berjalan dari rumahnya ke rumah kiai sembari membawa bantal dan menyebarkan kapuk-kapuknya sedikit demi sedikit dalam perjalanan tersebut.
Singkat cerita setelah si santri sampai di rumah si kiai, dia kemudian menyuruh santrinya untuk pulang melewati rute yang sama dengan perjalanannya menuju rumah kiai. Dalam perjalanan pulang itu, sang kiai menyuruh si santri agar mengambil kembali kapuk demi kapuk yang telah disebarkan sepanjang jalan. Tentu saja dari sebantal kapuk yang disebarkan, hanya sedikit yang didapat kembali olehnya.
Keesokan harinya si santri menyerahkan sedikit kapuk itu dan menjelaskan hanya segitulah yang didapatkan kembali olehnya. Sang kiai pun menjelaskan bahwa kapuk yang disebarkan itu ibarat fitnah yang telah dilakukan. Ia menyebar ke mana-mana dibawa angin. Kendati seseorang dapat memaafkan fitnah yang diterimanya, fitnahnya itu sendiri dapat menyebar ke mana pun lewat mulut ke mulut.
Setelah mendengar kisah itu, kata Kang Maman, “dari situ kita paham kenapa fitnah itu kejam. Lebih kejam daripada pembunuhan.”
Karenanya, seseorang harus sangat hati-hati ketika sedang membicarakan orang lain, apalagi yang berkaitan dengan keburukan. Sebab, sebagaimana sabda Nabi, membicarakan suatu keburukan orang lain, jika tidak gibah berarti fitnah. Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini