Puji syukur kita sampaikan kepada sang pengatur Yang baik, Allah Swt. Salawat dan salam, kita sampaikan kepada sang teladan umat, Muhammad Saw.
Mari kita tingkatkan kualitas takwa kepada Allah dengan menyadari secara mendalam atas kehadiran-Nya dalam kehidupan kita sehari-hari.
Judul Khutbah kita kali ini “Metode Pendidikan Akhlak”
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Swt.,
Zaman jahiliyah dikenal pada masa Arab pra-Islam. Jahiliyah dalam pengertian akidah karena mereka menyembah berhala (paganism), jahiliyah dalam pengertian ilmu karena pada masa itu umumnya orang Arab Mekah buta huruf, dan bahkan sampai datangnya Islam, menurut Ahmad Syalabi baru sekitar 17 orang yang bisa tulis baca di Mekah. Mekah pra Islam juga jahiliyah dalam pengertian sosial, dimana terdapat diskriminasi pandangan terhadap wanita pada titik yang paling rendah. Mereka ada yang dibunuh dengan dikubur hidup-hidup sejak kelahirannya, ada juga yang dibiarkan sampai remaja, kemudian mereka dipermalukan dengan menggembali ternak. Ketika mereka mau dibunuh, didekatkan dengan jurang lalu didorong masuk, dan kemudian dikubur hidup-hidup. Naudzubillah min dzalik.
Untuk itulah tidak heran, jika Muhammad Saw. diutus untuk suatu misi reformasi moral, untuk memperbaiki akhlak dalam makna yang luas.
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Artinya, ‘Sesungguhnya aku diutus (Muhammad) untuk menyempurnakan akhlak.’
Dalam studi akhlak, kualitas manusia dilihat dari akhlaknya. Suatu kaum akan dinilai dari kualitas akhlaknya. Jika akhlaknya baik, maka baik pula lah dinilai kaum itu. Sebaliknya, jika buruk akhlaknya, maka buruk pula dinilai kaum itu.
إنما الأمم الأخلاق ما بقيت و إذ همو ذهبت أخلاق هم ذهبوا
Artinya, ‘Sesungguhnya umat itu yang tersisa akhlaknya, jika sudah tidak ada akhlaknya, maka mereka pun dinilai tidak ada.’
Lantas muncul pertanyaan, kenapa para nabi dan Rasul itu termasuk orang-orang baik. Kemudian kenapa juga ada manusia yang tidak baik. Di antara jawabannya karena nabi dan Rasul diajarkan Allah ilmu dan hikmah. Sementara para guru dan dosen banyak berhenti mengajarkan ilmu tanpa hikmah.
Bagaimana mencetak orang-orang agar berakhlak mulia? Ahmad Amin menyebut, ada tiga metode yang paling dominan. Pertama metode uswah (teladan). Para sahabat yang langsung hidup dan berinteraksi dengannya sangat tahu bagaimana persis sang teladan (Muhammad Saw.) hidup, sehingga mereka dengan fasih bisa menirukannya. Para tabi`in yang hidup dan berinteraksi dengan sahabat yang langsung bertemu dengan sang teladan juga dengan fasih bisa menyampaikan bagaimana sang teladan hidup, sehingga faktor kedekatan zaman, mampu mempengaruhi tegaknya pembentukan akhlak. Dalam perspektif akhlak ‘lah dapat dipahami hadits.
خير القرون قرني ثم يليه ثم يليه
Artinya, ‘Sebaik-baik zaman itu adalah zamanku (Rasulullah Saw), kemudian, zaman setelahku (zaman sahabat), dan kemudian zaman setelahnya (zaman) tabi`in.’
Dalam konteks metode uswah, zaman kita sudah terlalu jauh dengan zaman Rasulullah Saw., sehingga kita membutuhkan teladan-teladan yang lebih dekat dengan zaman kita. Untuk itulah, kita membutuhkan teladan yang langsung hidup berinteraksi dengan kita. Dalam konteks inilah, orang tua hendaknya teladan bagi anak-anaknya. Guru teladan bagi murid-muridnya. Dosen teladan bagi mahasiswa. Kita, anggota masyarakat teladan bagi orang-orang di sekitar kita. Teladan ini lah yang “kering” pada zaman sekarang. Untuk itu kata Ahmad Amin, kita dianjurkan membaca karya-karya biografi tokoh-tokoh teladan.
Metode pendidikan akhlak yang kedua adalah pembiasaan (العادة). Kita, dalam teori sosial, makhluk “produk” pembiasaan. Banyak kebaikan-kebaikan yang ringan kita lakukan karena proses pembiasaan yang lama. Membiasakan itu perlu disiplin, khususnya bagi anak-anak dan remaja. Bagi yang dewasa, pembiasaan membutuhkan keinginan yang kuat (همة) atau `azam
Konon, anak-anak TK di Jepang membiasakan, membuang sampah pada tempatnya dapat berhasil sampai 6 bulan. Setelah 6 bulan, kalau ada murid TK yang membuang sampah tidak pada tempatnya, maka secara refleks kawannya-kawanya menegur, ‘Buang sampah pada tempatnya’.
Kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Swt.,
Coba perhatikan bahwa banyak orang terbiasa minum dengan tangan kiri, padahal di dalam hadits disebutkan bahwa syaitan itu makan dan minum dengan tangan kiri. Untuk itu, jika kita ingin membiasakan kebaikan minum dengan tangan kanan, boleh jadi kita membutuhkan waktu yang lama. Bisa satu bulan, dua bulan, tiga bulan dan seterusnya. Dalam konteks ini dapat dipahami pepatah, “Ala bisa karena biasa”.
Metode pendidikan akhlak yang ketiga adalah pengetahuan. Pengetahuan dapat membuat orang menjadi baik. Semakin tinggi ilmu seseorang, mestinya semakin baik juga akhlaknya.
Tingkat pendidikan dalam teori ini dapat menjadi acuan seseorang berakhlak baik. Negara yang berperaban maju, semestinya menjungjung tinggi moral. Setidaknya teori ini mengatakan bahwa pengetahuan dapat mendorong manusia berakhlak mulia.
Memang ada kenyaatan lain, di antara manusia yang telah mencapai gelar Profesor Doktor justru membuat kerusakan di muka bumi ini. Ada Negara yang anti rokok seperti Israel, tetapi mereka justru produsen rokok terbesar di dunia.
Bertambahnya pengetahuan seseorang, semestinya dapat menjadikannya lebih dekat dengan Sang Pencipta, bukan sebaliknya, justru semakin jauh dari-Nya.
من ازداد علما ولم يزدد هدي لم يزدد من الله إلا بعدا
Artinya, “Barang siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah hidayah baginya, maka semakin jauh dirinya dari Allah”.
Akhlak adalah bagaikan ukiran kayu. Ukiran itu membuat harga kayunya semakin bernilai tinggi. Akhlak juga bagaikan relief suatu bangunan. Relief itu menjadikan bangunan ini indah dan bernilai tinggi. Demikian juga, akhlak dapat menjadikan manusia bernilai tinggi. Untuk itu, marilah kita menghargai diri kita dengan berakhlak mulia.
Demikian, isi khutbah singkat ini, semoga bermanfaat.
—
Khutbah Jum’at di Bellagio Mall pada tanggal 6 Nopember 2015, disampaikan oleh Khotib Dr. Sehat Sultoni Dalimunthe.