Hari ini, 9 Dzulhijjah jutaan jamaah haji telah bergerak menuju Arafah. Arafah merupakan hari kesembilan dari bulan Zulhijah yang menjadi puncak haji, dimana jutaan jamaah menjalankan wukuf di padang Arafah sehari sebelum tiba hari raya Iduladha. Hari Arafah juga menjadi momentum untuk berpuasa, berdoa, berzikir bagi umat muslim di seluruh dunia yang tidak menunaikan ibadah di tanah suci, sebab agungnya kemuliaan yang Allah turunkan pada hari tersebut. Makna dari Arafah tidak hanya merujuk pada hari, namun juga merujuk pada tempat yang digunakan untuk wukuf dalam proses ibadah haji.
Bebicara mengenai Arafah, seringkali kita mendengar ‘Haji adalah Arafah,’ sebenarnya, apakah makna di balik sabda beliau tersebut?
Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Ya’mar, bahwa beberapa orang dari Najd menemui Rasulullah SAW saat beliau sedang berada di Arafah. Mereka bertanya tentang haji, lalu beliau bersabda; ‘Haji adalah Arafah, siapa pun yang datang pada malam Arafah sebelum terbit fajar, maka dia telah mendapatkan haji. Hari Mina adalah sebanyak tiga hari. Siapa pun yang tergesa-gesa kembali pada hari kedua, maka dia tidak berdosa. Siapa pun yang mengakhirkan dengan kembali pada hari ketiga juga tidak berdosa’.” (HR At-Tirmidzi).
Terkait kualitas hadits ini, sebagaimana dikutip dari Amien Nurhakim di laman NU Online, diuraikan bahwa Ibnul Mulaqqin dalam al-Badrul Munir menjelaskan keshahihan hadits tersebut dan beberapa ulama hadits telah meriwayatkannya, di antaranya adalah Ahmad dalam Musnad-nya, penulis kitab Sunan yang empat: Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i, dan Tirmidzi, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dan juga al-Hakim dalam Al-Mustadrak. (Ibnul Mulaqqin, al-Badrul Munir, [Saudi: Darul Hijrah, 2004], jilid VI, hal. 230).
Jika kita melihat dalam Al-Quran, kalimah Arafah dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 70 Kali, sedangkan untuk penyebutan kata Arafah hanya terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 198. Para ulama berbeda pendapat tentang arti dari Arafah, karena penyebutan dalam ayat tersebut menggunakan bentuk jamak (‘Arafat).
“Bukanlah suatu dosa bagimu mencari karunia dari Tuhanmu (pada musim haji). Apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masyarilharam. Berzikirlah kepada-Nya karena Dia telah memberi petunjuk kepadamu meskipun sebelumnya kamu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (Al-Baqarah/2: 198)
Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas mengenai isyarat perhentian dua tempat dalam ibadah haji. Persinggahan pertama ialah wukuf di Arah yang berlangsung dari siang (Zuhur) sampai Maghrib. Sementara itu, persinggahan kedua, ialah mabit di Muzdalifah dari malam hingga siang. Pada persinggahan pertama, yakni wukuf di Arafah adalah rukun. Tidak sah haji jika meninggalkan wukuf di Arafah. Sedang, persinggahan kedua (di Muzdalifah), hukumnya ialah wajib, walau sekejap. Bila ditinggalkan, diharuskan membayar dam. Di tempat kedua tersebut, jamaah haji diharapkan memperbanyak zikir.
Dua tempat persinggahan yang diuraikan Quraish Shihab di atas, mengingatkan kita bahwa haji yang merupakan rukun Islam kelima seluruh umat Islam, membutuhkan banyak upaya baik fisik, mental, finansial. Kesiapan ini harus diupayakan sungguh-sungguh sebab haji setidaknya dapat dilakukan sekali seumur hidup, seperti Nabi Saw yang melaksanakan haji sekali dalam hidup beliau. Maka, makna Haji adalah Arafah dalam sabda Nabi Saw mengisyaratkan upaya dan kesungguhan jamaah haji untuk memaksimalkan tenaga, pikiran, hati, jiwa untuk terpusat pada Allah, mengakui kelemahan dan dosa yang telah dilakukan, juga banyak memohon kebaikan dunia akhirat untuk diri sendiri dan seluruh umat Muslim.
Sementara itu, Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi dalam catatan kaki Sunan Ibn Majah menjelaskan maksud ‘Haji adalah ‘Arafah’ yaitu bagian penting dan utama dari ibadah haji adalah wukuf di hari Arafah. Sehingga siapa pun yang melaksanakan ibadah haji dan memenuhi rukun berupa wukuf di ‘Arafah, kemungkinan besar ibadah hajinya aman dari kegagalan. (Ibnu Majah al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid II, hal. 1003).
Al-Munawi dalam Faydhul Qadir menerangkan maksud “Haji adalah Arafah”, yaitu kebanyakan atau inti dari ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Alasannya karena haji menjadi batal jika wukufnya terlewat, seperti yang disebutkan oleh al-Baidhawi. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], jilid XIII, hal. 11).
Betapa pentingnya momentum wukuf di Arafah bukan saja bagi jamaah haji, juga untuk seluruh umat Islam yang belum berhaji. Bagi umat Islam yang belum berhaji, maka disunnahkan untuk berpuasa sunnah Arafah sebagaimana sabda Nabi Saw, “Puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun; tahun yang telah lalu dan tahun yang akan datang, dan puasa Asyura menghapuskan dosa setahun yang telah lalu.” (HR. Muslim). Tak terbatas hanya puasa Arafah, bagi perempuan yang sedang berhalangan atau masyaqqah/ berat melakukan puasa, maka kita bisa melakukan amalan-amalan sunnah lainnya, seperti memperbanyak zikir sesuai dengan tuntunan Qs. Al-Baqarah/2: 198 di atas, beristighfar, bertasbih, bertahlil maupun memuji Allah. Mari langitkan doa pada Allah ta’alaa, semoga Allah mengampuni seluruh dosa kita dan mencukupkan hajat dunia akhirat kita semua. Aamiin.
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini