Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Marilah, di hari yang baik, yang disebut dengan sayyidul ayyam, di bulan yang penuh kemuliaan dan keberkahan ini, marilah, kita selalu meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt. Sebab, dengan hanya berkah keimanan dan ketakwaan yang berkualitas kita akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup di dunia dan akhirat.
Di setiap kita memasuki bulan Ramadhan, banyak uraian tentang hikmah puasa dan bulan Ramadhan yang disampaikan. Ada yang berkata; puasa di bulan Ramadhan itu menyehatkan. Sebagian mengatakan; puasa dan ibadah-ibadah lain yang dilakukan di bulan Ramadhan itu melatih kedisplinan umat Islam. Ada yang berkata; bahwa bulan Ramadhan itu adalah bulan saatnya kita membakar dan menghapus dosa-dosa kita. Sebagian lagi mengatakan; bahwa bulan Ramadhan melatih kita berempati dan berbagi kepada sesama, dan masih banyak lagi uraian yang menyampaikan kebaikan-kebaikan hikmah puasa dan bulan Ramadhan.
Tetapi, semakin banyak uraian tentang hikmah disampaikan, semakin banyak muncul pertanyaan dalam benak dan pikiran kita. Kalau benar bahwa puasa di bulan Ramadhan itu menyehatkan, lalu mengapa kualitas atau angka kesehatan masyarakat muslim tidak lebih baik daripada mereka yang tidak melakukan kewajiban berpuasa?
Kalaulah benar bahwa puasa dan ibadah di bulan Ramadhan itu melatih kedisplinan diri, lalu mengapa masyarakat muslim kita tidak jauh lebih berdisplin daripada mereka yang tidak beribadah di bulan Ramadhan? Dan kalau benar, ibadah di bulan Ramadhan itu membakar dosa-dosa kita lalu mengapa begitu Ramadhan berlalu dengan mudahnya kita kembali melakukan dosa-dosa dan kemaksiatan?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena memang masih ada kesenjangan yang cukup lebar antara nilai-nilai luhur yang ada di di dalam ajaran Islam dengan fakta dan realitas umat Islam.
Hadirin yang dimuliakan Allah swt.,
Kalau kita merujuk kepada al-Qur’an, satu hal yang pasti, yang al-Qur’an sebutkan hikmah daripada bulan puasa pada bulan Ramadhan adalah la alakum ta’taqun. Kata ‘la ‘ala‘ mengandung makna harapan, kata harapan mengandung ketidakpastian. Oleh karena itu al-Imam as Syafi’i, beliau tidak mengatakan bahwa puasa itu tidak akan mengantarkan seseorang kepada ketakwaan. Puasa tidak mengantarkan seseorang kepada perbuatan baik, perbuatan mulia. Tetapi puasa DIHARAPKAN dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan.
Diharapkan, puasa itu dapat mengantarkan manusia kepada kebaikan dan kemuliaan. Kata ‘la ‘ala‘ mengandung harapan, mengandung ketidakpastian. Oleh karena itu, hidup orang mukmin memang hendaknya ‘antara harapan dan kecemasan.’ Kita berharap semoga apa yang kita lakukan ini diterima dan diridhoi oleh Allah swt. Dan pada saat yang sama kita juga merasa cemas, jangan-jangan apa yang kita lakukan ini tidak diterima oleh Allah swt.
Oleh karena itu, al-Qur’an tidak memperkenankan kepada kita untuk mengatakan, dan untuk merasa, dirinya sudah paling suci, dirinya yang paling bertakwa.
“Jangan anggap dirimu paling suci, sebab Allah lah yang tahu diantara kalian mana yang paling berkualitas ketakwaannya.”
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Ada sekian banyak definisi yang diberikan oleh para ulama tentang ketakwaan. Namun, satu hal yang pasti, indikator yang sangat kuat dari makna ketakwaan itu adalah at-taqwa wa husnul khuluq. Ketakwaan seseorang itu dapat diukur dari kebaikan ahlaknya. Dan, ahlak itu adalah salah satu dari 3 dimensi keislaman kita.
Ada tiga konsep dasar keislaman yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Yaitu; Iman, Islam dan Ihsan. Tiga konsep dasar ini disimpulkan dari sebuah hirarki yang berlaku antara Rasulullah saw., dengan malaikat Jibril di hadapan para sahabatnya.
Malaikat Jibril menanyakan apa itu makna iman, apa itu makna ihsan, apa itu makna islam, yang dijawab satu persatu oleh Rasulullah saw. Ihsan itu adalah ahlaqul kharimah.
Dan dalam hadits tersebut ini didefinisikan
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
‘Engkau beribadah kepada Allah swt seakan-akan menyaksikannya.’ Dan kalau itu tidak bisa dilakukan, perasaanlah, bahwa Allah swt. menyaksikan dan mengawasi apa yang kita lakukan ini.
Ihsan secara bahasa bermakna kebaikan. Tetapi ihsan bukanlah kebaikan biasa. Ihsan itu adalah puncak kebajikan.
Kalaulah kita memperlakukan orang lain secara baik sesuai perlakuan yang baik kepada kita itu adalah adil. Membalas keburukan orang lain dengan keburukan yang setimpal, al-Qur’an masih memperkenankan karena itu adalah sebuah keadilan. Tetapi, memperlakukan orang lain LEBIH BAIK perlakuannya kepada kita itu adalah ihsan.
Membalas keburukan orang lain dengan kebaikan, itu adalah ihsan.
ادْفَعْ بِالَّتي هِيَ أَحْسَنُ السَّيِّئَةَ نَحْنُ أَعْلَمُ بِما يَصِفُونَ
‘Balaslah tindakan dan sikap orang lain dengan sesuatu yang lebih baik’ (Q.S. Al-Mu’minun [23]: 96)
Ihsan maknanya jauh lebih baik dan lebih mendalam dari sekedar makna adil. Adil adalah memberikan sesuatu yang memang harus diberikan. Tetapi ihsan : memberikan sesuatu MELEBIHI apa yang seharusnya diberikan.
Kewajiban untuk membayar zakat itu 2,5%. Tetapi memberi lebih dari itu, adalah perbuatan ihsan.
Ihsan seorang hamba dituntut bukan kepada dirinya atau ke sesama mahluk lainnya tetapi juga kepada Allah swt. Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita untuk berlaku ihsan kepada binatang, kepada tumbuhan, kepada lingkungan dan sebagainya.
Rasulullah saw. pernah memarahi seseorang yang tampak akan menyembelih seekor hewan, tapi hewan tersebut sudah digeletakkan dalam keadaan tidak berdaya, tetapi orang itu terlihat sedang mengasah pisaunya yang tumpul di hadapan hewan tersebut. Rasul lalu katakan kepada orang itu : ‘apakah Anda akan membunuh hewan itu berkali-kali?’
Lalu salah satu pernyataan Rasulullah saw. juga mengatakan kepada seorang perempuan yang memelihara seekor kucing di dalam kandang. Dikurung, lalu tidak diberi makan dan minum. Dan tidak dibiarkan untuk mencari sendiri, maka orang itu akan berada di dalam neraka.
Dan sebaliknya, Rasulullah saw. mengatakan kepada seseorang yang memberi minum seekor anjing yang sedang kehausan, maka dia berada di dalam sorga. Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita untuk berbuat ihsan, sampai pun kepada binatang.
Kepada tumbuh-tumbuhan, Islam mengajarkan untuk melestarikan lingkungan. Bahkan Rasulullah saw. sejak dini mengajak kita untuk melakukan gerakan penghijauan. Dalam satu sabdanya, beliau bahkan mengatakan ‘sampai pun sebentar lagi akan terjadi kiamat, dan ada sebatang pohon di tangan anda, maka tancapkan pohon itu sebelum Anda mampu berdiri.‘
Hendaklah tancapkan pohon itu sebelum Anda berdiri sampai punkiamat sudah akan tiba. Bahkan, dalam pesannya dan wasiatnya, yang dikirim ke berbagai medan peperangan, Rasulullah saw. dan para sahabatnya selalu berpesan ; Jangan bunuh orang-orang tua, jangan bunuh perempuan, jangan ganggu mereka yang sedang beribadah, dan jangan rusak rumah-rumah ibadah mereka. Dan jangan kalian tebang dan jangan kalian bakar pepohonan. Itulah pesan yang disampaikan Rasullah saw.
Ihsan seorang hamba kepada manusia lainnya, itu tercapai ketika seseorang bisa melebur dirinya pada diri orang lain. Dia melihat orang lain seperti dirinya melihat dirinya sendiri. Oleh karena itu dalam salah satu hadits Rasullullah saw. mengingatkan: ‘Tidak sempurna iman seseorang diantaramu hingga mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.‘ (HR.Bukhari)’.
Islam mengajarkan apa yang disebut dengan semangat ‘mendahulukan orang lain’. Dalam surat Al Hasyr disebutkan
Ayat ini memuji orang-orang Anshar yang pada saat itu menyambut orang-orang Muhajirin dari Mekah yang datang ke Madinah dalam keadaan kekurangan. Mereka sambut dengan suka cita. Mereka bantu dengan lapang dada. Walaupun sesungguhnya mereka juga dalam keadaan kekurangan.
Mereka lebih mendahulukan sahabat-sahabatnya yang datang dari Mekah dalam keadaan kekurangan dan pada keadaan mereka sendiri, walaupun sesungguhnya mereka juga dalam keadaan serba kekurangan.
Ihsan seorang hamba kepada Allah swt. tercapai ketika seorang manusia mampu melebur dirinya dalam ibadah dan hanya menatap dan tertuju kepada Allah swt. Inilah yang disebut dengan bursa hadrah dalam konsep kaum sufi.
“Kalau kau tidak bisa merasakan itu, maka rasakanlah bahwa Allah swt menyaksikan dan mengawasi apa yang kita lakukan” Inilah yang disebut dengan konsep muraqabah. Pengawasan melekat dalam diri setiap orang muslim karena Allah swt. menyaksikan apa yang dilakukan hamba-Nya.
Seorang sufi terkemuka Al Imam al junaid al baghdadi, pernah dinasihati oleh gurunya. “Wahai anakku, camkanlah tiga kalimat : Allah bersamaku, Allah melihat kepadaku, Allah menyaksikan. ” Ini adalah tiga pesan yang disampaikan guru al imam al junaid al baghdadi yang menurutnya ia praktekan selama satu bulan, sedikitpun tidak pernah muncul dalam dirinya dorongan untuk melakukan dosa dan kemaksiatan. ‘Sebab bagaimana aku tidak melakukan dosa dan kemaksiatan sementara Allah bersamaku. Allah menyaksikanku dan Allah melihat apa yang aku lakukan‘.
Itulah yang disampaikan oleh Imam al junaid al baghdadi – al Ghazali terkait dengan muraqabah. Inilah yang disebut dengan pengawasan melekat. Oleh karena itu kebaikan, keadilan, bukan terletak kepada pasal-pasal aturan dan pasal-pasal perundangan. Tetapi kebaikan, keadilan itu bermula dari sanubari penegak hukum, dari sanubari setiap insan. Sebab itulah yang akan menggerakan seseorang untuk terus melakukan kebaikan demi kebaikan.
Kita berharap bulan Ramadhan yang kita isi dengan berbagai amal kebaikan kita dapat melatih aspek dan dimensi ihsan dalam diri kita untuk terus melakukan kebaikan demi kebaikan.
—
Khotbah Jumat disampaikan oleh Muchlis M. Hanafi dari Dewan Pakar PSQ di Bellagio Mall pada Jumat 26 Juni 2015.