Bagaimana shalat seseorang yang tertidur ketika khatib Jum’at sedang berkhutbah?

Bagaimana shalat seseorang yang tertidur ketika khatib Jum’at sedang berkhutbah?

[Suhendro via surel]

Jawab:
Khutbah Jum’at diadakan agar jamaah-jamaah mendengarkannya. Karena itu, tidak dibenarkan bercakap-cakap sewaktu khatib telah memulai khutbahnya. Barang siapa melakukan itu, maka gugurlah ganjaran kehadirannya berjum’at. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh enam perawi standar dari Abu Hurairah sering disampaikan sebelum khatib memulai khutbahnya, “Jika engkau berkata kepada temanmu di hari Jum’at, ‘Diamlah!’ ketika imam sedang berkhutbah, maka engkau telah melakukan [Jum’at] yang sia-sia.”

Khutbah Jum’at dinilai oleh sebagian ulama sebagai “pengganti” dua rakaat. Bukankah orang yang menghadiri shalat Jum’at tidak wajib lagi menunaikan shalat Zhuhur, padahal shalat Zhuhur itu empat rakaat dan shalat Jum’at hanya dua rakaat saja? Namun demikian, ini tidak berarti bahwa orang yang tidak mendengarkan khutbah Jum’at karena tidur, bercakap-cakap, atau terlambat hadir otomatis tidak sah shalatnya atau harus menambah rakaatnya dalam shalat Jum’at menjadi empat.

Mengenai tidur, para ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanafi, tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang posisi pelakunya memungkinkan angin [kentut] dapat keluar tanpa dia menyadarinya. Tidur dalam keadaan berbaring atau bersandar atau tertelungkup memungkinkan hal yang demikian itu, sehingga membatalkan wudhu dan sekaligus shalat. Akan tetapi, jika yang bersangkutan tidur dalam keadaan duduk secara mantap dan tidak memungkinkan angin keluar, maka wudhunya tidak batal. Dengan demikian, jika dia tertidur dan kemudian bangkit untuk mengerjakan shalat Jum’at atau lainnya, maka shalatnya tetap sah. Hal ini didasarkan pada sekian banyak hadits. Di antaranya adalah, “Wudhu tidaklah wajib kecuali bagi yang tidur terlentang.” Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidi dari Ibnu ‘Abbas.

Imam Malik meriwayatkan bahwa sahabat Nabi, Ibnu ‘Umar, tidur sambil duduk [dengan mantap] . Kemudian dia bangun dan mengerjakan shalat tanpa berwudhu lagi. Menurut Anas bin Malik, sahabat-sahabat Nabi pun terkadang tidur sambil duduk sampai kepala mereka tertunduk untuk menanti datangnya shalat Isya. Kemudian mereka mengerjakan shalat tanpa berwudhu lagi, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi.

Mazhab Malik dan Hanbali tidak membedakan dari segi cara duduk, tetapi menyatakan bahwa tidur yang nyenyak membatalkan wudhu, dan tidur yang ringan tidak membatalkannya. Tanda nyenyaknya tidur adalah bahwa orang yang tidur tidak mendengar suara, atau tidak merasakan jatuhnya apa yang dipegangnya, atau keluarnya air liur yang meleleh dari sudut bibir. Jika dia merasakannya, maka tidurnya dinilai ringan dan tidak membatalkan wudhu dan shalat yang dilakukannya tetap sah. Alasannya adalah berdasarkan hadits riwayat dari Anas bin Malik di atas yang pada intinya menunjukkan bahwa tidur yang ringan, tanpa mempertimbangkan cara duduk, tidak membatalkan wudhu. Jika seseorang merasa ragu apakah tidurnya nyenyak atau tidak, apakah cara duduknya membatalkan wudhu atau tidak, maka berdasarkan kaidah: “Sesuatu yang diyakini, tidak dapat dibatalkan oleh yang diragukan” dia tetap dinilai masih memiliki wudhu. Sebab sebelumnya dia yakin pernah berwudhu, sementara tidurnya masih diragukan: apakah nyenyak atau tidak dan apakah duduknya mantap atau tidak. Nah, keyakinan itu mengalahkan keraguan ini.

Sekalipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa tidur di saat khatib menyampaikan khutbahnya termasuk mengurangi -kalau enggan dikatakan menghapus– ganjaran Jum’at.

[M Quraish Shihab, Dewan Pakar Studi Al-Quran]