Pernikahan bisa dikatakan sebagai kebutuhan bagi manusia, ada yang memahaminya sebagai anjuran, ada juga yang menganggap sebagai kewajiban. Meskipun masing-masing merujuk pada konteks perintah menikah berdasarkan redaksi hadits berikut:
“Siapa saja yang sudah memiliki kemampuan untuk menikah, maka hendaknya menikahlah. Karena menikah bisa menjaga brutalnya pandangan, serta menjaga farji dari zina. Namun bagi yang belum mampu, hendaknya cukup berpuasa saja, karena dengan berpuasa bisa menjadi tameng.”
Terlepas dari perdebatan tentang hukum nikah, apakah itu wajib, sunnah atau hanya sekedar anjuran, tetapi ada poin penting yang menarik diperhatikan dalam hal nikah. Sebab pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar upacara seremonial saja untuk memadu kasih, melainkan di dalamnya terdapat pertemuan prinsip yang beragam.
Baca Juga: Relasi Suami-Istri dan Filosofi Pakaian dalam Al-Qur’an
Secara Bahasa, nikah adalah berukumpul (al-dlammu) dan berhubungan (al-Tadakhul). Sedangkan secara syariah, nikah merupakan akad tertentu yang di dalamnya terdapat ucapan nikah. Dalam kitab Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah, esensi dari kata nikah itu adalah hubungan intim sedangkan majaznya adalah akad.
Definisi tersebut terlihat masih general sehingga dalam Undang-Undang Perkawinan yang disebut sebagai nikah adalah akad antara laki-laki dan perempuan secara syariat untuk bisa membentuk keluarga.
Dalam konteks ini juga sesuai dengan sabda Nabi tentang tujuan dari menikah untuk bisa melahirkan generasi-generasi unggul. Sebagaimana sabdanya berikut:
“Menikahlah, karena sesungguhnya aku berharap akan lahir banyak umat dari kalian. Jadi janganlah menjadi seperti para rahib Nasrani.”
Dalam praktiknya, pernikahan tidak luput dari beberapa perhatian yang harus dilakukan. Menurut para ulama adalah membangun keluarga, yang esensinya adalah institusi kecil. Sehingga perlu ada beberapa hal prinsip yang harus dilakukan agar institusi tersebut maslahat.
Itulah sebabnya, dalam sabdanya, Rasulullah saw memberikan beberapa kategori ketika hendak menikahi pasangan. Pertama, karena hartanya. Kedua, karena parasnya. Ketiga, karena hasabnya. Dan keempat karena agamanya. Dan bagi yang mengutamakan karena agama maka berpotensi mendapat keuntungan.
Prioritas tersebut juga senada dengan firman Allah Swt dalam surah al-Rum ayat 21, yang menegaskan bahwa tujuan diciptakannya manusia berpasangan adalah agar meraih ketenangan. Berikut teksnya:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Dalam hukum sosial, ketenangan bisa diraih jika mendapati suasana yang diinginkan, damai, tentram, sejahtera, penuh kasih sayang dan sejenisnya. Secara eksplisit, fungsi agama adalah demikian. Dalam buku al-Adyan al-Mazahib yang diterbitkan oleh Universitas Madinah, dituliskan bahwa yang disebut agama adalah syariat Tuhan yang diturunkan melalui wahyu untuk mengatur kehidupan manusia berperilaku baik untuk dunia dan akhirat.
Baca Juga: Aurat Perempuan dan Perkembangan Zaman
Urgensi prioritas agama dalam menentukan pasangan ini guna menyukseskan tujuan dari pernikahan. Sebab di dalamnya ada beberapa persoalan yang membutuhkan kepekaan (penalaran berdasarkan agama). Misalnya, menjaga esensi pernikahan sebagai mitsaqan ghalidan, sadar bahwa antara suami dan istri ibarat pakaian, saling bisa membangun komunikasi dengan cara yang makruf, dan lain sebagainya.
Kriteria seperti itu barangkali yang menjadi indikator dari ketenangan sebagaimana dimaksud dalam surah al-Rum ayat 21 tadi. Dalam Al-Qur’an, kata yang menunjukkan makna tenang selain dalam surah al-Rum juga terdapat dalam surah al-Ra’ad ayat 28. Yang menunjukkan kualitas zikir bisa mengantarkan ketenangan kepada Allah.
Barangkali bisa dipertanyakan, apakah untuk menuju tenang dalam konteks al-Ra’ad 28 harus melewati al-Rum 21? Wallahu a’lam.
Muhammad Khoirul Anwar Afa, S.Ud, M.Ag, Dosen Tafsir PTIQ Jakarta dan Ustadz di Cariustadz.id