Islam dan Disabilitas

Sebagai agama yang menjunjung tinggi keadilan universal dan empati sosial, Islam secara tegas menegakkan nilai-nilai tersebut dalam sekian banyak ayatnya. Beberapa di antaranya ialah nilai-nilai universalitas Islam seperti pertama, al-musawa (kesetaraan/equality dalam surat Al-Hujurat: 13). Kedua, al-‘adalah (keadilan/justice dalam surah An-Nisa’/4: 135 dan Al-Maidah/5: 8). Ketiga, al-hurriyyah (kebebasan/freedom dalam surah At-Taubah/9: 105). Salah satu dari empat ayat yang telah disebutkan, surah al-Hujurat/ 49: 13 mewakili isyarat kesetaraan (derajat) manusia di hadapan Allah.

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Ayat yang tertulis di atas adalah penekanan dari ayat-ayat yang berbunyi sebelumnya yakni tentang penegasan bahwa semua orang mukmin ialah bersaudara (ikhwah) pada ayat 10. Berikutnya mengenai larangan untuk melontarkan kata-kata yang kurang elok (menghina, mencaci maki, verbal bullying) antar satu kaum dengan kaum lain, antara satu perempuan dengan perempuan lain, larangan mencela, larangan memanggil dengan panggilan yang buruk, pada ayat 11.

Berikutnya, pada ayat 12, Allah melanjutkan tuntunan-Nya mengenai larangan untuk berprasangka (sebab sebagian prasangka itu itsmun/ dosa), mencari-cari kesalahan (tajassas) orang lain, dan menggunjing (yaghtab) sesama. Akhir ayat 12 ini Allah tegaskan pula bahwa semua dosa yang tersebut di atas, diumpamakan seperti perilaku seseorang yang buruk (memakan daging saudaranya sendiri) yang tentu kita semua merasa jijik terhadapnya.

Baca Juga: Meneladani Resep Sehat ala Rasulullah

Pada ayat 13 Allah kembali memberikan informasi bahwa semua manusia baik laki-laki dan perempuan, Allah ciptakan dengan sangat banyak, berkembang biak, beranak pinak, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar bisa saling mengenal satu sama lain (li-ta’aarafu) bukan merasa akram/ paling mulia atau lebih unggul di banding yang lain. Melalui penciptaan tersebut dengan segala perbedaan yang ada, tak lantas membuat manusia merasa lebih superior (unggul) dari pada yang lain baik karena jabatan, harta, kedudukan, warna kulit, derajat, kasta, strata sosial atau sifat-sifat materil lainnya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan manusia setara di hadapan-Nya. Hanya satu tolok ukur yang membedakan manusia satu dengan lainnya— bukan sifat-sifat materil lagi melainkan derajat ketakwaan merekalah yang menjadi jaminan kemuliaan seseorang.

Tuntunan surah al-Hujurat/49: 10-13 ini menjadi dasar bahwa Islam sungguh menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesetaraan, empati sosial kepada siapapun terlebih pada mereka yang terlahir dengan keistimewaan yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Mereka yang diuji keterbatasan fisik, mentalnya namun tetap harus berjuang untuk survive (bertahan) melanjutkan kehidupan.

Mereka ialah para penyandang disabilitas. Disabilitas sendiri dikelompokkan sebagai 4 kategori dalam UU No 8 tahun 2016 ialah sebagai; disabilitas fisik, disabilitas mental, disabilitas intelektual dan disabilitas sensorik. Dari empat kategori ini, hasil Riskesdas 2018 mendapatkan 3,3% anak umur 5-17 tahun yang mengalami disabilitas. Provinsi dengan proporsi disabilitas anak tertinggi adalah Sulawesi Tengah (7,0%), Kalimantan Utara, dan Gorontalo (masing-masing 5,4%), sedangkan proporsi terendah di Provinsi Sulawesi Barat, Lampung dan Jambi (masing-masing 1,4%).

Sementara itu, tingkat disabilitas orang dewasa (18-59 tahun) memiliki proporsi sebesar 22,0%, tertinggi di Provinsi Sulawesi Tengah (40,6%), Sulawesi Selatan (33,6%), dan DI Yogyakarta (33,2%), terendah di Provinsi Lampung (13,8%), Kepulauan Riau (14,0%) dan Jambi (14,2%).

Angka-angka di atas ialah perhitungan yang secara instrument bisa dihitung. Boleh jadi, jumlahnya masih jauh lebih besar dari itu. Karenanya, peranan keluarga, orang terdekat, orang tua khususnya, juga para pengampu kebijakan diharapkan lebih peduli dan empati terhadap saudara-saudara kita penyandang disabilitas ini—agar tidak ada lagi orang-orang yang berlaku aniaya dan sewenang-wenang terhadap mereka. Tidak ada lagi perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun, dimanapun dan kapanpun.

Baca Juga: 3 Kriteria Pemuda Idaman dalam Al-Quran dari Kisah Ashabul Kahfi

Mari kita ciptakan lingkungan yang ramah dan inklusi terhadap para penyandang disabilitas; sesuai tuntunan dalam salah satu surah (Qs. An-Nur/ 61) yang menyebutkan term disabilitas ini dengan gamblang, “Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian……”

Melalui tuntunan ayat di atas dan bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh pada 3 Desember—melalui kesadaran bersama tentang empati dan kesetaraan sosial inilah, InsyaAllah Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang lebih kuat dan tangguh. Kepedulian sosial pada diri tiap-tiap individu karena perubahan yang besar terlahir dari upaya kecil yang berdampak nyata. Aamiin, semoga!

Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id