Batas dan Kondisi Diperbolehkannya Gibah

Sudah menjadi hal yang diketahui banyak orang bahwa gibah adalah perbuatan tercela. Gibah termasuk perbuatan yang sangat dilarang oleh Islam, sebagaimana jelas disebutkan di dalam al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an secara serius menggambarkan perilaku gibah ibarat seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendirinya (QS. al-Hujurat[49]: 12).

Imam al-Nawawi dalam kitab al-Adzkaar membahas gibah dengan cukup intens. Dalam kitabnya tersebut, ia memberikan definisi gibah, sebagaimana banyak ulama lainnya, sebagai ‘membicarakan orang lain (manusia) mengenai sesuatu yang ada pada dirinya yang tidak disukai orang tersebut’.

Termasuk perbuatan gibah, menurut Imam al-Nawawi, adalah menyebut-nyebut seseorang atau sesuatu yang tidak berkaitan langsung dengan fisik atau perilaku orang yang sedang digibahi, seperti menggibahi anak, keluarga, pembantu, bahkan sekadar pakaiannya. Gibah terhadap pakaian, misalnya, dengan menyebut dia berkantong besar dan dekil pakaiannya. Bahkan, menyebut orang tidak beradab termasuk perbuatan gibah.

Batas-Batas Gibah

Menurut Imam al-Nawawi, gibah tidak hanya terbatas pada lisan (ucapan), tetapi juga dapat berupa tulisan, sindiran, bahkan mimik serta gestur tubuh. Dalam hal gestur, misalnya, seseorang sengaja berjalan tertatih dengan maksud menyindir orang pincang.

Ada kalanya, seseorang susah membedakan antara memberi nasihat dan gibah. Orang berniat memberi nasihat, tetapi justru sedang menggibahi seseorang. Imam al-Nawawi memberikan contoh untuk membedakan dua hal di atas. Misalnya, seorang pengarang kitab menulis di dalam karyanya bahwa si A dan si B begini dan begitu. Tulisan tentang si A dan si B itu kemudian dimaksudkan untuk merendahkan keduanya. Maka, ini termasuk gibah yang haram.

Akan tetapi, jika penjelasan mengenai pribadi atau pemikiran si A dan si B ditujukan agar orang lain mengerti kekeliruan, kesalahan, apalagi kesesatan keduanya, maka ini dinamakan nasihat wajib, kata Imam al-Nawawi, bukan gibah.

Imam al-Nawawi bahkan menjelaskan bahwa gibah terkadang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti agama (ahli fikih). Dalam hal ini, misalnya, ada yang bertanya kepada mereka mengenai si A. Dia kemudian menjawab, “Semoga Allah menjauhkan kita dari kegelapan dan kesesatan. Semoga Allah mengampuni dan melingdungi kita.” Jawaban seperti itu dengan jelas mengisyaratkan bahwa si A sedang berada dalam kegelapan dan kesesatan serta telah berbuat dosa. Karenanya, itu termasuk gibah.

Sebagaimana haram membicarakan orang, mendengarkan pembicaraan gibah juga haram. Ada beberapa cara agar tidak mendengarkan pembicaraan gibah. Pertama, mencegahnya dengan tindakan bila ia tidak merasa akan muncul mudarat yang lebih besar. Jika ia merasa akan mendapat kesusahan yang lebih besar dengan mencegah gibah, misalnya, karena yang dicegah memiliki posisi dan jabatan yang lebih tinggi, maka ia dapat mencegahnya dengan cara kedua, yaitu mengingkari dalam hati atau meninggalkan tempat itu. Cara ketiga adalah mencegah dengan lisan atau membelokkan pembicaraan pada topik lain yang bermanfaat.

Enam Kondisi Diperbolehkannya Gibah

Menurut Imam al-Nawawi, kendati gibah pada dasarnya haram, tetapi boleh melakukannya selama dibenarkan oleh syariat serta demi mencapai maslahat yang lebih tinggi. Enam kondisi tersebut adalah:

Pertama, dalam keadaan terzalimi. Misalnya, seseorang yang telah mendapatkan perbuatan zalim atau aniaya dapat melaporkan kepada pihak yang berwenang bahwa si A telah berbuat buruk pada dirinya. Agar laporannya diterima, maka ia boleh menjelaskan perbuatan apa saja yang telah diterimanya dari si A.

