Alhamdulillah, sepekan sudah kita berpuasa. Tak sekedar proses detoksifikasi tubuh yang membuat imunitas semakin sehat terjaga, namun juga memperkuat kesehatan jiwa menuju tujuan puasa sesungguhnya; taqwa.
Satu bulan dalam setahun, umat Muslim diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa Ramadan. Amaliyah wajib bukan hanya momen orangtua untuk belajar menahan lapar dan dahaga. Anak-anak, diharapkan juga diajak untuk memaknai puasa lewat pendekatan humanis bahwa puasa mengajarkan banyak hal, utamanya mengelola emosi menuju sehat jiwa yang akhirnya memudahkan kita untuk menghayati makna taqwa. ‘Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa’ (Qs. Al-Baqarah/2: 183)
Jika kita melihat ayat Qs. Al-Baqarah/2: 183 di atas akan timbul pertanyaan bahwa ‘taqwa’ tak sekedar pemberian tanpa usaha. Sebaliknya, ia memerlukan niat dan usaha luar biasa. Karenanya, Allah mewajibkan ibadah puasa Ramadan secara kontinyu, berulang-ulang (repetitif) hingga satu bulan penuh. Pengulangan ini diharapkan mampu terinternalisasi dalam jiwa manusia.
Pertanyaannya, bagaimana meraih taqwa dan bagaimana pula mengomunikasikan pada anak dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami bahwa puasa bukan sekedar menahan lapar dan dahaga, namun juga menyehatkan jiwa kita?
Sejenak kita hayati salah satu ayat yang memiliki kesesuaian dengan firman Allah mengenai puasa di atas yakni Qs. Ali Imran/ 3: 133-134, “Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan amarahnya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
Jika kita cermati, Qs. Al-Baqarah/2: 183 dengan Qs. Ali-Imran di atas memiliki kesesuaian yakni sama-sama menyebut konteks taqwa sebagai hal penting yang dapat diikhtiarkan seorang hamba. Secara lebih rinci, Qs. Ali-Imran/3: 134 menyebutkan bahwa ciri orang-orang bertaqwa yang akan diwariskan surga ialah pertama, mereka yang gemar memberi dalam berbagai situasi. Kedua, orang-orang yang mampu mengendalikan emosi. Ketiga, orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Ketiga ciri-ciri yang telah disebutkan di atas memiliki ketercakupan karena pertama, Ramadan melatih kita untuk empati terhadap mereka yang tengah diuji. Kedua, Ramadan ialah bulan untuk mengendalikan emosi. Ketiga, Ramadan pula mengajarkan kita untuk ikhlas memaafkan orang yang telah menyakiti meski seringkali masih mengganjal hati. Luarbiasanya, ketiga hal di atas hanya mampu diraih melalui upaya pengendalian diri; utamanya dengan pandai mengendalikan kebutuhan dasar makan dan minum melalui puasa. Sederhananya, jika nafsu makan dan minum dikendalikan, maka seorang hamba (harapannya) akan lebih mudah melakukan ketiga hal yang diisyaratkan dalam Qs. Ali-Imran/3: 134.
Terkait ayat di atas, Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya menguraikan, orang yang mampu menahan amarah adalah orang yang telah mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Mereka telah melampaui egoisme dan nafsu, dan memilih untuk hidup dalam kedamaian batin. Dalam konteks ini, menahan amarah bukanlah sebuah penindasan, melainkan sebuah pilihan yang bijaksana. Dengan menahan amarah, seseorang tidak hanya melindungi dirinya sendiri, tetapi juga orang-orang di sekitarnya. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid II, halaman 120).
Sementara itu, Syaikh Wahbah Az-Zuhayli turut menafsirkan lafaz al-kazhimin al-ghayz, baginya, orang-orang yang menahan amarah, yaitu ketika amarah mereka memuncak, mereka berupaya menahannya (menyembunyikannya dan tidak mengekspresikannya) meskipun mereka memiliki kemampuan untuk melakukan itu. (Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsirul Munir, Beirut, Darul Fikr Al-Mu’ashir: 1991 M], jilid IV, halaman 87).
Melalui penjelasan kedua mufassir di atas, diharapkan melalui ibadah Ramadan orangtua terlebih dulu mampu meregulasi emosi diri sendiri, agar lebih mudah mendampingi porses belajar anak dalam meregulasi emosinya. Dalam studi psikologi, Gottman, 1999 & Bell & Harsin (2018) menyebut bahwa proses regulasi emosi anak akan lebih mudah dilakukan ketika hubungan anak dan orangtua terbangun dengan sehat (bonding). Hubungan yang baik ini setidaknya akan melahirkan beberapa dampak positif, pertama, ialah kesehatan mental yang lebih baik (anak yang stabil emosinya, lebih sedikit stress dan kecemasan). Boleh jadi, di awal-awal puasa, anak masih perlu beradaptasi. Ia merasa ketidaknyamanan pada tubuhnya; ia merasakan lapar dan haus yang memengaruhi emosinya. Pada momen itulah diharapkan orangtua mampu bersikap tenang, memvalidasi apa yang anak rasakan serta tetap memberikan dukungan penuh pada Ananda agar mampu bersabar menahan lapar dan dahaga, dengan tetap mempertimbangkan kemampuan puasa anak sesuai usia.
Kedua, setelah memeroleh rasa aman dan dukungan, maka anak lebih mudah menyesuaikan diri, ia tidak lagi takut haus dan lapar sehingga tetap aktif bermain. Produktivitas anak pun akan meningkat. Ia yang tadinya ragu akankah kuat tidak makan dan minum selama belasan jam lamanya? berkat dukungan penuh orangtua, ia lebih yakin menjalaninya.
Ketiga, melalui pendampingan regulasi emosi yang baik, anak mampu dengan mudah menciptakan pertemanan yang positif. Terakhir, jika fase-fase tersebut telah dijalankan, maka InsyaAllah, anak-anak akan menikmati puasanya bukan sekedar lapar dan haus saja namun juga dapat menjalaninya dengan bahagia. Yakinkan bahwa puasa Ramadan hanya untuk dan karena Allah, Allah yang akan memberikan reward terbaik-Nya untuk mereka yang mampu bersabar menahan diri selama berpuasa. Demikian, Allahu a’lam bish shawab.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini