Melakukan aktivitas jima (hubungan seksual) merupakan salah satu hal yang dapat membatalkan puasa. Selain membatalkan puasa, pelakunya dapat dikenai kafarat yang cukup berat apabila melakukannya di siang Ramadhan. Kafarat tersebut adalah pertama, ia harus memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, tak boleh yang lain.
Kedua, jika tidak mampu, ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Ketiga, jika tidak mampu, ia harus memberi makanan kepada 60 orang miskin, masing-masing sebanyak satu mud (kurang lebih 6 ons). Kafarat di atas berdasarkan hadits sahih berikut ini:
Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR al-Bukhari).
Baca Juga: Memahami Makna Silaturahmi
Lantas sebagian ulama berbeda pendapat dalam hal penyebab wajibnya kafarat. Sebagian ulama berpendapat bahwa kafarat hanya wajib jika membatalkan puasa dengan jima. Jika sebelum jima, makan atau minum dulu, kemudian dilanjutkan dengan jima, maka tidak ada kewajiban kafarat. Keterangan semacam ini salah satunya dijelaskan dalam kitab kitab Asna al-Mathalib.
“Ucapan kita bahwa kafarat wajib sebab jima, mengecualikan kepada orang yang membatalkan puasa terlebih dahulu dengan selain jima, kemudian dilanjutkan dengan jima. Maka dalam kasus ini tidak ada kewajiban kafarat”.[Asna al-Matholib, 425]
Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa membatalkan puasa dengan makan atau minum terlebih dahulu kemudian jima, tetap menyebabkan wajibnya kafarat. Karena dalam pandangan mereka kafarat itu bukan hanya sebab jima, membatalkan puasa dengan cara apapun dengan tanpa adanya udzur dapat menyebabkan kafarat. Hal ini didasarkan kepada pendapat ulama Malikiyah. Mereka berdalil dengan Hadits riwayat Imam Malik berikut ini,
“Sesungguhnya seorang laki-laki membatalkan puasa Ramadhan, lalu Rasulullah SAW memerintahkannya untuk menebusnya dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan terus menerus atau memberi makan 60 orang miskin.”[Imam Malik, Al-Muwattha]
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimanakah jika seseorang mendapatkan rukhsoh untuk tidak puasa (misalnya musafir), bolehkan jima di siang Ramadhan?
Dalam hal ini juga ada dua pendapat, Pertama, boleh jima di siang ramadhan dan tidak ada kafarat, karena dia mendapatkan rukhsoh untuk tidak berpuasa. Hal ini sebagaimana keterangannya dalam kitab Asna al-Mathalib.
Baca Juga: Kebolehan Tidak Berpuasa Bagi Orang yang Bepergian Jauh
Pendapat kedua menyatakan bahwa bagi orang yang mendapatkan rukhsoh untuk tidak berpuasa, hanya boleh makan, minum dan semisalnya saja. Jima di siang hari tetap tidak boleh. Jika berjima maka diwajibkan kafarat. Jika mau jima pilih malam hari saja. Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hambal. Menurut komentar Imam Sya’rani atas pendapat Imam Ahmad ini, “bahwa alasan yang digunakan Imam Ahmad adalah apa yang boleh sebab hajat harus disesuaikan dengan kadar kebutuhannya. Kebutuhan utama musafir adalah makan dan minum, sedangkan jima itu murni syahwat yang sebenarnya mungkin dilakukan (ditunda) pada malam hari. [al-Mizan al-Kubro, Juz 2, hal 2]
Untuk menghormati kemulian Ramadhan, maka lebih baik memilih waktu malam untuk melakukan jima dengan istri. Karena keluar dari perbedaan pendapat hukumnya adalah sunnah. Hal ini sebagaimana ungkapan ulama al-khuruj minal khilaf mustahabbun.
Ahmad Muzakki, S.Sy, M.H, Ustadz di Cariustadz.id