Seorang Muslim yang taat tentu menginginkan agar segala ibadahnya sesuai dengan tuntunan agama. Dalam konteks berpuasa, kita dituntut untuk tidak hanya mengerti apa yang halal (boleh), dan apa yang haram (dilarang). Tetapi kita juga diharapkan mengerti dan menjalankan apa yang dianjurkan (sunnah), dan apa yang diharapkan untuk ditinggalkan (makruh).
Bahkan selain kemakruhan dan kesunnahan, Nabi juga pernah memberi wejangan tentang apa yang terkesan tidak jelas hukumnya atau syubhat. Diriwayatkan dari Abi Abdillah bin Nu’man bin Basyir, ia mendengar Nabi pernah berkata:
”Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang (samar), tidak diketahui oleh mayoritas manusia. Barang siapa yang menjaga diri dari perkara-perkara samar tersebut, maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka dia telah terjatuh kepada perkara haram.
Dalam Syarah Arba’in an-Nawawi, Ibn Daqiq al-’Id mengemukakan pendapat ulama tentang pembagian perkara yang syubhat di atas. Menurutnya, terdapat tiga pendapat ulama akan hal ini.
Pertama, sesuatu yang halal tetapi diragukan seseorang akan keharamannya. Contoh, suami yang mempunyai istri, lalu dia ragu apakah sudah menalaknya atau belum. Kedua, sesuatu yg diketahui keharamannya, lalu dia ragu akan keharamannya. Contoh, seseorang tahu apabila hewan yang tidak disembelih (sesuai syariat) adalah haram dimakan, akan tetapi kemudian dia ragu apakah dia sudah menyembelih (sesuai syariat) atau tidak. Ketiga, seseorang dari awal sudah ragu-ragu apakah yang dihadapi itu perkara halal atau haram.
Dalam hal ini, dianjurkan baginya untuk menghilangkan keragu-raguan itu dengan menghindarinya. Rasulullah pernah ragu akan biji kurma yang jatuh di rumahnya (ada yang mengatakan di jalan). Lalu beliau bersabda: “Seandainya aku tidak khawatir bahwa kurma itu dari zakat, niscaya aku memakannya.” (Muttafaq ‘Alaih).
Itulah kehati-hatian yang tergambar dalam kehidupan Rasulullah. Kembali ke pembahasan utama, yakni kesunnahan dan kemakruhan puasa. Bahwa memang selain yang syubhat itu, ada perkara yang sekilas jelas juga secara hukum, namun bukan kategori halal atau haram. Sebaliknya, ulama menamainya sebagai sesuatu yang sunnah dan makruh.
Kenapa saya katakan “sekilas” jelas secara hukum? Tidak lain karena di dalam kategori kemakruhan dan kesunnahan itu, para ulama pun berbeda pandangan. Hal ini hemat saya tidak perlu membuat umat Islam menjadi bingung. Akan tetapi, justru kita perlu memandang bahwa selama ada khilafiyah para ulama akan suatu hal, saat itulah pintu-pintu rahmat yang dijanjikan Allah bisa kita manfaatkan. Maksudnya, kita bisa bebas memilih pendapat mana yang sekiranya lebih sesuai dengan kondisi kita yang berbeda-beda. Lalu, apa saja yang termasuk dalam kategori ini?
Muhammad Hasan Hito dalam Fiqh as-Shiyam memaparkan berbagai macam bentuk kemakruhan dan kesunnahan yang dijelaskan oleh para ulama dan bisa kita jadikan acuan. Di antara kemakruhan saat berpuasa yang perlu kita perhatikan adalah: Hijamah (bekam). Para ulama berbeda pendapat akan keharaman dan pembolehannya. Jumhur ulama dan ahli hadist mengatakan bahwa bekam itu diperbolehkan. Akan tetapi, bagi yang berpuasa, lebih utama untuk meninggalkannya. Sebagaimana perkataan Imam Syafi’I dalam al-Umm, “walau taraka kana ahabbu ilayya” meninggalkannya (bekam saat berpuasa) lebih aku senangi. Tidak ada perbedaan hukum antara pembekam (hajim) dan yang dibekam (mahjum).
Argumentasi yang dipakai ulama yang berpendapat bahwa bekam tidak membatalkan puasa adalah salah satu hadist Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Abbas,
Selain bekam, perkara yang dimakruhkan seorang yang sedang puasa adalah al-Qublah (mencium), Hasan Hito memberi catatan bahwa mecium dalam kategori ini adalah selama orang tersebut tidak sampai inzal (keluarnya air mani dari kemaluan). Karena ketika inzal, ijma’ ulama mengatakan bahwa itu masuk kategori keharaman puasa dan membatalkan.
Kemakruhan puasa yang lain adalah al-Wishal (menyambung puasa). Maksudnya, menyambungkan puasa di hari pertama dan hari selanjutnya tanpa disertai berbuka di saat waktu maghrib tiba. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa al-Wishal ini masuk kategori karahah tahrim (makruh yang cenderung kepada keharaman). Tetapi, ketika seseorang sudah berbuka atau minum dengan kadar sedikit, maka ia tidak masuk kategori melakukan al-Wishal ini.
Selain al-Wishal dan al-Hijamah, Sikat gigi atau siwak (setelah zawal atau datangnya waktu dzuhur), mencicipi makanan, begitu juga berkata jorok merupakan beberapa macam kemakruhan lain di saat seseorang berpuasa.
Adapun kesunnahan dalam berpuasa, maka banyak ulama juga telah mengemukakan berbagai macamnya. Kesunnahan ini merupakan anjuran yang seharusnya dilakukan umat Islam karena keagungan manfaat dan juga pahala yang Allah janjikan. Di antara kesunnahan dalam berpuasa adalah melaksanakan sahur. Sahur disunnahkan karena di dalamnya terdapat banyak keberkahan, membantu seorang yang berpuasa agar kuat di siang harinya, dan sahur juga menjadi pembeda kita dengan orang ahli kitab. Kata Nabi perihal ini melalui Amr bin Ash, “Faslu ma baina shiyamina wa syiyami ahlil kitabi aklatus sahr” (HR. Muslim).
Kesunnahan lain yang bisa kita lakukan saat berpuasa adalah (1) mengakhirkan sahur dan bersegera dalam berbuka, (2) berbuka dengan kurma (bila tidak ada cukup dengan minum atau makan yang manis-manis), (3) berdoa ketika berbuka, (4) memberikan takjil bagi yang akan berbuka puasa (5) memperbanyak sedekah dan membaca al-Qur’an.
Demikian sekilas dari hukum-hukum yang terkait dengan puasa, khususnya puasa di bulan ramadan yang sedang kita lakukan saat ini. Tidak semua bentuk kesunahan maupun kemakruhan puasa saya sertakan dalil dan argumentasinya, mengingat terbatasnya tulisan. Namun, InsyaAllah akan saya kaji di tulisan yang lain.
Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum dan Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini