Hari Ibu di Indonesia selalu menjadi ruang refleksi tentang perjuangan seorang ibu. Dari desa hingga kota, dari pasar hingga ruang kelas, ibu hadir sebagai sosok yang menopang keluarga dengan cinta, kerja keras, dan doa. Namun, di balik senyum mereka, ada beban sosial, ekonomi, bahkan spiritual yang sering kali tidak terlihat.
Dalam tradisi Islam dan Kristen, kita menemukan figur Maryam binti ‘Imran atau Maria sebagai teladan ibu yang berdaya. Kisahnya bukan sekadar sejarah, melainkan cermin bagi ibu-ibu masa kini yang menghadapi stigma sosial, krisis identitas, dan tuntutan hidup yang berat. Maryam mengajarkan bahwa keberdayaan seorang ibu lahir dari iman, kerja keras, dan keberanian menjaga martabat. Kisahnya menembus batas sejarah, menjadi teladan universal bagi perempuan yang ingin meneguhkan iman, menjaga integritas, dan berkontribusi bagi masyarakat.
Dalam Al-Quran dan Injil, ada tiga komponen utama keberdayaan Maryam yang disorot oleh dua figur agama, yaitu Al-Quran dan Injil. Dari sisi kacamata Al-Quran, saya akan memperkuat penjelasannya dengan Mufassir klasik kontemporer yaitu Wahbah Al-Zuhayli, Imam Al-Qurtubhi, dan Quraish Shihab.
Pertama, Maryam sebagai Perempuan Pilihan dan Suci.
Al-Qur’an menegaskan:
وَاِذْ قَالَتِ الْمَلٰۤىِٕكَةُ يٰمَرْيَمُ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفٰىكِ عَلٰى نِسَاۤءِ الْعٰلَمِيْنَ
“Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu atas seluruh perempuan di semesta alam.” (QS. Āli ‘Imrān [3]:42)
Imam al-Qurṭubī dan Wahbah al-Zuḥaylī menjelaskan bahwa pemilihan Maryam memiliki dua makna: pertama, ia dipilih untuk berkhidmat di Baitul Maqdis tugas yang biasanya hanya diberikan kepada laki-laki; kedua, ia dipilih untuk melahirkan Nabi Isa tanpa melalui hubungan suami-istri. Ibn Kathīr menambahkan, kesucian Maryam bukan hanya fisik, tetapi juga spiritual: ia bebas dari keraguan, akhlak tercela, dan tetap teguh dalam ibadah.
Di sini Maryam tampil sebagai perempuan yang melampaui batasan sosial, ia menunjukkan bahwa spiritualitas dan integritas moral adalah fondasi pemberdayaan sejati.
Kedua, Maryam sebagai Figur yang Tangguh dan Pekerja Keras
Ketika melahirkan Isa, Maryam berada dalam kondisi lemah. Namun Allah memerintahkannya:
وَهُزِّيْٓ اِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسٰقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا ۖ
“Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menjatuhkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam [19]:25)
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menekankan bahwa ayat ini adalah simbol kerja keras. Meski Maryam dalam keadaan sulit, ia tetap diperintahkan untuk berusaha. Hamka dalam Tafsir al-Azhar menambahkan, pesan ini berlaku universal: manusia tidak boleh pasif menunggu rezeki, tetapi harus bergerak dan berusaha.
Hamka menegaskan bahwa Maryam menjadi teladan ibu yang berjuang, bahkan di tengah keterbatasan. Ia menunjukkan bahwa keberdayaan bukan berarti bebas dari ujian, melainkan kemampuan untuk tetap berusaha di tengah kesulitan.
Ketiga, Maryam sebagai Komunikator Berani dan Teguh
Ketika dituduh oleh kaumnya, Maryam tidak membela diri dengan kata-kata. Ia hanya memberi isyarat kepada bayinya, Isa, yang kemudian berbicara di buaian:
فَاَشَارَتْ اِلَيْهِۗ قَالُوْا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِى الْمَهْدِ صَبِيًّا
Maka dia (Maryam) menunjuk kepada (anak)nya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan? (QS: Maryam 19):29)
Al-Zuḥaylī menafsirkan bahwa isyarat Maryam adalah bentuk komunikasi alternatif yang lebih kuat daripada ucapan. Imam al-Qurṭubī menambahkan, sikap diam Maryam adalah bentuk keberanian spiritual: ia menyerahkan pembelaan dirinya kepada tanda-tanda ilahi. Al-Zuhayli mengungkap bahwa Maryam tampil sebagai perempuan yang berani menghadapi stigma sosial, menunjukkan bahwa keberdayaan juga berarti kemampuan menjaga martabat dengan cara yang bijak.
Dalam narasi Injil budaya Katolik menyoroti Maryam sebagai sosok perempuan suci yang mengandung Roh Kudus di dalamnya. Narasi Injil menekankan iman yang luar biasa dari Maryam (Maria), terutama dalam tanggapannya terhadap pengumuman malaikat mengenai kehamilannya yang akan datang (Lukas 1:26-31). Setelah menerima kabar ajaib ini, Maria mengungkapkan kebingungannya dengan pertanyaan,
“Bagaimana hal ini bisa terjadi, padahal aku masih perawan?” (Lukas 1:34).
Keraguan ini dapat dikaitkan dengan sumpahnya untuk hidup selibat dan komitmennya terhadap ibadah yang taat di Bait Suci. Maria secara sadar memilih untuk menjaga keperawanannya, menganggapnya sebagai komponen penting dari kesetiaannya kepada Allah. Ketika diajak menikah oleh seorang pria berkedudukan tinggi, dia dengan tegas menolaknya, menyatakan,
“Sejak kecil, aku telah mendedikasikan diriku kepada Bait Suci Allah, percaya bahwa keperawananku cukup untuk memperoleh cinta Allah. Oleh karena itu, karena aku hanya dapat menawarkan apa yang menyenangkan Allah, aku telah memutuskan di hatiku untuk tidak pernah mengenal seorang pria.”
Injil Pseudo-Matius membenarkan kesetiaan Maria dalam ibadah, sejalan dengan narasinya yang terdapat dalam QS. Ali ‘Imran [3:43] (Prabowo, 2023). Karena komitmennya yang teguh dan ketekunannya dalam ketaatan, orang-orang di sekitarnya mengakui Maria sebagai wanita suci yang tekun dalam praktik keagamaan, yang pada akhirnya mengantarkannya pada kehormatan yang mendalam untuk mengandung melalui Roh Kudus. Statusnya yang dihormati sebagai wanita suci dan ibu Roh Kudus terus dirayakan dalam tradisi Kristen.
Dalam analisis mendalam tentang peran Maria dalam narasi Alkitab, Injil Pseudo-Matius, yang mengeksplorasi asal-usul Maria dan Yesus, menggambarkan skenario di mana Maria membela diri di hadapan seorang hakim Yahudi selama persidangannya dengan Yusuf. Ia berseru,
“Demi Allah yang hidup, Allah manusia di hadapan siapa aku berdiri, aku belum pernah mengenal seorang pria; tetapi aku dikenal oleh Dia kepada siapa aku telah menyerahkan diriku sejak kecil. Dan sumpah ini aku ambil kepada Tuhanku sejak kecil, bahwa aku akan tetap suci dari sentuhan pria untuk Dia yang menciptakanku, dan bahwa aku akan hidup hanya untuk-Nya, menyerahkan diriku sepenuhnya kepada-Nya; dan selama aku hidup, aku akan menjaga kesucianku.”
Pernyataan ini secara mendalam mengubah persepsi komunitas terhadapnya, yang pada akhirnya mengarah pada permintaan maaf dan kembalinya dia ke rumah dalam keadaan bahagia. Narasi ini tidak hanya mengungkapkan keteguhan spiritual Mary tetapi juga menonjolkan komitmennya yang teguh untuk menjaga integritas moralnya. Kecerdasan intelektualnya terlihat dalam kemampuannya untuk menyampaikan pembelaan yang meyakinkan, sementara tindakannya menggambarkan keberanian moral dan keteguhan dalam mempertahankan prinsip-prinsipnya. Akibatnya, Mary muncul sebagai simbol pemberdayaan perempuan, mewakili kemandirian, keberanian, dan dedikasi yang tak tergoyahkan terhadap integritas pribadi dan standar etika.
Maryam binti ‘Imrān bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah figur ibu yang berdaya, yang mengajarkan tiga aspek diantaranya:
Pertama, Kesucian dan integritas sebagai fondasi hidup. Kedua, Kerja keras meski dalam keterbatasan. Ketiga, keberanian menghadapi stigma dengan keteguhan iman.
Di Hari Ibu, refleksi atas Maryam mengingatkan kita bahwa pemberdayaan perempuan bukan hanya soal akses ekonomi atau politik, tetapi juga kekuatan spiritual, moral, dan sosial. Maryam adalah teladan lintas agama, lintas zaman, yang menginspirasi setiap ibu untuk menjadi sumber cahaya bagi keluarganya dan masyarakat. Khususnya bagi semua ibu di Indonesia, mari kuatkan tekad untuk mengintegrasikan Iman dan Ikhtiar (usaha), menjadi bagian pewaris dan pengajar bagi anak-anak kita. Wallohu Alam Bishawab.
Rifa Tsamrotus Saadah,S.Ag, Lc, MA., Dosen STIU Darul Quran Bogor dan Ustadzah di Cari Ustadz
Tertarik mengundang ustadz Rifa Tsamrotus Saadah,S.Ag, Lc, MA.? Silahkan klik disini