Kedua, meminta bantuan agar perilaku mungkar dari seseorang dapat dicegah dan dihilangkan. Dalam hal ini, misalnya, ada warga yang melihat bahwa si A sering mabuk-mabukan, suka menggoda perempuan, dan melakukan pemalakan kepada warga. Ia boleh meminta bantuan kepada pihak yang berwenang agar mengamankan si A, sehingga keamanan dan kenyamanan warga menjadi lebih mudah diraih. Pada kasus ini, Imam al-Nawawi mengingatkan bahwa maksud dan tujuannya adalah untuk menghapuskan perkara mungkar. Ia tanpa niat tersebut, maka hukumnya haram.

Ketiga, meminta fatwa. Seseorang yang sedang berada dalam masalah dapat meminta fatwa kepada seorang mufti atau lembaga fatwa dengan menyebutkan keburukan-keburukan orang lain. Contohnya, seorang istri meminta berkata kepada mufti bahwa, “Suami atau ayahku telah berbuat aniaya kepadaku. Dia suka berbuat ini dan itu.” Pada kasus ini, meskipun menyebut secara terang-terangan diperbolehkan, menurut Imam al-Nawawi akan lebih bagus jika diungkapkan secara tersirat selama maksudnya dapat dicapai dan dipahami.

Keempat, memberi peringatan kaum muslim dari perbuatan buruk dan memberikan nasihat kepada mereka. Dalam hal ini, Imam al-Nawawi memberikan contoh bagaimana para ahli hadis sering melakukan kritik kepada para periwayat hadis. Penting untuk diperhatikan adalah jika nasihat, “Dia tidak baik diikuti dalam masalah fiqih,” sudah dapat dipahami oleh yang mendengar, maka cukuplah dengan itu. Namun, jika orang yang meminta nasihat tidak mengerti maksud dan minta penjelasan, maka diperbolehkan menyebut kekurangan atau pun keburukannya secara rinci.

Kelima, menyebut orang yang melakukan perbuatan buruk secara terang-terangan. Pada kasus ini, misalnya, si A sudah terkenal sebagai seorang yang buruk dan jahat; suka mabuk-mabukan, berjudi, main perempuan, dan lain sebagainya. Jika demikian, maka diperbolehkan menyebutkan keburukannya secara terang-terangan. Tetapi, jika ada perlakukan buruk yang sering dilakukan olehnya, namun hanya diketahui oleh sedikit orang, maka haram menyebutkannya tanpa ada alasan yang mendesak.

Keenam, memperkenalkan seseorang. Diperbolehkan menyebut salah satu ciri yang melekat pada diri seseorang untuk memperkenalkan atau menandainya sehingga antara dia dan orang lain yang bernama sama tidak tertukar. Misalnya, dalam suatu kawasan ada beberapa orang bernama Fulan. Maka, untuk membedakannya, diperbolehkan menyebut, “Fulan yang buta, Fulan yang pincang, Fulan yang hitam” selama ciri tersebut benar melekat pada dirinya.

Enam kondisi diperbolehkannya gibah di atas tidak dijelaskan oleh Imam al-Nawawi tanpa dalil. Ia mendasarkan pendapat-pendapatnya dengan beberapa hadis. Di antaranya adalah sebuah hadis dari Sayyidah Aisyah yang menceritakan:

اسْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: ” ائْذَنُوا لَهُ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ أَوِ ابْنُ الْعَشِيرَةِ “

Ada seorang laki-laki meminta izin kepada Rasulullah Saw., lalu beliau bersabda, “Izinkanlah dia masuk, dia adalah seburuk-buruk saudara sesuku.” (HR. al-Bukhari, 6054).

Hadis di atas, kata Imam al-Nawawi, menjadi dalil bagi Imam al-Bukhari atas bolehnya melakukan gibah terhadap orang yang dikenal sebagai ahli fasaad (kerusakan) dan ahli raib (ragu-ragu).

Dengan demikian, gibah diperbolehkan demi menghindari kemungkaran dan mencapai kemaslahatan selama dilakukan dengan cara-cara yang tidak melebihi batas.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini