Perdamaian merupakan intisari dari semua agama, tak terkecuali Islam. Sebagai agama terakhir, Islam berusaha menyempurnakan konsep perdamaian secara utuh. Bahkan perdamaian ditradisikan dalam ucapan salam “Assalamualaikum” (semoga keselamatan dan perdamaian selalu bersamamu). Mengucapkan salam merupakan tradisi sopan santun (tata krama) yang didambakan oleh semua pemeluk agama. Tradisi salam (perdamaian) sudah dikenal sejak manusia pertama Nabi Adam as.
Secara leksikal, kata salam berasal dari bahasa Arab artinya selamat, damai, sejahtera, dan terhindar dari bahaya. Kata ini serumpun dengan kata Islam, yang secara harfiah artinya bersikap damai atau pasrah ini. Sedangkan pemeluk Islam disebut muslim, yang bermakna menyelamatkan. Artinya, seorang muslim memiliki kewajiban dan kesadaran sosial tidak hanya bisa menyelamatkan diri sendiri, melainkan juga keselamatan orang lain.
Salam, selain bermakna spiritual, ternyata mengandung pesan sosial yang amat penting dan dibutuhkan oleh manusia modern saat ini yakni perdamaian. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa di antara kewajiban seorang muslim dengan muslim lainnya ialah mengucapkan salam. Umat Islam, minimal, sehari semalam ia mengucapkan salam lima kali yakni ketika mengerjakan shalat lima waktu. Bahkan, salam menjadi salah satu rukun shalat yang di ujung tahiyat akhir.
Saking pentingnya menyebarkan salam (perdamaian), Rasulullah saw bersabda,
“Hai manusia sebarkan perdamaian (salam), berilah makan dan sambunglah silaturahim, dan shalatlah tatkala manusia sedang tidur, maka kamu akan masuk surga dengan selamat (HR at-Tirmidzi)
Dalam hadis yang lain disebutkan,
Dari Abdullah bin Amr, seseorang bertanya kepada Rasulullah saw, “Islam yang bagaimana yang lebih utama?” Maka beliau menjawab, “Memberi makan dan mengucapkan kepada orang yang engkau kenal maupun yang tidak kenal”.
Pesan moral yang dapat dipetik dari hadis nabi ialah as-salam minal Islam (salam atau menyebarkan perdamaian termasuk bagian dari Islam). Dalam riwayat Karimah ditambahkan kata isyfa’ (menyebarkan), yang berarti menyebarkan salam secara diam-diam atau terang-terangan. Penjelasan “menyebarkan salam termasuk bagian dari Islam” telah dijelaskan dalam bab Ith’am at-Ta’am (memberi makan) sebagaimana termaktub dalam Kitab al-Muwatta’.
Melampaui Salam Syariat
Dalil yang paling jelas tentang menyebarkan perdamaian (salam) adalah assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahisshalihin (Semoga Allah senantiasa melimpahkan sejahtera-Nya atas kami dan atas hamba-hamba-Nya yang saleh). Redaksi ini diabadikan dalam salah satu rukun shalat yakni tahiyat. Jawaban salam sebagaimana yang diucapkan Nabi saw ketika menjawab salam Allah adalah bukti konkrit bahwa Rasulullah tidak egois hanya mengingat kepentingan dirinya sendiri, namun beliau sudah melampaui sekadar salam syariat.
Nabi selalu mengedepankan kepentingan umat di atas kepentingan diri sendiri. Bahkan tidak hanya Nabi saw, nabi-nabi sebelum beliau, Nabi Ibrahim, misalnya, juga mengucapkan salam ketika menyambut tamu para malaikat yang Allah abadikan dalam Q.S. Az-Zariyat ayat 24, “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?”
Dalam konteks ini, redaksi salam sebagaimana yang sering kita ucapkan sebagai seorang muslim “assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh” ternyata bermakna mendalam, melampaui salam syariat. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh berarti semoga keselamatan, kasih sayang, dan keberkahan tercurah kepada kalian. Sebuah kalimat yang sangat indah, yang mengintegrasikan spirit perdamaian, tidak hanya sekadar menyapa, melainkan mendoakan sekaligus kepada orang lain (umat beragama lain). Doanya pun sangat mulia. Salam semacam ini tidak bisa disejajarkan dengan sapaan basa-basi antar teman. Wallahu a’lam.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini