Di tengah konflik bersenjata, banyak negara menggunakan kekuatan ekonomi untuk menekan lawan. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan aksi boikot, yaitu tidak menjual atau membeli barang dari negara atau pihak yang diboikot. Saat ini, seruan untuk memboikot produk Israel dan perusahaan atau negara yang mendukung Israel semakin kuat, terutama setelah perang di Gaza yang dimulai pada 7 Oktober 2023.
Boikot Produk Israel di Berbagai Negara
Ketika berada di Kairo, Mesir pada 22-26 November 2023 untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan Baznas bagi penduduk Gaza, mitra Baznas di Kairo, Mishr el-Kheir, mensyaratkan agar bantuan berupa bahan makanan yang akan dikirim harus “khârij al muqâtha`ah” (di luar produk yang termasuk dalam daftar boikot). Meskipun Al-Azhar dan Dar al-Ifta Mesir tidak mengeluarkan fatwa seruan boikot kali ini, seruan tersebut nyata ada di tingkat masyarakat. Sebelumnya, saat terjadi pelecehan terhadap Al-Qur’an di Swedia dan Denmark, Al-Azhar menyerukan aksi boikot produk kedua negara tersebut.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Boikot
Di Indonesia, pada 10 November 2023, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor 83 tahun 2023 tentang hukum dukungan terhadap perjuangan Palestina. Fatwa ini merekomendasikan umat Islam untuk tidak membeli produk-produk Israel atau yang mempunyai koneksi dengan Israel. Menurut Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Asrorun Niam Sholeh, mendukung pihak yang mendukung agresi Israel, baik langsung maupun tidak langsung, hukumnya haram.
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS)
Pada tahun 2005, organisasi masyarakat sipil Palestina meluncurkan gerakan BDS (Boycott, Divestment, Sanctions) sebagai bentuk tekanan tanpa kekerasan terhadap Israel. Gerakan ini diluncurkan oleh 170 serikat pekerja Palestina, jaringan pengungsi, organisasi perempuan, asosiasi profesional, komite perlawanan rakyat, dan badan masyarakat sipil Palestina lainnya.
BDS adalah gerakan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan, yang menjunjung tinggi prinsip bahwa warga Palestina berhak atas hak yang sama seperti umat manusia lainnya. Salah satu strategi yang digunakan adalah boikot produk Israel untuk mengakhiri dukungan internasional terhadap penindasan Israel dan menekan Israel untuk mematuhi hukum internasional.
Dasar Hukum Boikot dalam Islam
Dalam situasi konflik atau perang, upaya apapun yang dapat melumpuhkan musuh dapat dibenarkan. Dalam kitab-kitab fiqih, para ulama membahas hukum berdagang dengan pihak musuh. Jumhur ulama membolehkan berdagang kecuali senjata atau barang yang dapat digunakan untuk menyerang balik. Aksi boikot diperbolehkan dalam agama dengan syarat dampaknya tidak merugikan kaum Muslim sendiri. Jika berdampak membahayakan, hukumnya bisa menjadi makruh bahkan haram. Namun, jika memberi pengaruh besar melemahkan musuh, hukumnya bisa menjadi wajib atau dibolehkan.
Dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah
-
QS. Al-Taubah [9]: 5 – Imam al-Thabari menafsirkan kata “wahshurûhum” (kepunglah) dengan mencegah mereka melakukan transaksi di negeri Muslim. Ini termasuk segala bentuk pengepungan, baik ekonomi maupun militer.
-
QS. Al-Anfal [8]: 60 – Persiapkan segala kemampuan untuk menghadapi musuh dengan kekuatan yang ada. Abu al-Su`ud menafsirkan kalimat ini dengan segala yang menjadikan kuat dalam perang, termasuk boikot ekonomi.
-
QS. Al-Taubah [9]: 120 – Ayat ini menjelaskan bahwa tindakan yang membangkitkan kemarahan orang kafir sangat dianjurkan. Boikot ekonomi berpengaruh dari dua sisi: materi dan psikologis.
-
QS. Yusuf [12]: 59-60 – Nabi Yusuf AS menggunakan boikot ekonomi terhadap saudara-saudaranya untuk menekan mereka agar membawa saudara kandungnya (Benyamin) ke Mesir.
Dalam sejarah Nabi, peristiwa yang paling tegas dijadikan dalil kebolehan aksi boikot adalah yang dilakukan oleh Tsumamah bin Atsal. Setelah memeluk Islam, Tsumamah memboikot penduduk Mekkah sampai mereka kesulitan dan menulis surat kepada Rasulullah agar meminta Tsumamah kembali memasok gandum.
Efektivitas dan Dampak Boikot
Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang rugi dan siapa yang untung dalam aksi boikot? Rasyad Abdouh, Ketua Forum Kajian Ekonomi Mesir, mengingatkan tentang perlunya membedakan antara boikot terhadap cabang sebuah perusahaan induk asing di suatu negara, dan boikot terhadap perusahaan pemegang merek dagang asing milik pengusaha lokal. Boikot terhadap cabang perusahaan asing akan berdampak pada perusahaan induk. Namun, boikot terhadap perusahaan pemegang merek dagang asing milik pengusaha lokal hanya akan merugikan pengusaha dan tenaga kerja lokal serta keluarga mereka.
Bagi pendukung boikot, ini menjadi peluang bagi pengusaha dalam negeri untuk meningkatkan produk-produk lokal dengan menciptakan produk alternatif yang berkualitas. Tentang dampak boikot, para ahli masih berdebat sejauh mana efektivitasnya. Namun, satu hal yang pasti, sekecil apapun perlawanan terhadap kesemena-menaan Israel harus dilakukan sebagai bentuk solidaritas terhadap saudara-saudara kita yang terjajah dan tertindas.
Kesimpulan
Berdasarkan dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan bahwa aksi boikot terhadap produk negara atau pihak yang menyerang dan memusuhi umat Islam pada dasarnya dibolehkan oleh agama. Namun, hukumnya bisa beragam; wajib, sunnah, makruh, atau haram, tergantung situasi dan keadaan serta pertimbangan maslahat dan mudarat yang ditimbulkannya berdasarkan otoritas umat Islam. Selain itu, efektivitas dan dampaknya terhadap musuh serta pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat Muslim, termasuk perekonomian mereka, harus dipertimbangkan.
Dalam situasi perang atau konflik, boikot ekonomi bisa menjadi senjata ampuh. Seperti dalam QS. Al-Taubah [9]: 5 dan QS. Al-Anfal [8]: 60, Islam mendorong umatnya untuk menggunakan cara-cara yang dibenarkan dalam memerangi musuh. Oleh karena itu, aksi boikot terhadap produk Israel dan pendukungnya adalah salah satu bentuk perlawanan yang dapat kita lakukan demi mendukung perjuangan saudara-saudara kita di Palestina.
Dr. Muchlis M. Hanafi, M.A, Direktur Pusat Studi Al-Quran
Artikel disadur dari Makalah Kajian Ba’da Jumat Masjid Istiqlal