Mengkaji Definisi Fiqh (II): Versi al-Syafii (w. 204 H)

Setelah sebelumnya diuraikan definisi fiqh versi Abu Hanifah (w. 150 H), tulisan ini akan melanjutkan pembahasan dengan merujuk pada definisi yang dikonsepsi oleh Muhammad ibn Idris al-Syafii (w. 204 H). Rujukan utama yang digunakan ialah karya Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh (Dar al-Fikr, 1989: 16-17). 

Definisi Fiqh Versi Muhammad ibn Idris al-Syafii (w. 204 H)

Definisi fiqh yang dihadirkan oleh al-Syafii mungkin tidak asing bagi pembelajar studi Islam, terutama Fiqh, di Indonesia. Berikut ini redaksinya:

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية

“Ilmu/ pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan ‘amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci”

Wahbah al-Zuhaili memberikan pensyarahan yang detail terhadap masing-masing elemen dalam redaksi definisi tersebut. Pertama, al-‘ilm yang dimaksud ialah segala jenis pengetahuan yang dicapai secara mutlak baik dalam level yaqīn (pasti) maupun zhān (dugaan kuat). Sebab hukum-hukum perihal ‘amaliyah terkadang ditetapkan berdasarkan dalil yang bersifat qath’ī (definitif dan tidak multitafsir), dan justru umumnya atau kebanyakan dikonstruksi berdasarkan dalil-dalil yang bersifat zhānni (polisemi dan multitafsir).

Kedua, term aẖkām merupakan bentuk plural dari ukm, dimaknai sebagai tuntutan yang berasal dari pembuat syari’at itu sendiri (Allah SWT.) atau dalam penjelasan terminologis lain, ukm adalah khithābullah (pesan-pesan Tuhan) yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas mukallaf (orang-orang yang terkena taklīf/ tanggungjawab mengamalkan pesan-pesan Tuhan di dunia), baik berupa iqtidhā’ (ketetapan final), takhyīr (pilihan), wadh’ (ketetapan yang bersifat hubungan antara satu faktor dengan faktor lainnya). 

Khithāb sendiri dipahami oleh para ahli fiqh sebagai implikasi yang dihasilkan dari keberadaan khitāb itu sendiri. Seperti halnya ketentuan wajibnya shalat, haramnya pembunuhan, ketetapan atas makan yang dihukumi mubā serta dipersyaratkannya wudhu bagi sahnya shalat.

Ketiga, kata al-syar’īyah diambil dari kata syar‘u. Term ini mengecualikan hukum benda yang terindra seperti halnya al-syams masyriqah (matahari terbit), lalu hukum rasional seperti al-wāid nishf al-itsnain (satu merupakan setengah dari dua), al-kull a‘zham min al-juz’ (universal lebih besar dari parsial), maupun hukum bahasa seperti al-fā’il marfū‘ (subjek dalam bahasa Arab dihukumi rafa’), serta hukum wadh’ī (penisbatan satu variabel terhadap variabel yang lain) baik itu sifatnya positif maupun negatif, seperti zaid qā’im (zaid itu berdiri atau tidak berdiri).

Keempat, term al-‘amaliyah menjadi dasar dari adanya dua aktivitas yang kemudian dimasukkan dalam tinjauan hukum syar’i. Aktivitas pertama ialah aktivitas hati (al-‘amal al-qalbī/ al-bāthinah), sehingga kemudian “niat” masuk di dalamnya. Lalu aktivitas yang kedua ialah aktivitas yang nampak (al-‘amal ghair al-qalbī/ al-zhāhirah), seperti halnya membaca al-Qur’an dan shalat. Maka berdasarkan definisi ini, maksud dari al-‘amaliyah adalah hal-hal yang bersifat ‘amalī (praktikal), meskipun ada juga yang bersifat nazharī (teoretis) seperti kaidah: ikhtilāf al-dīn māni’ min al-irts (perbedaan agama menjadi penyebab terhalangnya warisan).

Term al-‘amaliyah ini juga kemudian mengecualikan kajian-kajian yang sebagian besar atau secara keseluruhan berupa teoretis seperti ushūl al-fiqh dan ushūl al-dīn (teoretisasi akidah). Maka, pembahasan mengenai sifat-sifat Tuhan tidak menjadi bagian dari materi yang dipresentasikan oleh Fiqh. Perlu diketahui juga bahwa persoalan terkait fiqh juga terkadang disebut persoalan far’iyyah dan persoalan yang menyangkut akidah disebut sebagai persoalan ashliyyah.

Kelima, al-muktasab merupakan atribut atau sifat bagi al-‘ilm sehingga maksudnya ialah ilmu yang diperoleh melalui aktivitas istinbāth atau proses pengambilan kesimpulan hukum yang dilakukan melalui penalaran berbasis teori dan dedikasi (bi al-nazhr wa al-ijtihād). Definisi ini kemudian mengecualikan ilmu-ilmu yang tidak diperoleh melalui proses penalaran rasional, seperti pengetahuan aksiomatik bahwa shalat lima waktu itu hukumnya wajib—sebab pengetahuan ini tidak diperoleh melalui proses istinbāth.

Keenam, al-adillah al-tafshīliyah (dalil-dalil yang terperinci) merupakan dalil-dalil yang bersumber dari al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qiyas. Terkecualikan dari definisi ini, pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang yang bertaklid (mengikuti tanpa ikut serta memikirkan)—kepada produk-produk fiqh yang dihasilkan oleh Imam Madzhab. Sebab, mereka tidak mengetahui setiap detil dalil dari amalan yang dikerjakan dan berpatokan pada satu dalil umum yang memayungi setiap amalan mereka yaitu kewajiban bertanya kepada para ahli. Maka, apapun yang mereka tanyakan (istiftā’) harus menjadi wajib untuk dikerjakan.

Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A., Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Alif Jabal Kurdi, S.Ag., M.A.? Silakan klik disini