Berderma sebagai Terapi Kesehatan Jiwa

Isyarat berbagi sejatinya telah banyak disebutkan dalam beberapa ayat al-Quran. Istilah infaq, shadaqah, zakat, adalah beberapa lafaz yang seringkali disebut dalam kitab suci umat Islam ini. Selain pesan untuk berderma secara tersirat dalam Qs al-Baqarah/2: 245 pada ayat berikut: 

مَنْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗٓ اَضْعَافًا كَثِيْرَةً ۗوَاللّٰهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُۣطُۖ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Qs. Al-Baqarah/ 2: 245)

Allah Swt pun menjamin ‘balasan’ terbaik yang telah dijanjikan Allah pada siapapun hamba-Nya yang ikhlas berderma berupa rezeki dan pahala yang berlipat ganda. Begitu lekat perintah bersedekah (berbagi kepada yang membutuhkan) dalam Islam, hingga ayat ini mengajarkan kita banyak hal salah satunya menumbuhkan empati dan kesadaran berderma sebagai perwujudan habluminannas (menjaga hubungan baik antar sesama).

Baca Juga: Praktik Poligami Menurut Para Mufasir Indonesia

Jika dilihat dari segi medis, anjuran untuk berbagi sesungguhnya mampu menyehatkan fisik terlebih jiwa. Salah satu dokter spesialis jiwa kenamaan Indonesia misalnya, dr. Muhammad Thohir Sp.Kj dalam karyanya ‘Maghfirah Total’ menguraikan bahwa dalam Ilmu Kedokteran Jiwa, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dikatakan bahwa sehat jiwa seseorang jika lebih suka memberi daripada menerima. 

Sementara itu, menurut Undang-undang No 3 Tahun 1966 yang dimaksud dengan kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Dari definisi tersebut, kita melihat bahwa makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain.

Pendapat senada juga diulas oleh Dr. dr. Kristiana Siste, Sp.KJ(K) dari Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Menurutnya, ada delapan ciri orang yang sehat jiwa (selain suka memberi) di antaranya dapat menerima kenyataan yang baik maupun buruk, puas dengan hasil karyanya, secara relatif bebas dari rasa tegang dan cemas, berhubungan dengan orang lain untuk saling menolong dan memuaskan, mengambil hikmah dari kejadian buruk, mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kuratif dan konstruktif, memiliki rasa kasih sayang yang besar.

Sehat jiwa yang diuraikan oleh dua pakar di atas setidaknya bisa menjadi cara manusia untuk menuju sehat secara holistik. Jika dalam agama dikenal sebagai ikhtiar fisik (dengan berolahraga dan mengonsumsi makan yang sehat dan seimbang gizi), maka ikhtiar ruhani (berdzikir) mampu disempurnakan dengan sikap sadar berderma. Meyakini sepenuhnya bahwa apa yang dimiliki saat ini adalah dari Allah, Allah yang Maha Memiliki dan kapanpun Allah berkehendak, segalanya akan kembali pada-Nya.

Anjuran berbagi sesungguhnya telah dipraktikkan secara nyata oleh Nabi Muhammad Saw, Rasulullah Saw bukan hanya gemar berbagi oleh sesama muslim saja namun kepada mereka yang membutuhkan meskipun berbeda keyakinan. Dalam salah satu hadits, Rasulullah bersabda, “Orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang bakhil (pelit) itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari menusia, dan dekat dengan neraka. Sesungguhnya orang bodoh yang dermawan lebih Allah cintai dari pada seorang alim yang bakhil.” (HR Tirmidzi).

Betapa orang yang suka berbagi ada jaminan untuk dekat pada Allah, dekat pada surga dan dekat (mampu berinteraksi dengan baik) pada manusia. Kedekatan yang tidak diberikan oleh orang yang tidak gemar berderma. Jika dikaitkan dengan istilah Kamus Besar Bahasa Indonesia, anjuran berderma dan mengutamakan kebutuhan sesama diistilahkan dengan altruisme. Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) altruisme merupakan paham (sifat) yang lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan dari egoisme), sikap yang ada dalam diri manusia yang bersifat naluri, berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada orang lain (KBBI, 2019).

Baca Juga: Reaktualisasi Maqasid Syariah Untuk Mendorong Kemaslahatan

Altruisme merupakan istilah modern dari kata empati, kata ini sendiri pertama kali diciptakan oleh seorang filsuf bernama Auguste Comte. Kata altruisme ini berasal dari bahasa Perancis yaitu Autrui atau dalam bahasa Latin disebut juga sebagai Arteri yang memiliki arti orang lain Altruisme merupakan sebuah dorongan untuk berkorban demi nilai yang lebih tinggi yakni kemanusiaan.

Meyakini bahwa anjuran agama Islam tak terbatas pada ibadah ritual lima kali dalam sehari (shalat, red) melainkan juga ibadah sosial dengan berbagi baik infaq, zakat, waqaf dan shadaqah sesungguhnya bertujuan untuk mencapai kesehatan bukan hanya secara fisik melainkan juga sehat secara psikis (jiwa), sehat secara emosional dan tentu sehat secara spiritual. Jika seluruh kesehatan ini sudah tercapai maka akan lebih mudah meraih sehat secara keseluruhan (holistik). Jika sehat ini telah dirasakan oleh tiap-tiap individu muslim, maka semoga bisa melahirkan ibadah yang semakin berkualitas. Aamiin. Wallahu a’lam bish shawwab.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini