Ketika Islam dan Humanisme Beriringan

Islam sebagaimana kita pahami, menempatkan manusia pada posisi yang amat mulia. Allah berfirman dalam surat Al-Isra: 70, وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ, “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam”. Ayat ini bukan sekedar penghormatan, melainkan penegasan bahwa manusia, siapapun mereka, memiliki martabat dan derajat yang harus dijaga. Di sinilah letak inti humanisme Islam: sebuah penghormatan pada kemanusiaan, bukan hanya sesama Muslim, tapi pada seluruh manusia.

Sebagian ulama memandang kemuliaan manusia karena akalnya, sebagian memandang karena manusia memiliki kebebasan memilih, ada juga yang mengatakan karena ia berdiri tegak dan tidak membungkuk sebagaimana binatang. Syaikh Mutawalli As-Syairawi dalam Tafsir as-Sya’rawi mengatakan, kemuliaan manusia yang tidak kalah besarnya adalah karena Allah menciptakan Adam dengan tangan-Nya dan meniupkan ruh ke dalam dirinya (QS. Shad:75). Berbeda dengan alam semesta yang diciptakan dengan kata “kun”. Kita sebagai anak cucu adam patut berbangga karena diciptakan dengan tangan-Nya.   

Kembali ke pembahasan humanisme. Dalam pengertian umum, humanisme ialah paham yang menempatkan manusia sebagai pusat perhatian, memperjuangkan hak, kebebasan, dan martabatnya. Ada yang khawatir, humanisme akan menyingkirkan Tuhan dari kehidupan manusia. Dalam Al-Qur’an, kita dapati seruan untuk berbuat baik kepada sesama, menolong yang lemah, serta menegakkan keadilan. Bukankah Nabi Muhammad saw. sendiri diutus untuk menyempurnakan akhlak?

Di Indonesia, nilai-nilai ini telah lama hiduap. Lihatlah Pancasila, sila pertama menegaskan Ketuhanan, namun sila kedua dan seterusnya menegaskan kemanusiaan, persatuan,musyawarah dan kedilan. Para pendiri bangsa kita sadar. Bahwa membangun negeri bukan hanya dengan doa, tetapi juga dengan kerja nyata untuk kemaslahatan bersama. Inilah yang juga diajarkan Islam: keseimbangan antara hubungan Allah dan hubungan dengan manusia (hablun minallah dan hablun minannas).

Seringkali, kita terjebak pada dikotomi: seolah-olah menjadi manusia yang baik cukup dengan ritual ibadah, tanpa peduli pada sesama. Atau sebaliknya, merasa cukup dengan berbuat baik kepada manusia, tanpa mengingat Allah. Padahal, Al-Qur’an mengajarkan keduanya berjalan seiring. Kebaikan kepada manusia juga bagian dari ibadah. Dalam surat Al-Ma’un, Allah mengecam orang yang lali dalam shalat karena tidak peduli pada anak yatim dan orang miskin. Bukankah ini merupakan penegasan bahwa ibadah ritual dan sosial tidak boleh dipisahkan?

Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita mengenal tokoh seperti Gus Dur. Gus Dur, dengan ketulusan dan kemurnian hatinya membela hak-hak minoritas, tidak hanya yang seiman seperti Ahmadiyah atau Syiah, tapi juga lintas iman seperti kelompok Tionghoa. Ini menegaskan bahwa membela kemanusiaan adalah bagian dari keimanan. Gusdur menunjukkan bahwa Islam dan humanisme bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan dua sisi dari satu mata uang.

Namun, kita juga harus jujur, tantangan selalu ada. Kadang, atas nama agama, ada yang menafikan hak orang lain. Kadang pula, atas nama kemanusiaan, ada yang melupakan nilai-nilai ilahiah. Di sinilah pentingnya keseimbangan. Islam mengajarkan bahwa kebebasasn manusia bukan tanpa batas; ada tanggung jawab kepada Allah dan sesama. Humanisme Islam bukan sekedar membela hak, tetapi juga menanamkan kewajiban.

Bagaimana dengan konteks Indonesia? Negara kita kaya akan keragaman. Islam hadir di tengah masyarakat yang majemuk. Maka, tugas kita bukan hanya menjaga akidah, tetapi juga membangun harmoni. Islam mengajarkan toleransi, sebagaimana Nabi Muhammad saw. hidup berdampingan dengan berbagai suku dan agama di Madinah. Prinsip rahmatan lil ‘alamin adalah pijakan untuk membangun Indonesia yang damai, adil, dan bermartabat.

Akhirnya, saatnya kita renungkan: Islam dan humanisme, bila dipahami dengan benar, saling menguatkan. Islam memberi makna pada humanisme, dan humanisme memperkaya pengamalan Islam. Keduanya menuntun kita menjadi manusia yang utuh: taat kepada Allah, peduli pada sesama, dan cinta pada tanah air.

Sebagaimana pesan Al-Qur’an, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa…” (QS. Al-Ma’idah: 2). Inilah jalan tengah yang diajarkan Islam, dan inilah yang dibutuhkan Indonesia: harmoni antara keimanan dan kemanusiaan.

Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum Blora dan Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini