Pernahkah kita merasakan ini: saat shalat, surga terasa begitu dekat. Hati lunak, doa mengalir, air mata hampir jatuh. Tetapi belum lama salam terucap, kita kembali tergelincir. Khilaf yang sama, kesalahan yang itu-itu lagi.
Atau ketika menghadiri kajian bertemakan tarhib. Neraka terasa begitu nyata, seolah menyentuh kulit. Kita berjanji dalam hati untuk berubah. Namun sepulang dari majelis, maksiat justru diterabas tanpa banyak ragu.
Ada pula momen ketika sendirian, iman terasa kokoh. Ibadah dilakukan dengan tenang, tanpa beban. Tetapi saat berada di keramaian—di masjid, di majelis, di tengah banyak pasang mata—kita justru gelisah. Bertanya dalam hati: apakah ini benar-benar karena Allah, atau karena sedang dilihat orang lain?
Kegelisahan semacam ini sering kita pendam. Kita kira hanya milik kita sendiri. Kita takut mengakuinya, khawatir dianggap kurang iman, apalagi dicap munafik. Padahal kegelisahan itu bukan sesuatu yang eksklusif. Ia bukan tanda kegagalan iman, melainkan tanda bahwa hati masih hidup dan masih berusaha jujur.
Sekaliber Sahabat Nabi pun Gelisah Soal Keikhlasan
Kegelisahan itu juga pernah diucapkan dengan jujur oleh seorang sahabat Nabi SAW bernama Hanzhalah. Suatu hari, ia bertemu Abu Bakar dan berkata dengan penuh cemas, “Hanzhalah telah munafik.” Bukan karena ia meninggalkan shalat, bukan pula karena berpaling dari iman, melainkan karena merasakan perubahan batin yang tajam: saat bersama Rasulullah, imannya begitu hidup, tetapi ketika kembali pada urusan dunia, banyak rasa itu memudar.
Yang mengejutkan, Abu Bakar tidak membantahnya. Ia justru mengakui bahwa dirinya merasakan hal yang sama. Dua sosok sahabat besar ini—yang keimanannya tidak diragukan—sama-sama gelisah dengan naik-turunnya keadaan hati mereka. Kegelisahan itu akhirnya mereka bawa kepada Rasulullah SAW.
Maka setelah mendengar laporan mereka, Nabi justru membuka satu pengakuan besar tentang batas kemampuan manusia, dengan sabda-Nya:
يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً وَلَوْ كَانَتْ تَكُونُ قُلُوبُكُمْ كَمَا تَكُونُ عِنْدَ الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُسَلِّمَ عَلَيْكُمْ فِي الطُّرُقِ
“Wahai Hanzhalah, ada waktu begini dan ada waktu begitu. Seandainya hati kalian selalu berada dalam keadaan seperti ketika berada dalam zikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian, hingga mereka memberi salam kepada kalian di jalan-jalan.” (HR. Muslim, Kitab at-taubah, Bab fadhl dawam dzikr, no. 2750)
Sabda ini mengajarkan kejujuran yang sering kita abaikan: bahwa hati manusia tidak diciptakan untuk selalu berada di puncak. Ada saat-saat iman terasa terang, ada pula waktu ia meredup. Dan itu bukan aib, selama kita tidak berhenti kembali.
Di titik inilah ikhlas menemukan maknanya yang paling nyata. Ikhlas bukan keadaan stabil yang bisa diklaim, bukan pula pencapaian spiritual yang sekali diraih lalu selesai. Ia adalah kerja batin yang harus terus diperjuangkan—setiap kali niat bergeser, setiap kali hati kembali silau oleh pandangan manusia.
Maka wajar jika ikhlas tidak selalu hadir utuh. Ia datang dan pergi, menguat dan melemah, sebagaimana iman itu sendiri. Yang berbahaya bukanlah turunnya rasa ikhlas, melainkan berhentinya usaha untuk meluruskannya kembali.
Di hadapan ikhlas, bahkan para sahabat pun tidak merasa selesai. Mafhumul muwafaqhnya, Apalagi kita.
Karena itu, barangkali pengakuan paling jujur yang bisa kita ucapkan adalah ini: dalam urusan ikhlas, kita semua memang pemula.
Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag, Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang Dr. Muhammad Asgar Muzakki, M. Ag? Silakan klik disini