Mengapa Aib Orang Lebih Mudah Tercium daripada Aib Sendiri?

Salah satu keajaiban sekaligus anugerah terbesar yang Allah SWT karuniakan kepada anak Adam adalah kemampuan adaptasi hidung. Betapa sering kita harus bersyukur, karena hidung kita diciptakan “tumpul” terhadap bau diri sendiri. Menurut riset psikologi kesehatan, sekitar 70–80% orang dengan bau badan tidak menyadarinya sendiri; fenomena ini disebut olfactory adaptation atau kemampuan hidung menyesuaikan diri dengan aroma yang terus-menerus terpapar.

Artinya, betapapun anyir, rongsok, atau pengap bau yang keluar dari tubuh kita, hidung menegasikan itu semua dan mengirimkan sinyal ke otak bahwa: saya baik-baik saja.

Namun, berbeda jika bau itu berasal dari orang lain. Seketika kita berubah menjadi detektif: mencari sumbernya, menoleh kiri-kanan, bahkan kalau perlu mengepalkan tangan seolah-olah baunya menyinggung harga diri kita.

Di sinilah peribahasa lama menemukan relevansinya: “gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan jelas terlihat.” Kita cenderung buta terhadap keburukan sendiri, namun sangat jeli pada kesalahan orang lain.

Benarlah apa yang pernah dikatakan Rasulullah SAW:

طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ

“Sungguh beruntung orang yang sibuk membenahi aibnya sendiri, sehingga ia tidak sempat meneliti aib orang lain.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, Juz 7, hal. 355)

Zaman Medsos: Aib Orang Datang Sendiri

Sialnya, di zaman media sosial sekarang, dicari atau tidak, suka tidak suka, kadang bau dan aib orang lain itu tiba-tiba mampir di timeline. Muncul di FYP, beredar di grup WhatsApp, atau jadi trending tanpa kita kehendaki.

Seakan-akan Nabi Saw sudah memprediksi itu. Maka beliau katakan, “beruntunglah orang yang bisa sibuk dengan aibnya sendiri.” Kenapa beruntung? Karena yang demikian belum tentu semua orang sanggup.

Orang yang soft spoken bisa ikut campur aib orang. Orang berpendidikan bisa. Orang yang paham agama bisa. Apalagi orang yang memang sejak awal punya hobi rumpi. Semua berita tak penting—perselingkuhan artis, skandal politik, atau sensasi murahan—mereka hafal luar kepala, padahal tokoh-tokoh itu sama sekali tidak peduli dengan hidupnya.

Maka hari ini, butuh keberuntungan besar untuk tidak peduli dengan aib orang lain. Butuh tekad untuk fokus menutup aib sendiri.

Hikmah dari “Kebuntuan” Indera Kita

Mengapa Allah menjadikan indera kita selektif seperti ini? Ada hikmah besar di baliknya. Bayangkan bila manusia terus-menerus disadarkan pada keburukan dirinya, mungkin tidak ada yang berani berbicara soal moral.

Setiap kali ia hendak memberi nasihat, rasa rendah diri dan “siapa saya” akan menghantuinya. Akibatnya, tidak ada lagi ustadz, guru, dosen, kyai, atau siapa pun yang berani tampil menjadi kompas moral bagi umat.

Karenanya, Allah mengatur kadar “pembacaan” diri dan orang lain agar tetap seimbang: sadar akan aib pribadi “secukupnya”, agar masih merasa pantas untuk mengingatkan sesama.

Akhirnya, metafor hidung ini mengingatkan kita: jangan terlalu sibuk mencium bau orang lain. Karena di balik setiap pencarian aib orang, ada peluang besar kita melupakan busuk diri sendiri.

Hari ini, keberuntungan itu bernama fokus memperbaiki diri. Tutupi aib pribadi, evaluasi setiap hari, dan naikkan standar hidup meski hanya 1%. Dengan begitu, kita tidak hanya lebih bersih di mata manusia, tapi juga lebih mulia di hadapan Allah.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini