Memberi Nasihat Idealnya Hanya Jika Diminta

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita tergoda untuk memberi nasihat kepada orang lain, bahkan ketika mereka tidak memintanya. Padahal, Nabi Saw sudah mengajarkan etika dalam memberi nasihat. Salah satu hak seorang Muslim atas Muslim lainnya adalah memberi nasihat hanya ketika diminta. Rasulullah Saw bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

“Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam. Para sahabat bertanya: ‘Apa saja itu wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: Jika engkau bertemu, ucapkan salam; jika engkau diundang, penuhilah; jika ia meminta nasihat, maka nasihatilah; jika ia bersin lalu memuji Allah, doakanlah; jika ia sakit, jenguklah; dan jika ia meninggal, antarkanlah jenazahnya.” (HR. Muslim, Kitab as-Salam, no. 2162)

Hadis ini menekankan bahwa nasihat itu baru menjadi kewajiban jika diminta. Sebab tujuan dari nasihat adalah menyentuh hati dan perasaan seseorang. Ia bukan sekadar informasi, tapi sesuatu yang delicate—sangat halus dan sensitif. Jika disampaikan dengan kata-kata yang salah, atau pada waktu yang salah, nasihat justru bisa melukai hati, menimbulkan jarak, bahkan menutup pintu kebaikan. Karena itu, memberi nasihat butuh momen yang adaptif dengan kondisi orang yang dinasihati. Kita baru tahu mereka siap menerima saran ketika mereka sendiri yang meminta.

Fenomena zaman sekarang, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan platform lain sering jadi ajang “nasihat tiba-tiba” di ruang publik. Misalnya seseorang hanya berbagi foto liburan, lalu muncul komentar, “Ingat ya, dunia itu fana, jangan lupa akhirat.” Atau ada yang curhat singkat tentang kegelisahannya, lalu muncul komentar, “Kurang zikir itu, makanya hidupmu susah.” Niatnya mungkin baik, tapi cara menyampaikannya seringkali membuat orang merasa dihakimi.

Dalam hal ini, perkataan Imam Syafi‘i sangat relevan:

مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ، وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَانِيَةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ

“Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia, maka sungguh ia telah memberi nasihat dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasihatinya di depan orang banyak, maka sungguh ia telah mempermalukannya dan mencelanya.”

Artinya, nasihat itu idealnya juga: disampaikan secara empat mata, bukan di ruang publik yang justru bisa berubah menjadi “fadhihah” (penghinaan). Di media sosial, komentar yang awalnya diniatkan sebagai nasihat sering berbalik menjadi ajang mempermalukan. Padahal, tidak semua yang bercerita sedang meminta nasihat. Kadang mereka hanya ingin sharing atau didengarkan. Dalam kondisi seperti itu, cukup tunjukkan empati tanpa perlu membandingkan nasib atau sok merasa lebih bijak layaknya kakak yang menasihati adiknya.

Namun ada pengecualian: jika yang diceritakan atau ditampilkan adalah sebuah kemungkaran, maka kita memang punya kewajiban untuk mengingatkan bahwa itu salah, meskipun mereka tidak meminta nasihat. Sebagaimana sabda Nabi Saw:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim,Kitab al-Iman, no. 49)

Dari sini kita belajar bahwa nasihat bukan untuk dipaksakan, melainkan untuk disampaikan pada waktu yang tepat, yaitu saat diminta, atau ketika menghadapi kemungkaran. Dengan begitu, nasihat akan sampai ke hati, bukan sekadar lewat telinga.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini