Mengapa Penafsiran Bidadari Surga Berbeda-beda?

Kenikmatan surga merupakan ganjaran yang diberikan kepada orang beriman semasa hidupnya di dunia. Banyak sekali ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang menjelaskan tentang kenikmatan surgawi. Salah satunya adalah disediakannya bidadari surga yang cantik jelita. 

Akan tetapi, siapakah bidadari surga itu? atau mungkin, berapakah jumlah mereka yang disediakan di surga? Dan dari apakah mereka diciptakan? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang perlu ditemukan jawabannya. Setidaknya kita bisa menelusurinya di berbagai ayat al-Qur’an. 

Surah al-Waqi’ah: 35-37 secara gamblang menjelaskan bahwa bidadari surga diciptakan Allah secara langsung, dan mereka adalah perawan-perawan yang kebanyakan umurnya masih sebaya. 

إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً, فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا, عُرُبًا أَتْرَابًا

“Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan, yang penuh cinta (dan) sebaya umurnya, untuk golongan kanan.”

Bidadari-bidadari itu—dalam penafsiran Ibnu Katsir—digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang beriman di dunia. Jadi, bidadari diciptakan Allah dengan penciptaan baru, yang mana ketika di dunia dia (wanita) sudah tua renta, maka di akhirat akan dimudakan kembali layaknya perawan. 

Lalu, untuk siapakah mereka ini? Masih menurut Ibnu Katsir, mereka para bidadari yang penuh cinta, cantik, dan elok ini dikhususkan bagi para suaminya ketika di dunia. Sebagian ulama ada juga yang memaknai bahwa mereka memiliki sifat genit kepada suaminya. Wahbah az-Zuhaili menambahkan, mereka (para bidadari) belum pernah disentuh manusia dan jin sebelumnya. 

Bila melihat penafsiran di atas secara sekilas, tampaknya bidadari tidak diciptakan Allah dari makhluk lain yang sama sekali berbeda, akan tetapi ia adalah istri seorang mukmin ketika hidup di dunia, namun kali ini istrinya “berubah” menjadi bidadari surga dengan tampilan yang sangat berbeda yang membahagiakan hati.

Mungkin akan timbul pertanyaan di benak kita, “Bagaimana nasibnya mukmin yang semasa hidupnya tidak menikah atau menjomblo?” Jawaban pertanyaan ini bisa dilihat dalam tafsir al-Azhar karya Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah atau sering dikenal sebagai Buya Hamka. 

Dalam menafsirkan ayat ke-36 ini, Hamka menekankan bahwa bidadari surga tidak hanya disiapkan untuk mereka yang telah beristri, akan tetapi ayat ini juga mencakup mereka yang tidak sempat menikah. Sebagaimana tokoh-tokoh besar seperti Imam Nawawi, Jamaluddin al-Afghani, Ibnu Taimiyyah, dll. Mereka semua akan digembirakan dengan bidadari surga. 

Namun demikian, agar fokus kita tidak hanya pada unsur kesempurnaan fisik seorang bidadari, kita juga perlu melihat pemaknaan lain dari kata العروب dalam surat al-Waqi’ah di atas. Misalnya, Tamim bin Hadlam berpendapat bahwa kata العروب adalah perempuan yang baik dalam melayani suaminya. Adapun Abdurrahman bin Zaid, mengatakan bahwa العروب adalah perempuan yang memiliki ucapan yang baik. Demikian penjelasan Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim.

Berarti selain cantik jelita dan manja, bidadari surga juga bersedia melayani suaminya dengan baik dan juga memiliki ucapan yang menenangkan. Tidak hanya cantik secara luar, akan tetapi batin atau akhlaknya juga cantik. Itulah kesempurnaan makhluk bernama bidadari. 

Salah satu pertanyaan yang sering muncul di benak orang, khususnya terkait nikmat bidadari surga adalah, “Kenapa hanya disebutkan bidadari? Tidak adakah “bidadara” yang disiapkan bagi perempuan?” 

Syaikh Mutawali Sya’rawi dalam bukunya, Anta Tas’al wa al-Islam Yujib pernah menjawab pertanyaan ini. Menurutnya, Allah menyediakan surga sesuai dengan jiwa yang lurus. Wanita mempunyai watak dan tabiat yang suci, yaitu menolak mempunyai suami lebih dari satu. 

Banyak janda yang ditinggal meninggal suaminya namun tidak ingin menikah lagi, padahal agama tidak melarang. Ini mereka lakukan karena menjaga harga diri. Di surga kelak Allah tetap akan menjaga harga diri wanita. Dan yang perlu diingat juga adalah di surga tidak akan ada rasa iri, cemburu, dengki, dll karena  semua itu telah dicabut Allah (al-A’raf:47). 

Nurcholis Madjid memberi catatan penting perihal gambaran al-Qur’an tentang surga yang dipenuhi kenikmatan, di antaranya adalah bidadari. Dalam Ensiklopedi Nurcholis Madjid ia menjelaskan bahwa persoalan metafora surga dan neraka seperti apa pastinya, itu adalah urusan mutasyabihat (samar), bukan muhkamat (jelas). 

Jadi ayat-ayat yang dikategorikan sebagai mutasyabihat sifatnya tidak bisa dipastikan, ia mengadung beragam penafsiran (interpretable). Hikmahnya adalah agar kenikmatan-kenikmatan itu bisa tergambar dan dipahami akal manusia yang terbatas ini. akan tetapi bagaimana pastinya dan apakah sama persis sebagaimana penjelasan al-Qur’an? Ini yang tidak bisa kita  dipastikan, Allah yang Maha Tahu.

Zaimul Asroor. M.A., Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini