“Tua itu pasti, dewasa itu pilihan.” Pepatah ini terasa sederhana, namun menyimpan kedalaman makna yang sering luput kita renungkan. Setiap manusia akan menua seiring waktu, namun kedewasaan—cara kita berpikir, bersikap, dan mengambil tanggung jawab—tidak datang tiba-tiba. Ia buah dari proses panjang mengolah dan merefleksi pengalaman, belajar dari kegagalan, serta berani menata ulang diri.
Dalam perspektif keislaman, kedewasaan tidak hanya diukur dari angka kronologis, melainkan dari kematangan hati dan kejernihan akhlak. Banyak yang bertambah umur, tetapi tidak bertambah lapang dalam menerima perbedaan. Banyak yang semakin tua, tetapi tak semakin bijak dalam mengelola emosi atau memperbaiki hubungan dengan sesama. Padahal, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa kemuliaan seorang hamba terletak pada akhlaknya, bukan pada panjang pendeknya usia.
Tahu Diri, Sadar Diri, Pandai Membawa Diri
Menua tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan mengetahui diri, sadar diri, dan piawai membawa diri. Usia tua tidak menjamin seseorang berpikir dewasa. Banyak orang menua tanpa pernah benar-benar tumbuh – hidup panjang, tapi dangkal dalam memahami hidup. Mereka mengoleksi dan mengkodifikasi pengalaman, tapi gagal mentransformasikannya menjadi pemahaman. Kita hidup di zaman di mana kebijaksanaan sering disalahartikan sebagai pengalaman panjang, padahal banyak yang hanya mengulang kesalahan lama dengan gaya baru.
Tak heran, jika Al-Quran memberikan – setidaknya – parameter kedewasaan dalam Surat Ali Imran ayat 134,
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Q.S. Ali Imran [3]: 134)
Ayat ini—yang menyebut tiga karakter utama: berinfak dalam keadaan lapang dan sempit, mengelola amarah, dan memaafkan manusia—sering dibaca sebagai etika vertikal-spiritual. Namun, bila dicermati lebih dalam, ia juga merupakan etika sosial yang menuntut kedewasaan sebagai proses, bukan sebagai anugerah otomatis yang datang seiring bertambahnya usia.
Kebiasaan berinfak, kemampuan menahan amarah, dan keberanian memaafkan adalah tiga disiplin yang tak mungkin tumbuh hanya karena seseorang menua. Ia bisa tumbuh karena pergulatan batin, kesediaan mengoreksi diri, dan kemampuan mengelola ego.
Realitas sosial kita menunjukkan paradoks yang menarik. Banyak orang yang usia biologisnya terus bergerak naik, tetapi usia sosial dan kematangannya justru stagnan. Tua secara tubuh tidak identik dengan kematangan secara batin. Hidup memang panjang, tetapi tanpa refleksi, pengalaman hanya sekadar menjadi arsip—bukan pengetahuan, gagal menjelma menjadi kesadaran baru.
Tidak sedikit pula mereka yang berada di posisi otoritatif—memegang jabatan, memimpin lembaga, menjadi panutan—namun gagal mempraktikkan kebijaksanaan elementer: sikap rendah hati, mau mendengar, dan siap mengakui keterbatasan. Ego dapat terus mengeras meski rambut memutih, ketakutan untuk terlihat tidak tahu sering kali jauh lebih besar ketimbang dorongan untuk mencari kebenaran. Dalam konteks ini, usia berubah menjadi semacam ilusi moral: seolah-olah tua identik dengan bijak, padahal keduanya tidak selalu bertemu.
Etika sosial yang ditawarkan ayat tersebut justru bergerak ke arah sebaliknya. Orang yang berinfak bukan sekadar orang dermawan, melainkan orang yang bersedia melampaui dirinya. Menginfakkan harta dalam keadaan lapang itu mudah, tetapi melakukannya tatkala dalam kondisi sempit menuntut keberanian melepas ego, kelekatan, dan rasa takut.
Demikian pula mengendalikan amarah, tidak sekadar menahan diri, akan tetapi kemampuan untuk tidak berkomentar terhadap sesuatu yang tak diketahui atau bahkan diketahui demi kemaslahatan yang lebih besar adalah sesuatu yang tak mudah dilakukan. Sementara, memaafkan bukan simbol kelemahan, melainkan ekspresi kedewasaan moral—kemampuan mengubur dendam demi keberlanjutan relasi sosial yang lebih baik.
Menata Hati, Menjernihkan Pikiran
Hidup adalah perjalanan. Setiap perjalanan memerlukan penataan hati dan penjernihan pikiran. Menjernihkan pikiran ditandai oleh pemikiran yang kaya perspektif yang ragam dan luas. Sedangkan menata hati terkait dengan pentingnya menata niat dalam setiap aktivitas kita. Segala sesuatu itu tergantung niatnya (Innamā al-a‘mālu bi al-niyyāt).
Dalam Islam, menata hati sekaligus menjernihkan pikiran dapat dilakukan hanya dengan mengingat Allah.
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram. (Q.S. Ar-Ra’du [13]: 28)
Orang yang beriman dan senantiasa berdzikir pada Allah tidak lagi akan takut diguncang oleh dunia, karena dalam hati mereka telah tertanam kuat cahaya iman yang menenteramkan jiwa dan memberikan kekuatan dalam menjalani kehidupan.
Dalam penafsiran al-Ṭabarī dalam Jāmi‘ al-Bayān dikatakan,
ألا بذكر الله تسكن وتستأنس قلوبُ المؤمنين
Maksudnya: “Ketahuilah, dengan dhikr Allāh hati orang-orang beriman menjadi tenang dan memperoleh keakraban batin.”)
Al-Ṭabarī menjelaskan bahwa al-sukūn (ketenangan) dan al-istīnās (rasa tenteram dan nyaman) adalah dua keadaan psikospiritual yang lahir dari kesadaran penuh terhadap kehadiran Allah dalam diri seorang mukmin. Dhikr tidak dipahami sekadar sebagai ucapan verbal, melainkan sebagai muraqabah—kewaspadaan spiritual yang membuat hati terarah, terawasi, dan terhubung dengan sumber ketenteraman.
Seiring dengan Al-Ṭabarī, dalam Nukat wa al-‘Uyūn, al-Māwardī menegaskan bahwa penataan hati (tahżīb al-qalb) dan penjernihan pikiran (taṣfiyah al-khawāṭir) hanya mungkin tercapai melalui al-ṭā‘ah lillāh— melakukan ketaatan mutlak kepada Allah. Ketaatan yang dimaksud adalah menjalankan segala perintah Allah dalam bentuk syariat dan menjauhkan diri dari segala larangan Allah yang telah diharamkan.
Ketaatan ini menuntut komitmen dan konsistensi dari yang bersangkutan – meski terkadang bergeser semisal: dari taat ke maksiat, dari pahala ke dosa, dari kebaikan ke keburukan maupun sebaliknya – ia harus tetap mengupayakan berada pada garis yang lurus (ihdinā al-ṣirāṭ al-mustaqīm). Dari sini, ketaatan mekanisme spiritual yang membersihkan ruang batin dari kekeruhan, menghaluskan intuisi moral, serta menstabilkan kondisi psikis seseorang. Dengan demikian, struktur batin manusia akan selalu cenderung stabil sejauh ia menyandarkan diri pada disiplin ibadah dan penghayatan ketaatan.
Jika demikian, menjadi tua tidaklah cukup. Yang lebih urgen ialah menjadi dewasa dalam arti sosial dan moral yakni mampu memperluas kesadaran diri, menata ego, dan memahami bahwa hidup bukan hanya tentang kita, namun juga tentang orang lain yang terkoneksi dalam jaringan sosial yang kita bangun setiap hari. Kedewasaan itu buah dari laku menata hati dan menjernihkan pikiran yang senantiasa diupayakan terus-menerus.
Kedewasaan tidak hadir sebagai hadiah ulang tahun, namun hasil pergulatan panjang—antara kejujuran menatap diri, keberanian mengakui luka, dan kesediaan berubah. Dan di situlah letak kepatuhan sejati pada pesan etis ayat Al-Quran di atas: menjadi manusia yang tidak sekadar bertambah usia, melainkan bertambah kualitas dan kebermanfaatannya sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Karena pada akhirnya, kebaikan adalah sesuatu yang dicintai Allah bukan karena usia seseorang, melainkan kesediaannya merawat kemanusiaan.
Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini