Makna Sulthān dalam Al-Quran

Sering kali kita mempersempit makna sulthān (kekuasaan) sebatas siapa yang memimpin dan siapa yang dipimpin. Makna sulthān juga acapkali dipahami dalam bingkai jabatan, otoritas politik dan instrumen hukum negara. Padahal, sulthān (kekuasaan) mencakup pemahaman yang lebih subtil, yakni kode akses dalam kerangka sistem kehidupan manusia.

Dalam Al-Qur’an, kata sulthān tidak muncul sekali dua kali, melainkan berulang hingga 38 kali. Pengulangan ini tentu menandakan bahwa sulthān tidak sekadar istilah biasa, melainkan konsep penting yang layak dibaca dengan penuh kehati-hatian dan kedalaman. Karena itu, kata ini tidak cukup dipahami secara lepas atau parsial, melainkan harus ditempatkan dalam rangkaian ayat dan konteks yang melingkupinya. Tanpa itu, makna sulthān berisiko dipersempit hanya menjadi “kekuasaan” dalam arti kasar, padahal Al-Qur’an menyimpan pesan yang jauh lebih subtil dan kaya makna di baliknya.

Secara bahasa, sulthān berakar dari kata sallata–yusallithu–sulthānan yang bermakna menguasai, mengendalikan, atau memiliki otoritas. Dalam Mu‘jam Mufradāt Alfāzh al-Qur’ān, Raghib al-Asfihani menguraikan penjelasan yang lebih mendalam, yakni sulthān adalah hujjah, sebuah argumen yang menembus hingga ke relung hati yang paling dalam. Tidak sekadar hujjah, kata sulthān membentuk keyakinan seseorang lebih dalam dan menguatkan batin serta keimanan seseorang akan Tuhannya.

Sulthān: “Kode Akses” dalam Sistem Kehidupan

Tentu ada banyak sejumlah tafsir atas kata ini, tetapi saya lebih cenderung membaca kata sulthān (سُلْطَانٌ) dalam Al-Qur’an bukan semata sebagai “kekuasaan”, tetapi sebagai semacam kode akses dalam sebuah sistem besar bernama kehidupan. Para nabi tidak bergerak sendirian dengan kemampuan personal, melainkan dibekali sulthān—izin resmi dari Tuhan—untuk menuntaskan misi kenabian mereka. 

Al-Qur’an juga menggambarkan hal ini, antara lain, lewat kisah Nabi Musa dan Harun dalam Surah al-Mu’minun ayat 45,

ثُمَّ اَرْسَلْنَا مُوْسٰى وَاَخَاهُ هٰرُوْنَ ەۙ بِاٰيٰتِنَا وَسُلْطٰنٍ مُّبِيْنٍۙ

Kemudian, Kami utus Musa dan saudaranya, Harun, dengan membawa tanda-tanda (kebesaran) Kami dan bukti yang nyata (Q.S. al-Mu’minun [23]: 45)

Dalam menafsirkan frasa sulthānin mubīn pada Surah al-Mu’minun ayat 45, para ulama tafsir menyuguhkan pembacaan yang kaya dan berlapis. Setidaknya, ada tiga arah penjelasan yang menarik untuk dicermati, sebagaimana penafsiran Ar-Razy dalam Tafsir al-Kabir,

Pertama, bukti yang nyata (sulthān mubin) itu dipahami sebagai mukjizat terbesar Nabi Musa, yakni tongkatnya. Sebilah tongkat yang, atas kuasa Tuhan, menjelma menjadi sumber berbagai keajaiban: berubah menjadi ular, menelan tipu daya para penyihir, membelah lautan, memancarkan mata air dari batu, bahkan dalam riwayat lain disebut sebagai pelindung, penerang, hingga alat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena keistimewaannya yang luar biasa itulah, tongkat Musa mendapat posisi khusus, disebut secara tersendiri, sebagaimana Al-Qur’an menyebut nama Jibril dan Mikail secara terpisah untuk menunjukkan kemuliaan keduanya.

Kedua, ada pula yang memahami bahwa “ayat-ayat” dalam ayat ini merujuk langsung pada mukjizat-mukjizat itu sendiri, sementara bukti yang nyata (sulthān mubin) adalah kekuatan daya buktinya. Artinya, bukan sekadar apa yang terjadi, tetapi bagaimana semua itu menunjuk secara terang pada kebenaran risalah Musa. Meski secara lahiriah mukjizat Musa “serupa” dengan mukjizat nabi-nabi sebelumnya, ia memiliki daya argumen yang jauh lebih kuat dalam menunjukkan otoritas kenabian dan pertolongan Tuhan yang nyata.

Ketiga, sebagian ulama menafsirkan sulthān mubīn sebagai keunggulan Nabi Musa dalam berdebat dan berhujjah. Ia tidak hanya unggul dalam mukjizat fisik, tetapi juga dalam argumentasi teologis: membuktikan keberadaan Tuhan dan menegaskan kebenaran kenabiannya. Di hadapan Fir‘aun dan para pembesarnya, Nabi Musa tampil tidak hanya sebagai pembawa tanda-tanda ajaib, tetapi sebagai sosok dengan legitimasi nalar dan spiritual yang kokoh, sehingga lawan-lawannya nyaris tak memiliki posisi tawar di hadapannya. 

Nabi Musa, dalam hal ini, tidak sekadar diutus membawa ayat-ayat Allah semata, melainkan dibekali seperangkat sistem sulthān mubīn—otoritas yang terang dan sah. Dengan ‘hak akses’ itulah, bangunan kekuasaan Fir‘aun yang tampak kukuh dan megah akhirnya runtuh dari dalam. 

Gambaran serupa muncul dalam Surah ar-Rahman ayat 33. 

يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ

Wahai segenap jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (dari Allah). (Q.S. Ar-Rahman [55]: 33)

Manusia dan jin dipersilakan “menembus” lapisan langit dan bumi, tetapi segera diingatkan: tak satu pun bisa melakukannya kecuali dengan sulthān. Isyaratnya jelas: semesta ini tidak bekerja secara liar, ada sistem, ada batas, ada otorisasi. Tanpa izin dari Sang Pemilik semesta, semua upaya tinggal ambisi kosong. Bahasa hari ini mungkin menyebutnya verified permission—tanpa itu, akses akan ditolak, seberapa pun canggih perangkat yang digunakan.

Ketika Setan Tak Punya Akses

Dalam wilayah yang lebih personal, Al-Qur’an memberi ketegasan serupa. Surah al-Isra’ ayat 65 menegaskan bahwa setan tidak memiliki sulthān atas hamba-hamba Allah. Dalam artian, ada sekian lapisan “batas keamanan” (cyber security) yang tidak bisa ditembus, ada domain ruhani yang diproteksi langsung oleh Tuhan. 

Secara sederhana, setan disetting Tuhan untuk tidak dibekali “Access key” ke domain ruhani orang-orang yang termasuk ibadullah (hamba Allah). Dalam istilah dunia digital, ibarat sistem yang sudah dilapisi security boundary: peretas tidak punya celah, klaim ditolak, dan akses langsung diblokir.

Nuansa seperti ini kerap muncul dalam banyak ayat, sebagaimana bisa dilacak dalam berbagai indeks tematik Al-Qur’an. Polanya serupa: sulthān selalu hadir sebagai penanda izin, otoritas, dan legitimasi ilahiah. Kurang lebih ketika kita mengakses sebuah situs atau aplikasi hari ini: ada kata sandi, PIN, sidik jari, token, hingga kunci digital lain yang menentukan siapa boleh masuk dan sejauh apa bisa melangkah. Al-Qur’an, jauh sebelum era siber, sudah mengajarkan logika yang sama, bahwa tidak semua pintu terbuka sembarangan, tidak semua wilayah bisa dimasuki tanpa otorisasi.

Dalam kerangka ini, sulthān dapat dipahami sebagai authorization layer—lapisan izin yang mengatur hak intervensi, kewenangan bergerak, dan ruang kuasa. Dan semua itu, pada akhirnya, berpulang pada satu sumber: Allah, Sang Pemilik sistem semesta. Tidak ada privilege yang sah tanpa Dia, dan tidak ada akses yang benar tanpa izin-Nya.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini