Dalam sejarah peradaban manusia, banyak terjadi ketimpangan sosial di kalangan masyarakat dunia termasuk diskriminasi terhadap perempuan. Sebagai contoh, bangsa Arab sebelum kedatangan Islam cenderung menganggap perempuan sebagai warga kasta kedua atau bahkan layaknya barang yang dapat diperjual-belikan. Bisa dikatakan waktu itu tidak ada kesetaraan manusia dalam berbagai aspek.
Ketika Islam datang, adat istiadat buruk terkait ketidaksetaraan manusia perlahan dikoreksi. Islam dengan tegas-lugas membawa nilai keadilan dan kesetaraan manusia. Jika pada mulanya perempuan diperlakukan seperti komoditas dan mereka tidak berhak mendapatkan warisan, maka pada saat Islam datang mereka diberikan hak waris dan hak bersuara sebagai manusia merdeka (History of the Arabs).
Gagasan kesetaraan manusia yang dibawa oleh agama Islam menyentuh seluruh aspek kehidupan, mulai dari pribadi, sosial, hingga ibadah. Islam menegaskan kesetaraan manusia dalam beribadah, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Keduanya memiliki potensi setara di mata Allah Swt dalam beribadah. Ini semua tertuang dalam surah an-Nahl ayat 97 yang berbunyi:
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl ayat 97).
Menurut Ibnu Katsir (Tafsir Al-Qur’an al-Azim [4]: 601), surah an-Nahl ayat 97 merupakan janji Allah Swt. kepada manusia bahwa siapa pun yang melaksanakan amal saleh yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunah, baik laki-laki maupun perempuan muslim (beriman), maka Allah Swt. akan memberikannya kehidupan yang baik di dunia dan balasan pahala terbaik di akhirat kelak.
Al-Razi mengatakan dalam Mafatih al-Ghaib (20/267), surah an-Nahl ayat 97 mengandung penegasan kesetaraan manusia dalam beribadah. Penyebutan laki-laki dan perempuan secara eksplisit bermakna bahwa tidak ada pengkhususan atau keistimewaan tertentu bagi laki-laki ataupun perempuan dalam ibadah kepada Allah Swt. Oleh karena itu, tidak boleh ada anggapan laki-laki lebih baik dari perempuan ataupun sebaliknya.
Kemudian, Imam al-Qusyairi menegaskan dalam Tafsir al-Qusyairi, amal saleh yang dimaksud pada surah an-Nahl ayat 97 adalah segala yang sesuai dengan perintah Allah Swt, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Amal saleh tidak terbatas pada ibadah wajib, melainkan juga ibadah-ibadah yang bersifat sosial seperti sedekah dan berlaku baik di tengah manusia. Amal saleh tersebut – tentu – berdasarkan keimanan kepada Allah Swt.
Penting diketahui sebagaimana disampaikan Imam al-Baidawi dalam Tafsir al-Baidawi bahwa perbuatan baik yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan haruslah berlandaskan keimanan agar bisa mendapatkan pahala. Namun, balasan yang didapat orang berbuat baik tidak terbatas hanya pada pahala, melainkan juga dihindarkan atau diringankan siksa akibat dosa.
Para ulama berbeda pendapat mengenai makna “kehidupan yang baik” yang dimaksud pada surah an-Nahl ayat 97. Setidaknya ada lima pandangan, yaitu: 1) rezeki yang halal. Ini pendapat Ibnu Abbas dkk; 2) sikap kanaah. Ini pendapat Hasan Basri dkk; 3) petunjuk pada ketaatan. Ini pendapat al-Dahhak; 4) surga. Ini pendapat Imam Mujahid dkk; 5) makrifat kepada Allah. Ini pendapat dari Ja’far Shadiq.
Terlepas dari apa makna “kehidupan yang baik” yang sesungguhnya (Allah Yang Lebih Mengetahui), surah an-Nahl ayat 97 telah menyampaikan dengan jelas bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan atau potensi serupa dalam beribadah. Artinya, kesetaraan manusia adalah salah satu nilai yang diajarkan oleh Islam, khususnya dalam ibadah.
Kesetaraan tersebut haruslah diperjuangkan dan dilaksanakan oleh setiap individu muslim sebagai wujud pengejawantahan perintah Allah Swt. namun – tentu – dengan catatan kesetaraan yang sesuai dan seiring dengan nilai substansial Al-Qur’an dan hadis. Oleh sebab itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim bersikap adil sejak dalam pikiran agar nilai kesetaraan dalam kehidupan dapat diwujudkan secara maksimal.
Selain itu, nilai kesetaraan manusia dalam ibadah sebagai dijelaskan di atas juga mengajarkan kita untuk menyadari kesamaan dan kesetaraan makhluk agar tidak memiliki sikap sombong. Apa pun latar belakang manusia, baik kaya, miskin, bangsawan ataupun jelata, pada hakikatnya mereka sama dan memiliki potensi yang serupa dalam beribadah. Yang membedakan mereka hanya ketakwaan kepada Allah Swt. Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini