Ungkapan bijak sering mengingatkan kita bahwa yang paling dekat darimu adalah dirimu sendiri. Hakikat kehidupan sangat bergantung bagaimana ia mengarahkan hidupnya. Baik dan buruknya nasib, seringkali bermula dari pilihan dan arah langkah yang diambilnya sendiri.
Itulah sebabnya, dorongan untuk berbuat baik akan kembali memberi kebaikan pada diri, begitu pula kejahatan, pada akhirnya akan melukai pelakunya sendiri. Al-Qur’an menegaskan:
“Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri; dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.”
(QS. Al-Isra’ [17]: 7)
Dalam hal ini, al-Qur’an memberi tiga langkah penting yang perlu terus diupayakan sebagai bentuk perhatian terhadap diri sendiri:
Syukur, untuk Dirimu Sendiri
Allah memberi satu catatan pada diri mengenai hakikat bersyukur dalam firman-Nya
وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖ
Barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.“(QS. Luqman: 12)
Dalam ayat ini, ada pesan yang dalam namun sering luput disadari bahwa syukur bukanlah kewajiban yang diminta Allah untuk kepentingan-Nya. Menurut Ibnu Katsir, Allah adalah Al-Ghaniyy yang Maha Kaya dan Maha Cukup. Ia tidak bergantung pada pujian dan ibadah hamba-Nya. Sebaliknya, manusia-lah yang sangat membutuhkan syukur.
Mengapa al-Qur’an menyebut bahwa syukur kembali kepada diri sendiri? karena saat seseorang mampu bersyukur dengan jujur, ia sedang melatih batinnya untuk merasa cukup, Ia menyadari bahwa karunia Allah jauh lebih luas daripada amalnya yang terbatas. Ia tidak sibuk menuntut, tapi sibuk mengingat.
Karena itu, Imam As-Sa’di katakan bahwa syukur adalah ibadah hati yang luhur nilainya. Ia bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi sikap batin yang sadar bahwa setiap detik hidup adalah pemberian. Artinya syukur itu mengenali nikmat dan menggunakan karunia itu sesuai dengan kehendak Tuhan.
Sucikan Diri, Tenangkan Hati
Dalam surat Fushhilat Allah tegaskan tentang pentingnya mensucikan diri.
وَمَنْ تَزَكّٰى فَاِنَّمَا يَتَزَكّٰى لِنَفْسِهٖ
“Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, maka sesungguhnya ia menyucikan diri untuk (kebaikan) dirinya sendiri.” (QS. Fushshilat: 46)
Al-Qushayri memahami ayat ini sebagai panggilan untuk kembali kepada fitrah (dasar utama), karena fitrah manusia adalah kesucian. Apa yang mesti dilakukan untuk mensucikan diri? Imam al-Razi kemukakan bahwa cara mensucikan diri dengan meninggalkan maksiat dan melakukan kebaikan secara berkesinambungan. Tanpa dua sisi ini, upaya mensucikan diri dianggap kurang sempurna.
Artinya, manusia tidak akan bisa melepaskan segala ego, sikap kesombongan, sifat dengki, dan segala perbuatan yang menodai diri tanpa adanya upaya nyata untuk menyucikan dirinya.
Karena itu, Islam mengenal konsep taubat, istighfar, dan amalan-amalan lain yang menjadi jalan pemurnian jiwa agar hati bisa kembali jernih, dan manusia kembali pada kemuliaan asal penciptaannya. Ada ungkapan ahli hikmah barang siapa yang tak sibuk membersihkan jiwanya, maka ia akan disibukkan oleh penyakitnya sendiri.
Berjuanglah Untuk Dirimu
Perjuangan hidup bukan melawan orang lain, tapi bermula perjuangan melawan diri sendiri
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ
“Barang siapa yang bersungguh-sungguh (berjuang), maka sesungguhnya ia bersungguh-sungguh untuk dirinya sendiri.” (QS. Al-‘Ankabut: 6)
Menurut para mufassir seperti Al-Qurtubi dan Al-Alusi, ayat ini menunjukkan bahwa jihad yang paling awal dan paling penting adalah jihad melawan diri sendiri (jihad an-nafs). Bila sungguh-sungguh dalam memperbaiki diri, maka buahnya akan kembali pada diri sendiri menjadikan hati lebih tenang dan kuat.
Misalkan, kalau berupaya meninggalkan kebiasaan buruk, membiasakan perkara yang baik, maka ketenangan bathin akan kembali pada diri, kebaikan menghadirkan ketenangan, sedangkan tindakan dosa yang terus menerus menghadirkan kegelisahan.
Artinya berjuang dan berikhtiar pada kebaikan, tak akan pernah merugi dan menyesali hidup, tapi keburukan selalu menghadirkan penyesalan seperti petuah Imam al Gazali jika nafsu yang dituruti maka pintu kegelapan selalu terbuka. Dan setiap kali nafsu ditundukkan, maka hati akan selalu tenang“ Artinya, memperbaiki diri akan berbuah kejernihan hati dan ketenangan hidup.
Mabrur Inwan, M.Ag, Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Mabrur Inwan, M.Ag? Silakan Klik disini.