Penjelasan umum yang sering digunakan untuk mendefinisikan manusia adalah mereka sebagai “hewan yang bertutur kata/berbicara (hayawaanun naatiq)”. Definisi ini secara khusus digunakan untuk membedakan manusia dengan hewan, karena antara keduanya secara umum terdapat susunan tubuh dan organ yang mirip, seperti mata, telinga, tangan, jantung, dan lainnya.
Perbedaan manusia dengan hewan pada definisi di atas berkaitan dengan kemampuan manusia untuk menyusun kata sebagai alat komunikasi. Kendati hewan pun mampu bersuara, jelas bahwa susunan kata yang digunakan manusia lebih beragam. Kemampuan untuk menyusun kata ini disebabkan oleh adanya karunia “akal” yang dimiliki manusia, suatu aspek yang membedakannya dengan hewan.
Karena memiliki akal, maka Aristoteles pernah mendefinisikan manusia sebagai animal rationale (hewan yang memiliki kemampuan rasional). Akal merupakan aspek yang memiliki peran sangat signifikan sejauh perjalanan hidup manusia di bumi, dari dulu, kini, hingga di masa mendatang. Karenannya, sejak kemunculan agama Islam melalui Nabi Muhammad, perintah untuk mendayagunakan akal menjadi sangat penting.
Perintah al-Quran untuk Mendayagunakankan Akal
Sebagai sebuah agama, Islam sangat memerhatikan penggunaan dan pendayagunaan akal secara tepat. Perhatian Islam terhadap hal ini banyak didapat di dalam al-Qur’an. Jeffry Lang, seorang Guru Besar di bidang matematika, seorang mualaf yang pernah menjadi aties, menyebutkan bahwa salah satu konsep utama al-Qur’an adalah penekanan pada penggunaan akal.
Dalam bukunya Struggling to Surrender (2023: 55), ia mengutip Rodinson yang menyebutkan bahwa kata kerja ‘aqala (berakal, bernalar, menyambung gagasan, memahamai alasan-alasan intelektual) diulang sekitar 50 kali di dalam al-Qur’an. Belum lagi kata-kata lainnya yang berkaitan dengan akal, seperti tafakkara (berpikir) dan abshara (melihat). Perintah untuk mendayakan akal di antara bertujuan agar manusia dapat memajukan kehidupannya melalui pengetahuan.
Perintah pertama dari al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW juga berkaitan dengan pencarian pengetahuan. Perintah “bacalah!” yang pada saat turun itu ditujukan khusus kepada Nabi Muhammad, mengindikasikan bahwa membaca tidak semata berkaitan dengan tulisan. Sebab, pada saat itu Nabi Muhammad adalah seorang ummiy, tidak mengerti baca-tulis. Perintah ini pula, menurut Lang (56), adalah sebuah karunia yang sangat besar yang khusus ditujukan untuk manusia.
Maka, “membaca” dapat dilakukan terhadap apa saja, seperti alam dan kondisi masyarakat. Hal ini sesuai dengan perintah-perintah al-Qur’an selanjutnya yang turun berangsur-angsur bahwa manusia diperintahkan untuk “mengakali, memikirkan, atau melihat” segala sesuatu. Misalnya, Allah berfirman:
“Di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. (Begitu juga ada tanda-tanda kebesaran-Nya) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. al-Dzariyat[50]: 20-21)
Ganjaran Bagi yang “Mengerti”
Manusia yang berakal, mengetahui, atau mengerti, jelas memiliki keunggulan dibandingkan mereka yang sebaliknya. Dalam surah al-Zumar[39]: Allah menegaskan:
“… Katakanlah (Nabi Muhammad), “Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya hanya ululalbab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran.”
Allah melalui firman-Nya yang lain menjelaskan salah satu kelebihan bagi mereka yang mau menuntut ilmu, dalam rangka mendayakan akal dan agar menjadi pribadi yang “mengerti”, bahwa Dia mengangkat derajatnya di samping mereka yang beriman (QS. al-Mujadilah[58]: 11).
Menuntut ilmu sebagai proses pembentukan diri untuk menjadi manusia yang “mengerti” adalah salah satu aspek utama dan bernilai sangat tinggi dalam Islam. Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis masyhur yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah: “Thalab al-‘Ilm fariidhatun ‘alaa kulli muslim…”
Dengan ilmu, peradaban dapat berkembang ke arah yang semakin hari semakin baik. Dengan ilmu, orang dapat mengerti segala hal yang dikerjakannya, baik masalah ibadah, pekerjaan, sosial, dan lainnya. Sehingga ilmu menjadikan hidup lebih nyaman dan mudah. Di antara sabda Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan keutamaan memiliki ilmu diriwayatkan oleh al-Tirmidzi yang berbunyi:
“Keutamaan orang yang berilmu dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan diriku atas orang yang paling bawah di antara kalian…” (HR. al-Tirmidzi, no. 2685).
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang berilmu jauh lebih tinggi derajatnya dibandingkan seorang yang senang beribadah, namun tidak didasari keilmuan yang memadai. Boleh jadi, salat sunah dua rakaat orang yang mengerti akan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan salat jauh lebih bernilai dibandingkan 4 rakaatnya, bahkan lebih, orang yang tidak banyak mengerti mengenai salat.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah saw menyebutkan keutamaan seorang yang berilmu dengan ahli ibadah (tanpa ilmu) seperti keutamaan bulan di malam purnama dibandingkan seluruh bintang (HR. Abu Daud, no. 3641). Pada perumpanaan itu, dapat kita bayangkan bagaimana cahaya bulan purnama mengalahkan seluruh cahaya bintang-bintang yang jumlahnya tak terhingga.
Pada akhirnya, mendayagunakan akal dengan segala cara, baik membaca ayat-ayat Tuhan pada alam dan diri manusia, belajar di lembaga pendidikan, membaca kumpulan teks keilmuan, dan lainnya, adalah perintah yang ditujukan demi kebaikan manusia itu sendiri. Dengan ilmu, peradaban berkembang menuju arah yang semakin hari semakin baik. Wallahu a’lam.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini