Selebrasi Hari Santri: Merawat Warisan Moral, Perkuat Literasi Digital

Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (Qs. Al-Anbiya: 107)

Kutipan ayat di atas menjadi pengingat penting menjelang Hari Santri Nasional, 22 Oktober yang beberapa hari ini tengah banyak ujian baik menimpa kyai, santri maupun pondok pesantren. Beberapa kejadian dari rubuhnya pondok pesantren hingga pemberitaan yang jauh dari prinsip jurnalisme. Selain ujian untuk terus melakukan perbaikan, kita sadari bahwa  Hari Santri memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan perjuangan ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional dilakukan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015, yang ditandatangani pada 15 Oktober 2015. Hari Santri Nasional turut menjadi momen untuk mengenang peristiwa Resolusi Jihad yang bersejarah.

Jika kita melihat secara komprehensif Qs. Al-Anbiya 107 di atas redaksi ayat tersebut sangat singkat, tetapi ia mengandung makna yang sangat luas. Hanya dengan lima kata yang terdiri dari dua pulah lima huruf— termasuk huruf penghubung yang terletak pada awalnya—ayat ini, menurut Prof. Muhammad Quraish Shihab menyebut empat hal pokok. Pertama, Rasul/utusan Allah dalam hal ini Nabi Muhammad saw. Kedua, yang mengutus beliau dalam hal ini Allah. Ketiga, yang diutus kepada mereka (al-‘âlamîn), serta. Keempat, risalah, yang kesemuanya mengisyaratkan sifat-sifatnya, yakni rahmat yang sifatnya sangat besar, sebagaimana dipahami dari bentuk nakirah/indifinitive dari kata tersebut. Ditambah lagi dengan menggambarkan ketercakupan sasaran dalam semua waktu dan tempat.

Kata kunci dalam ayat di atas ialah ‘rahmat’ yang langsung spesifik tertuju pada sosok atau diri Rasulullah Saw. Rasul saw. adalah rahmat, bukan saja kedatangan beliau membawa ajaran, tetapi sosok dan kepribadian beliau adalah rahmat yang dianugerahkan Allah Swt. kepada beliau. Oleh karena itu, lebih lanjut, Prof. M. Quraish Shihab menekankan, ayat di atas tidak menyatakan bahwa, “Kami tidak mengutus engkau untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau agar engkau menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Ayat lain yang juga relate dengan ayat di atas salah satunya ialah QS. Âli ‘Imrân [3]: 159, “Maka, disebabkan rahmat dari Allah-lah, engkau berlaku lemah-lembut terhadap mereka,” Prof. M. Quraish Shihab antara lain mengemukakan bahwa penggalan ayat ini dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah Swt. sendiri yang mendidik dan membentuk kepribadian Nabi Muhammad saw., sebagaimana sabda beliau: “Aku dididik oleh Tuhan-Ku, maka sungguh baik hasil pendidikan-Nya.”

Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu Al-Quran, tetapi juga kalbu beliau disinari, bahkan totalitas wujud beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah ialah rahmah muhdâh, sebagaimana pengakuan beliau yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibn Thâhir al-Maqdasi melalui Abû Hurairah, yakni beliau adalah rahmat yang dihadiahkan oleh Allah kepada seluruh alam.

Lebih lanjut, Prof. M. Quraish Shihab, tidak ditemukan dalam Al-Quran seorang pun yang dijuluki dengan rahmat, kecuali Rasulullah Muhammad saw. dan tidak juga satu makhluk yang disifati dengan sifat Allah ar-Rahîm kecuali Rasulullah Muhammad saw. Allah berfirman, “Demi sesungguhnya telah datang kepada kamu seorang rasul dari diri kamu sendiri, berat terasa olehnya apa yang telah menderitakan kamu; sangat menginginkan (kebaikan) bagi kamu; terhadap orang-orang mukmin ra’ûf dan rahim/amat kasih lagi penyayang” (QS. at-Taubah [9]: 128).

Pembentukan kepribadian Nabi Muhammad saw. sehingga menjadikan sikap, ucapan, perbuatan, bahkan seluruh totalitas beliau adalah rahmat bertujuan mempersamakan totalitas beliau dengan ajaran yang beliau sampaikan karena ajaran beliau pun adalah rahmat menyeluruh dan, dengan demikian, menyatu ajaran dan penyampai ajaran, menyatu risalah dan rasul, dan karena itu pula rasul saw. adalah penjelmaan konkret dari akhlak Al-Quran sebagaimana dilukiskan oleh ‘Âisyah ra. (HR. Ahmad Ibn Hanbal).

Kata (al-‘âlamîn) dipahami beberapa pakar bahwa kata ‘âlam dalam arti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna maupun terbatas. Jadi, ada alam manusia, alam malaikat, alam jin, alam hewan, dan alam tumbuh-tumbuhan. Semua itu memperoleh rahmat dengan kehadiran Nabi Muhammad saw. membawa ajaran Islam. Melalui rahmat itu, terpenuhilah hajat batin manusia untuk meraih ketenangan, ketenteraman, serta pengakuan atas wujud, hak, bakat dan fitrahnya, sebagaimana terpenuhi pula hajat keluarga kecil dan besar, menyangkut perlindungan, bimbingan dan pengawasan, serta saling pengertian dan penghormatan.

Begitu luhur dan mulia makna rahmat yang diurai dalam Qs. Al-Anbiya’/107 di atas, belum sepenuhnya terinternalisasi oleh sebagian masyarakat di negeri ini. Kita melihat bahwa pemberitaan massif yang menyudutkan kyai, santri dan pondok pesantren menjadi ujian tersendiri menuju Hari Santri Nasional. Padahal kita tahu, pesantren bukan hanya tempat belajar kitab namun juga tempat menempa mental dan moral. Data Dewan Pers tahun 2024 mencatat lebih dari 54% pemberitaan daring di Indonesia masih belum memenuhi kaidah cover both sides atau berimbang. Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima 1.812 laporan masyarakat terkait pelanggaran etika siaran sepanjang 2023, termasuk pemberitaan yang menyinggung lembaga keagamaan.

Kiai dan santri menjadi korban sekaligus saksi dari fenomena di atas. Dalam beberapa kasus, seperti pemberitaan sensasional tentang “kekerasan di pesantren” tanpa verifikasi yang memadai, publik digiring pada persepsi bahwa pesantren identik dengan kekerasan atau keterbelakangan. Padahal, Kementerian Agama sejak 2024–2025 gencar mendorong program Pesantren Ramah Anak melalui regulasi dan peta jalan kemudian adanya Pembentukan Satgas Pesantren ramah Anak di Pusat hingga Provinsi.

Mengutip Fadhly Azhar, fenomena yang terjadi dewasa inmenegaskan perlunya agen kiai-santri hadir tidak hanya di mimbar dan pengajian, tetapi juga di medan baru: ruang media. Mengutip teori strukturasi Anthony Giddens, masyarakat tidak hanya dibentuk oleh struktur, tetapi juga oleh tindakan para agen. Dalam konteks ini, kiai dan santri adalah agen-agen sosial yang mampu mereproduksi nilai, menegosiasi makna, dan mengarahkan arus informasi agar kembali pada nilai kebangsaan dan kemanusiaan.

Peran kiai dan santri di sini bukan sekadar sebagai “penyampai pesan moral”, melainkan sebagai produsen wacana kebangsaan yang membumi. Di era di mana kebenaran bisa dikaburkan oleh algoritma, pesantren harus menjadi ruang verifikasi sosial—tempat kebenaran dipelihara dengan nalar dan adab. KH. Sahal Mahfudh pernah mengingatkan bahwa “tradisi pesantren bukanlah nostalgia masa lalu, tetapi mekanisme sosial untuk menjaga keseimbangan moral masyarakat.”

Kekuatan kiai dan santri terletak pada otoritas moralnya, bukan pada kapital media. Namun justru di situlah nilai pentingnya: di tengah dunia yang semakin kehilangan kejujuran, mereka hadir sebagai moral capital bangsa. Data riset Indonesian Institute of Public Opinion (IIPO, 2024) menunjukkan bahwa 83% masyarakat Indonesia masih menaruh kepercayaan tertinggi pada kiai dan tokoh agama dibandingkan tokoh politik (41%) atau media arus utama (38%). Kepercayaan ini adalah modal sosial yang harus dirawat, bukan hanya untuk pesantren, tetapi untuk demokrasi itu sendiri.

Melalui riset tersebut, tanggung jawab ini bukan hanya untuk santri, namun kita semua yang peduli terhadap perbaikan kualitas akhlak generasi ini. Santri harus melek literasi media, memahami logika algoritma, dan berani mengoreksi pemberitaan yang menyudutkan tanpa kehilangan adabnya. Kritik santri adalah kritik yang berakar pada kasih sayang (mahabbah), bukan pada kemarahan. Santri diharapkan mampu merawat warisan moral, memiliki kepekaan sosial dan kecakapan literasi digital. Semoga.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini