Menangis dalam Pandangan dan Tuntunan Islam

Menangis adalah ekspresi yang sangat manusiawi dan sering kali menjadi cara untuk meluapkan perasaan. Dalam sejarah, Nabi Muhammad SAW juga pernah meneteskan air mata saat putranya, Ibrahim, wafat. Namun, saat ini kita sering melihat orang-orang menangisi hal-hal yang tidak seharusnya, bahkan melampaui batas. Misalnya, ada yang menangisi kepergian mantan kekasih yang belum halal, atau meratapi harta benda yang hilang dengan berlebihan.

Dalam beberapa kasus, kesedihan ini bisa berujung pada gangguan mental, seperti yang terjadi pada mereka yang tidak lolos menjadi anggota dewan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun menangis adalah hal yang wajar, kita perlu memahami konteks dan batasan dalam mengekspresikan kesedihan.

Dalam Islam, penting untuk memahami konsep takdir dan perbuatan manusia. Setiap cobaan yang datang kepada kita bisa jadi merupakan ujian dari Allah untuk meningkatkan derajat kita. Kita harus bisa ikhlas dan rela menerima apa yang terjadi, karena Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk masa depan dan apa yang sebenarnya kita butuhkan.

Ketika kita menghadapi kesulitan, kita perlu ingat bahwa mungkin itu adalah bentuk kasih sayang Allah yang ingin mengingatkan kita untuk lebih dekat kepada-Nya. Dengan memahami konsep takdir, kita dapat mengurangi rasa sedih yang berlebihan dan lebih fokus pada usaha untuk memperbaiki diri. Allah berfirman dalam surat Al-Hadid [57] 22-23:

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.

Manusia seharusnya fokus pada melaksanakan perintah Allah tanpa terlalu memikirkan hasil dari perbuatan tersebut. Allah memerintahkan kita untuk bekerja, beribadah, dan berbuat baik, dan itu adalah tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya. Kita tidak perlu terlalu khawatir tentang hasil dari pekerjaan atau pahala yang akan kita terima, karena itu adalah hak prerogatif Allah. Dengan cara ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih tenang dan tidak terjebak dalam kesedihan yang berkepanjangan. Fokus pada perintah-Nya akan membawa kita pada ketenangan jiwa dan mengurangi beban pikiran yang tidak perlu.

Menangis bisa menjadi sesuatu yang mulia jika ditempatkan pada konteks yang tepat. Misalnya, menangisi kekerasan hati yang tidak mampu menerima nasihat dari Al-Qur’an atau menangis saat bertaubat karena menyadari kesalahan dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Dalam situasi seperti ini, air mata dapat menjadi tanda penyesalan dan keinginan untuk memperbaiki diri. Menangis dengan cara ini akan melembutkan hati dan mendekatkan kita kepada Allah SWT. Dengan demikian, kita dapat menjadikan tangisan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bukan sebagai bentuk pelampiasan yang tidak produktif.

Imam Nawawi dalam at-Tibyan fi adabi Hamalatil Qur’an mengutip Al-Ghazali ketika menjelaskan tatacara menangis saat membaca al-Qur’an. Imam al-Ghazali menuturkan bahwa ketika seseorang tidak mampu menangis ketika membaca ayat-ayat azab, ancaman dan sejenisnya. Maka orang tersebut harus menangis karena hatinya sangat keras sehingga ayat-ayat tersebut tidak membuatnya tergetar. Dia harus menangis karena ketidakmampuannya untuk menangisi ancaman-ancaman Allah. 

Disisi lain, menangis sebenarnya menjadi indikator ahli ilmu atau ulama’, yang dengan ilmunya dia mampu mengenal Allah. Hal ini diisyaratkan dalam surat al-Isra’ ayat 107 hingga 109. Bahwa siapapun yang diberi pengetahuan lalu dibacakan al-Qur’an, niscaya akan tersungkur sembari menangis.

Bahkan Imam Al-Qurtuby ketika menafsirkan ayat tersebut mengutip riwayat dari at-Taimy: “Barangsiapa yang diberi sebagian ilmu tetapi tidak membuatnya menangis dan takut kepada Pencipta, maka sesungguhnya dia tidak diberi ilmu”.

Menangis secara berlebihan sering kali mencerminkan ketidakrelaan atau ketidakridhaan terhadap ketetapan Allah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengajak diri sendiri dan orang lain agar senantiasa ikhlas dalam menerima segala ujian dan ketetapan-Nya.

Dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, kita dapat menemukan ketenangan dalam hati. Mari kita ingat bahwa setiap cobaan adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus kita jalani dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Dengan cara ini, kita tidak hanya akan lebih kuat dalam menghadapi kesedihan, tetapi juga lebih dekat kepada Allah SWT.

Khoirul Muhtadin, M.Ag.,  Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini