“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az-Zumar: 53)
Tiada manusia sempurna, demikian ayat di atas memberikan isyarat tentang ‘kelemahan’ manusia yang kerap melampaui batas atas dirinya sendiri—seolah Allah pun mengakui sifat manusia yang kerap kali berbuat salah dan dosa, agar tak berlaku sombong dengan amal-amalnya. Kebanyakan dari manusia juga rentan memiliki khilaf, salah, aib dan cela, sebab tiada manusia yang betul-betul sempurna, sesempurna Rasulullah Saw yang terjamin ma’shum—terhindar dari berbuat dosa karena kuasa-Nya. Betapapun manusia berpeluang melakukan nista, namun, ayat di atas menjamin bahwa Allah-lah tempat satu-satunya untuk mengakui segala kealfaan dan manusia diminta untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Ayat di atas begitu lembut menyapa manusia yang seringkali khilaf mengulang salah yang sama.
Baca Juga: Sifat Rahim dan Apresiasi Al-Qur’an Kepada Ibu
Memang manusia tempatnya salah dan dosa—tapi Allah dengan rahmat-Nya selalu membuka kesempatan untuk manusia bersegera ‘pulang’ menyadari kesalahannya. Lanjutan ayat di atas pun memberikan jaminan bahwa Allah Maha Pengampun yang mengampuni dosa-dosa semuanya dan Dia menamai salah satu nama dari 99 nama-Nya dengan al-ghafur dan ar-rahim. Dua sifat yang seringkali diulang dalam ayat al-Qur’an yang bukan saja memberikan sifat jamaliyah Allah namun juga memberikan bukti kasih sayang-Nya pada seluruh manusia.
Al-Ghaffar yang berakar kata gha-fa-ra berarti menutup. Ada juga yang berpendapat ia seakar kata dengan al-ghafaru yakni sejenis tumbuhan yang biasa digunakan untuk menyembuhkan luka. Prof. Quraish Shihab dalam Kosa Kata Keagamaan menguraikan bahwa al-Ghaffar yang memiliki akar kata gha-fa-ra pun senada dengan lafadz istighfar. Alif, sin dan ta pada awal kalimat istighfar bermakna ‘aku bermohon’.
Sehingga, makna istighfar berarti memohon kiranya Allah menutupi dosa-dosa yang telah dilakukannya. Sementara itu, ada pendapat lain yang mengatakan istighfar berarti permohonan agar Allah menganugerahi si pemohon menyesal atas dosa-dosa yang telah dilakukannya, sehingga penyesalan ini berbuah ‘kesembuhan jiwa’ serta terhapusnya dosa-dosa.
Imam al-Ghazali melihat makna istighfar dengan lebih luas. Hujjatul Islam ini melihat bahwa makna Allah al-Ghaffar (Yang Maha Pengampun) mengandung arti bahwa Dia adalah yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa-dosa, tulisnya, adalah bagian dari sejumlah keburukan yang ditutupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia dan mengesampingkan siksanya di akhirat. Lebih jauh lagi, Imam al-Ghazali menyebut sekian banyak hal yang ditutupi Allah yaitu pertama, sisi dalam jasmani manusia yang tidak sedap dipandang mata. Ini ditutupi Allah dengan keindahan lahiriah. Kedua, Allah pun menutupi bisikan-bisikan hati serta kehendak-kehendak manusia yang buruk. Jika saja Allah membuka hasrat yang tersembunyi menyangkut kejahatan, penipuan, prasangka, dengki, tentu manusia akan kesulitan dalam menjalani hidupnya.
Hal terakhir yang ketiga, menurut al-Ghazali yang juga ditutupi Allah ialah dosa dan pelanggaran-pelanggaran manusia yang sebenarnya bisa diketahui khalayak umum. Bukankah orang yang sering dianggap shalih tapi pada hakikatnya seringkali ia berbuat dusta?
Baca Juga: Islam dan Tuntunan Menjaga Diri (Hifdzu an-Nafs)
Semua yang tampak baik secara zahir belum tentu baik secara batin dan Allah Maha Menutupi keburukan-keburukan serta aib-aib manusia terkait itu. Demikianlah makna Allah al-Ghaffar yang dengannya kita diperintahkan untuk banyak-banyak mengucap istighfar karena banyaknya aib yang Allah sembunyikan dari diri kita. Tak berhenti sampai disitu, Allah pun menegaskan dengan Ghafur dan Rahim yang memiliki makna Allah bukan saja Maha Menutupi aib-aib, keburukan, cacat dan dosa manusia melainkan juga memberi ampunan, dan tidak membiarkannya berjalan mencari arah sendirian.
Allah selalu memberikan ampunan sepaket dengan tuntunan dan kasih sayang agar manusia mengetahui kemana harus kembali ketika ia mengulang kekhilafan yang sama lagi. Allah, Huwa al-Ghafur ar-Rahim—Dialah yang Maha Mengampuni dosa-dosa kita, Dia juga yang paling menyayangi manusia melebihi apapun. Sebanyak apapun dosa dan kekhilafan kita, semoga selalu dikuatkan untuk bersegera memohon ampunan-Nya. Demikian, wallahu a’lam.
Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id