Saat pemilu dilaksanakan, sering muncul kelompok yang tidak ikut memilih calon pemimpin. Mereka ini disebut sebagai golput atau golongan putih. Golput selalu diidentikkan dengan sikap cuek, netral, apatis, atau tidak mau bersinggungan dengan kondisi politik dan pada akhirnya tidak memilih untuk berangkat ke TPS untuk mencoblos.
Setiap orang yang memilih untuk golput biasanya memiliki alasan tersendiri. Ada yang mengaku karena kecewa terhadap kondisi demokrasi Indonesia terkini yang carut marut; ada yang mengaku karena memang tidak ada calon yang layak dipilih dalam pemilu; ada yang mengaku memilih hanyalah hak bukan sebuah kewajiban dan sebagainya.
Terlepas alasan-alasan di atas, golput pada dasarnya merupakan tindakan berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Jika banyak masyarakat Indonesia yang melakukan golput, maka mungkin terjadi beberapa efek negatif, mulai dari pemborosan anggaran, stagnasi kepemimpinan, menangnya calon yang amoral hingga kekacauan pemerintah dan negara.
Karena potensi laten tersebut, MUI pada tahun 2014 mengeluarkan fatwa haram melakukan golput setelah melakukan ijtima’ di kota Padang Panjang. Secara umum fatwa ini berisi kewajiban untuk memilih pemimpin dalam keadaan apa pun. Fatwa ini kemudian mendapatkan berbagai respons dari masyarakat, baik positif maupun negatif dengan beragam alasan.
Namun penting diketahui bahwa artikel ini tidak akan membedah terkait persoalan fatwa MUI tentang kewajiban memilih dan keharaman golput. Artikel ini akan menawarkan perspektif baru tentang partisipasi pemilu sebagai upaya mewujudkan atau menegakkan kepemimpinan yang adil, karena setiap muslim diwajibkan menegakkan keadilan.
Mewujudkan Kepemimpinan Yang Adil Adalah Kewajiban Setiap Muslim
Pada dasarnya memang tidak ditemukan dalil eksplisit dari Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan kewajiban untuk mengikuti pemilu atau larangan golput. Namun, jika ditelusuri secara saksama dapat ditemukan fakta bahwa nabi Muhammad mengharuskan adanya seorang pemimpin pada suatu kelompok atau golongan.
Dalam sebuah hadis riwayat Abu Daud dan Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. pernah menegaskan keharusan anggota masyarakat atau kelompok untuk mengangkat seorang pemimpin. Beliau bersabda, “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR. Abu Dawud dan Abu Hurairah).
Berdasarkan hadis di atas, dapat dipahami bahwa Nabi Muhammad dengan terang-terangan menggambarkan bahwa kepemimpinan adalah suatu hal yang penting untuk diperhatikan. Sebab, kelompok kecil beranggotakan tiga orang saja diharuskan untuk memiliki pemimpin, apalagi sebuah negara yang masyarakatnya berjumlah ratusan juta.
Dengan kehadiran seorang pemimpin, suatu masyarakat akan berjalan lebih sistematis, terstruktur, aman dan damai. Sebaliknya, tanpa adanya kepemimpinan, masyarakat tidak akan teratur, kacau balau, dan berkonflik. Bahkan, kealpaan kepemimpinan dapat menghadirkan hukum rimba di mana kebenaran dan keadilan dikebelakangkan.
Karena begitu pentingnya kepemimpinan dalam sebuah masyarakat, Nabi Muhammad Saw. dalam suatu kesempatan pernah menegaskan kepada umat Islam, “Tidak halal (dibenarkan) bagi tiga muslim yang berdiam di suatu tempat, kecuali apabila mereka mengangkat salah satu di antara mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Daud).
Saking pentingnya kepemimpinan dalam masyarakat, Imam al-Mawardi dalam al-Ahkan al-Sulthaniyah menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah salah satu aspek kehidupan yang bertujuan untuk meneruskan cita-cita kenabian. Dengan kata lain, pemimpin pada taraf tertentu berfungsi sebagai penerus estafet cita-cita kenabian, yakni terkait menjaga agama dan persoalan dunia.
Kemudian dalam proses kepemimpinan, umat Islam diwajibkan untuk menciptakan kepemimpinan yang adil. Syekh Muhammad Ibrahim al-Baijuri dalam kitab Tuhfat al-Murid ‘ala Jauharatit Tauhid mengatakan, “wa wajibu nashbi imamin ‘adilin atau wajib menegakkan pemerintahan yang adil. Maksudnya, umat Islam wajib menegakkan pemerintahan atau memilih pemimpin yang adil.
Jika keterangan di atas dihubungkan dengan konteks pemilu, maka memilih calon pemimpin yang sedang mengikuti kontestasi politik merupakan suatu keharusan atau kewajiban dalam rangka mewujudkan kepemimpinan yang adil. Tentu pemimpin yang dipilih adalah orang yang memiliki sifat adil atau setidaknya mendekati keadilan.
Dengan demikian, tindakan golput tidak dapat dibenarkan bagi umat Islam. Sebab, golput tidak mencerminkan upaya menghadirkan kepemimpinan yang perintahkan dalam Islam. Golput juga tidak berkontribusi terhadap upaya menciptakan kepemimpinan yang adil, melainkan berpotensi mengakibatkan efek negatif seperti ketidakteraturan, kekacauan atau bahkan kehancuran negara.
Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk berpartisipasi secara positif dalam pemilu, baik memilih calon pemimpin atau menjadi pemimpin itu sendiri. Dalam proses ini, nilai yang menjadi pertimbangan utama adalah keadilan dan kebenaran. Artinya, sosok yang sebaiknya dipilih adalah orang yang menjunjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini