Hingga saat ini isu bullying atau yang dikenal perundungan selalu ramai diperbincangkan di sekolah. Tentu saja mencegah lebih baik daripada mengatasi sesuatu yang terlanjur terjadi. Karena masuk dalam kategori akhlak, Islam hadir dengan tuntunannya untuk dapat diadopsi. Diharapkan perilaku bullying menurun apabila mendapatkan penanganan sesuai tuntunan Islam.
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan sarana pembentukan karakter bangsa, seringkali tercoreng nama baiknya akibat kasus bullying yang meningkat. Akibatnya, banyak siswa akhirnya terpaksa menanggung dampaknya dalam jangka pendek hingga jangka panjang.
Dalam beberapa rapat misalnya, teman saya seorang guru BK berkisah bahwa bullying sering terjadi di sekolahnya. Mulai dari sikap mengejek, menghina, memberi ancaman, menindas, memukul, bahkan menyerang langsung kepada korban. Akibatnya, korban merasa terkucilkan, tertekan, dan tidak merasa betah di sekolah (unesa.ac.id, 2022).
Korban bullying bisa saja mengalami trauma panjang karena tidak menemukan perlindungan atas tekanan mental yang dialaminya. Hal yang mungkin terjadi pada korban misalnya akan jarang hadir di kelas, merasa minder, hingga paling parah mengalami depresi jangka panjang (ai-care.id, 2023).
Sasaran bullying biasanya terjadi pada korban yang lebih lemah. Sayangnya oleh sebagian dianggap sebagai perilaku yang lumrah terjadi pada anak usia sekolah. Meskipun dinilai sebagai kenakalan, tetapi faktanya mereka tidak cukup mampu menawarkan langkah solutif terhadap masalah tersebut. Lalu seperti apa tuntunan Islam mengatasi perilaku bullying ini?
Istilah Bullying Dalam Bahasa Arab
Di dalam al-Qur’an, seringkali digunakan kata-kata yang semakna dengan mengejek, menganiaya, menindas, dan menzalimi. Masing-masing makna tersebut tentu sudah ditakar sedemikian rupa memberi pengertian terkait bullying. Secara bahasa, kata seperti sakkhara-yusakkhiru berarti mengejek atau mencemoohkan (Kamus al-Munawwir, 1997: 618). Dari makna tersebut kemudian berkembang upaya merendahkan itu dapat bermula perbuatan mengolok-olok. Bentuk lain juga bisa termasuk memberikan julukan yang tidak bagus kepada orang lain. Cara lain, bisa termasuk merendahkan ialah mengungkapkan kata-kata yang menghina derajat status sosial orang lain.
Bentuk lain yang mewakili perilaku bullying ini adalah kata zhalama-yazhlimu berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya atau bertindak aniaya. Bisa juga berarti kegelapan atau lawan dari cahaya (Kamus al-Munawwir, 1997: 882). Seseorang yang berbuat zalim berarti telah menciptakan kegelapan hati korbannya. Bahkan, korban kezaliman akan merasa tersiksa hati dan pikirannya akibat perlakuan yang kurang adil dari orang lain.
Jangan Merendahkan Orang Lain
Tidak mau disalahkan merupakan karakter alami manusia. Jika berkesempatan, seseorang selalu berupaya mencari kelemahan orang lain. Karena tidak mau disalahkan atau dikatakan salah, mencari kesalahan orang lain terkadang menjadi kebiasaan yang cukup mengkhawatirkan. Sesuai hadis, sikap merendahkan orang lain biasanya muncul karena kesombongan yang melekat pada hati seseorang akan menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain (HR. Muslim).
Secara tegas, al-Qur’an mengingatkan perihal larangan sikap merendahkan orang lain. Karena boleh jadi, si korban justru lebih baik dari si pelakunya (Qs. al-Hujurat [49]: 11). Sikap merendahkan dengan menertawakan seseorang, perundungan secara verbal, hingga memberi julukan untuk mengejek adalah sekian diantara perilaku merendahkan orang lain (Ibnu Katsir: 7/376). Sebab, bila terlanjur menjadi kebiasaan perilaku merendahkan ini akan meningkat menjadi kekerasan yang bisa saja membahayakan psikis sampai fisik seseorang.
Di sinilah korelasi antara sikap merendahkan orang lain dengan perilaku bullying pada umumnya. Berawal dari kesombongan diri, seseorang bisa melakukan sikap yang tercela. Bila hati seseorang selalu tertata dengan nilai-nilai kebaikan tentunya tidak akan sampai kebablasan melakukan tindakan yang merendahkan dan merugikan orang lain. Itulah mengapa dalam setiap hari menjelang tidur Imam al-Ghazali dalam Bidayat al-Hidayah menganjurkan kita selalu mengevaluasi diri dan merenungi dosa-dosa agar diampuni oleh Allah Swt. (al-Ghazali, 2005: 125).
Dengan menghindari sikap sombong dalam diri seseorang—yang berpotensi meningkat menjadi perilaku negatif—diduga dapat mencegah perilaku bullying sejak dini. Pada prinsipnya semua harus dimulai dari diri sendiri. Apabila tidak mampu dari diri sendiri, boleh saja membuat gerakan anti bullying berbentuk komunitas yang selalu menerima keberadaan orang lain. Hal lain yang perlu dilakukan adalah selalu berupaya menghindari komunitas atau kelompok yang rawan terlibat kasus bullying. Tujuannya adalah supaya tidak muncul korban baru atau pelaku berikutnya.
Semoga tuntunan Islam di atas menjadi solusi terhadap maraknya kasus bullying di sekolah. Biarlah perbuatan yang mengandung unsur merendahkan orang lain itu tersematkan pada kaum kafir Quraisy saja. Sebab, merendahkan orang lain juga termasuk kezaliman. Apabila tidak segera bertaubat, pelakunya akan diancam siksa di akhirat. Jangan sampai menular menjangkiti kita sebagai muslim yang sangat mudah menerima nasehat dan tuntunan dalam menyebarkan nilai-nilai kebaikan kepada semesta. Wallahu A’lam.
Abdul Fatah, S.Ud., M.Ag., Ustadz di Cari Ustadz
Tertarik mengundang ustadz Abdul Fatah, S.Ud., M.Ag.? Silahkan klik disini