Daripada Merasa Bisa, Coba Sesekali Belajar Bisa Merasa

Allah SWT berfirman dalam surat at-Taubah ayat 128:

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”

Setelah negara Madinah mapan dan Makkah kembali ditaklukkan, Nabi Muhammad Saw boleh dibilang raja Hijaz. Dengan satu perintah saja, beliau bisa meminta singgasana megah, permadani halus, atau pakaian kebesaran sebagaimana lazimnya penguasa abad pertengahan. Tapi sejarah mencatat hal sebaliknya. Umar bin Khattab pernah menangis ketika menyaksikan rumah Nabi yang amat sederhana, bahkan alas tidurnya masih di bawah standar warga sejahtera saat itu. (Riwayat Bukhari no. 4913, Bab kayfa kāna nabiyyu ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam ya‘īshu)

Dalam bahasa para sufi, sikap demikian disebut dzauq—rasa halus yang membuat seseorang peka terhadap penderitaan orang lain. Dalam istilah psikologi modern, itulah empati: kemampuan untuk ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Rasulullah Saw bukan hanya memahami penderitaan umatnya, tapi turut “menjinjing” beban itu. Ia tidak sekadar pemimpin yang memerintah dari menara gading, melainkan sosok yang ikut berpeluh di tengah umatnya.

Inilah makna dari potongan ayat tadi: ‘azīzun ‘alaihi mā ‘anittum—“berat terasa olehnya penderitaanmu.” Nabi memikul perasaan umatnya seolah itu adalah kepedihan dirinya sendiri. Empati bukan sekadar perasaan kasihan; ia adalah keputusan sadar untuk ikut menanggung sebagian beban sesama.

Sayangnya, nilai ini perlahan terkikis di tengah peradaban modern yang serba kompetitif. Hari ini, di puncak kapitalisme, kita menyaksikan parade kemewahan di mana-mana: ponsel seharga puluhan juta, mobil miliaran rupiah, pakaian yang satu potongnya bisa setara gaji bulanan pekerja. Tidak ada yang salah dengan itu. Baik agama maupun negara tidak pernah melarang seseorang menikmati hasil jerih payahnya—selama diperoleh dengan cara yang halal dan tidak zalim.

Namun, yang perlu ditanyakan bukan hanya bagaimana kita mendapatkannya, tapi juga di tengah siapa kita mendapatkannya. Jika kemewahan itu hadir sementara ekonomi saudara-saudara di sekitar kita sedang terseok, mungkin bukan hartanya yang salah, tapi rasanya yang tumpul. Saat tetangga berjuang menebus biaya sekolah anaknya, sementara kita sibuk berburu edisi terbaru sneakers, ada sesuatu yang hilang dari nurani: kemampuan untuk merasakan.

Kehilangan empati berarti kehilangan salah satu karakter kenabian yang paling mendasar. Rasulullah Saw hidup bukan untuk menimbun, tapi untuk menyalurkan; bukan untuk memperlihatkan kelebihan, tapi untuk menguatkan yang lemah. Kesederhanaannya bukan simbol kemiskinan, melainkan wujud cinta yang konkret kepada sesama.

Maka, di tengah gegap-gempita dunia yang memuja pencapaian, barangkali kita butuh jeda sejenak untuk bertanya: apakah kita masih bisa merasa? Apakah kita masih tersentuh oleh kesusahan orang lain, atau semua sudah kita ubah menjadi konten dan perbandingan?

Empati tidak menuntut kita menjual barang mewah atau hidup miskin; ia hanya menuntut kehadiran hati. Kadang cukup dengan menunda gengsi, menyisihkan sedikit rezeki, atau sekadar mendengarkan keluh kesah orang lain tanpa menghakimi. Sebab dalam dunia yang semakin sibuk merasa bisa, barangkali yang paling dibutuhkan adalah manusia-manusia yang masih bisa merasa.

Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id

Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini