Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih sering terjadi di masyarakat Indonesia. Pada pertengahan tahun 2024 saja, tercatat 15.459 kasus kekerasan yang dialami perempuan sebanyak 13.436 dan laki-laki sebanyak 3.312. Kasus ini belum termasuk kasus-kasus yang tidak tercatat secara resmi.
Maraknya fenomena KDRT merupakan sebuah ironi, sebab Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Ini menandakan adanya kesenjangan antara ajaran agama Islam (Islam normatif) dengan praktik yang dilakukan penganutnya (Islam historis).
Kesenjangan antara ajaran agama dan praktik ini bisa dhindari dengan cara merefleksikan kembali pengamalan atau amaliah, apakah sudah seiring dengan ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi? Jika tidak sesuai, maka pengamalan itu harus dikembalikan kepada sumbernya dengan dibantu tuntunan para ulama.
Dalam konteks pengamalan agama Islam, rujukan dan sumber utama – tentu – adalah Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw, sang pembawa dan penafsir wahyu Allah Swt. Bisa dikatakan bahwa Nabi adalah representasi keislaman itu sendiri. Allah juga menegaskan dirinya sebagai suri teladan bagi umat. Firman-Nya.
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab ayat 21).
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim, menyatakan bahwa surah al-Ahzab ayat 21 adalah dasar utama keharus bagi umat Islam untuk meneledani Nabi Muhammad saw. Dalam segala aspek kehidupan, baik perkataan, perbuataan, maupun sikap dan sifat (ahawal).
Kendati disuruh meneladani Nabi dalam segala aspek kehidupan, namun sebagai manusia biasa setiap orang menyadari bahwa sangat sulit untuk meniru beliau seratus persen. Akan tetapi, ini bukan alasan bagi muslim untuk tidak meneladani Nabi. Jika seseorang tidak bisa meneladani sepenuhnya, maka setidaknya meneladani sebagian dari sifat-sifatnya.
Dakam fikih terdapat kaidah yang dapat digunakan sebagai rumus meneladani nabi, yakni ma la yudraku kulluhu la yutraku julluhu (yang tidak bisa didapat semua tidak ditinggal semua). Dengan kata lain, kalau kita tidak bisa mencontoh semua sifat nabi, maka setidaknya kita mencontoh sebagian sifatnya.
Cara Nabi Muhammad Saw. Mengayomi Pasangan
Nabi Muhammad saw dikenal sebagai sosok yang sangat penyayang, baik terhadap keluarga, sahabat maupun orang lain. ada banyak riwayat hadis yang menjelaskan bagaimana nabi begitu penyayang, tidak hanya kepada orang di sekiatarnya, tetapi juga kepada orang yang memusuhinya tanpa pengecualian.
Sifat kasih sayang nabi disebutkan dalam sebuah hadis. Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Anas bin Malik yang menjadi pelayan Rasulullah selama 10 tahun. Ia berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pria yang lebih sayang kepada anggota keluarganya selain Nabi Muhammad Saw.” (Sahih Muslim).
Ketika bergaul dengan pasangan, Nabi Muhammad tidak pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun verbal. Beliau selalu mendahulukan teladan atau contoh yang baik, kemudian nasihat dan dialog. Hal ini disampaikan oleh Aisyah dalam sebuah hadis yang berunyi:
“Dari Aisyah ra, berkata: Bahwa Rasulullah Saw tidak pernah memukul siapapun dengan tangannya, tidak pada perempuan (istri), tidak juga pada pembantu, kecuali dalam perang di jalan Allah. Nabi Saw juga ketika diperlakukan sahabatnya secara buruk tidak pernah membalas, kecuali kalau ada pelanggaran atas kehormatan Allah, maka ia akan membalas atas nama Allah Swt.” (Sahih Muslilm, no. Hadis: 6195).
Melalui hadis di atas, kita memahami bahwa nabi Muhamammad tidak pernah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Jangankan melakukan kekerasan kepada pasangan, beliau bahkan tidak pernah melukai siapa pun dengan tangannya kecuali saat berada di medan perang memperjuangkan agama Allah Swt.
Lebih jauh, Nabi Muhammad tidak hanya dengan menghindari dari kekerasaan dalam rumah tangga, beliau juga menghadirkan keadilan dan kebersamaan dalam rumah tangga. Ada banyak riwayat yang menjelaskan bagaimana nabi sering bersenda-gurau dengan pasangan, menasihati pasangan dengan lemah lembut, melakukan hal-hal romantis dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kekerasan rumah tangga adalah hal yang asing dalam kehidupan Nabi. Ini semestinya menjadi preseden bagi umat Islam agar membumihanguskan kekerasan dalam rumah tanggal. Dari Nabi kita belajar bahwa dalam rumah tangga yang harus diutamakan adalah kasih sayang, kesalingan, kebersamaan, dan ketaatan kepada Allah Swt. Wallahua’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini