Antara Qudwah dan Uswah: Meneladani Nabi Muhammad saw. secara Kontekstual

Salah satu bentuk memuliakan Nabi Muhammad SAW adalah dengan meneladani akhlaknya. Keagungan akhlak Rasulullah saw., sebagaimana diriwayatkan Aisyah r.a., adalah cerminan dari Al-Quran (kāna khuluquhu al-Qur’ān). Keteladanan Rasulullah merupakan perwujudan nilai-nilai wahyu yang hidup, bergerak, dan kontekstual.

Menariknya, Al-Qur’an tidak menggunakan satu istilah tunggal untuk menyebut “teladan”. Al-Qur’an menghadirkan dua konsep berbeda: qudwah dan uswah. Keduanya sama-sama merujuk pada praktik meneladani, tetapi memuat nuansa makna yang tidak identik. Uswah disebut secara eksplisit dalam beberapa ayat kunci—terutama ketika Al-Qur’an menegaskan figur teladan yang layak diikuti secara sadar dan etis—sementara qudwah hadir dalam bentuk perintah dan deskripsi pelaku peneladanan. Perbedaan pemilihan diksi ini bukan sekadar variasi bahasa, melainkan isyarat konseptual tentang bagaimana keteladanan seharusnya dipahami dan dijalankan.

Uswah: Teladan yang Utuh dan Sempurna

Dalam khazanah leksikografi Al-Qur’an, istilah uswah dan qudwah tidak hadir sebagai sinonim yang sepenuhnya identik, melainkan memuat nuansa makna yang berbeda dan signifikan secara sosial-teologis. Dalam Mu’jam Mufahras li Alfāẓ al-Qur’ān al-Karīm mencatat bahwa derivasi akar kata uswah disebutkan sebanyak tiga kali dengan bentuk yang sama (أسوة), masing-masing pada Q.S. al-Ahzab [33]: 21, Q.S. al-Mumtahanah [60]: 4 dan 6. 

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah. (Q.S. al-Ahzab [33]: 21)

Kata uswah berakar dari kata asā, yang secara kebahasaan mengandung makna yang beragam, bergantung pada objek yang menyertainya. Uswah bisa bermakna mengobati, menghibur, atau memperbaiki. Dari makna ini kemudian berkembang menjadi sesuatu yang berfungsi sebagai penghibur atau pengobat bagi yang dirundung kesusahan dan kesedihan. 

Seiring perkembangan makna tersebut, uswah kemudian mengalami perluasan arti menjadi suri teladan, yakni sesuatu yang layak diikuti dan ditiru, yang dalam istilah lain disebut al-qudwah. Pergeseran makna ini dapat dipahami secara psikologis, karena apapun yang dijadikan teladan, pada umumnya, dapat memberikan kepuasan batin dan rasa nyaman bagi orang yang mengikutinya. Dari situlah muncul kecenderungan untuk meniru dan menjadikan teladan tersebut sebagai rujukan dalam bersikap dan bertindak, baik dalam dimensi personal maupun sosial.

Menurut Az-Zamakhsyarī dalam Tafsir al-Kasysyāf, setidaknya ada dua kemungkinan tentang maksud keteladanan yang terdapat pada diri Rasul itu. Pertama dalam arti kepribadian beliau secara totalitasnya adalah teladan. Kedua dalam arti terdapat dalam kepribadian beliau hal-hal yang patut diteladani. Pendapat pertama lebih kuat dan merupakan pilihan banyak ulama. 

Senada dengan itu, Syekh Nawawi al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid menegaskan makna uswah sebagai sifat atau karakter yang baik, yang pada hakikatnya layak dijadikan rujukan dan diikuti. Dalam urusan agama, keteladanan itu bersifat mengikat dan wajib diikuti, sementara dalam urusan dunia ia bersifat anjuran dan dianjurkan untuk diteladani. 

Qudwah: Mengikuti Petunjuk Nabi secara Kontekstual

Dalam Surah al-An’am ayat 90, Allah memerintahkan Rasulullah saw. untuk iqtadih – mengikuti petunjuk para nabi sebelumnya, bukan seluruh tindakan mereka. Sebab setiap nabi, sebagaimana penjelasan Quraish Shihab, memiliki konteks, misi dan karakter yang berbeda. Ada yang bisa ditiru, adapula yang cukup dijadikan pelajaran.

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْۗ قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًاۗ اِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٰى لِلْعٰلَمِيْنَ ࣖ

Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka, ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku tidak meminta imbalan kepadamu atasnya (menyampaikan Al-Qur’an).” (Al-Qur’an) itu hanyalah peringatan untuk (umat) seluruh alam. (Q.S. Al-An’am [6]: 90)

Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan, ayat ini menjadi pengantar yang halus untuk menegaskan keistimewaan Nabi Muhammad saw. Beliau diperintahkan untuk mengikuti petunjuk para nabi terdahulu, dan pada saat yang sama, Allah menampilkannya sebagai sosok yang menghimpun keutamaan-keutamaan mereka. 

Sejarah hidup Nabi saw. memperlihatkan bagaimana perintah itu beliau hayati dan amalkan. Ketika menghadapi gangguan dan penolakan dari kaumnya, beliau menenangkan diri dengan mengingat kesabaran Nabi Musa a.s. yang diuji dengan gangguan yang lebih berat, lalu berkata bahwa kesabaran itulah yang semestinya beliau teladani. Sikap ini menunjukkan bahwa mengikuti para nabi adalah mengikuti nilai dan spirit perjuangan mereka, bukan sekadar menyalin bentuk lahiriahnya.

Di antara inti keteladanan itu ialah kesatuan prinsip dalam akidah, keteguhan dalam menjalankan syariat, serta kemuliaan akhlak dalam berinteraksi dengan sesama. Semua nabi bertemu pada nilai-nilai dasar tersebut, meskipun jalan dakwah dan detail praktiknya beragam. Karena itu, perintah meneladani para nabi sejatinya mengarahkan umat untuk menimba nilai-nilai universal yang melampaui batas ruang dan zaman.

Lanjutan ayat ini kemudian menyoroti salah satu sikap mereka yang paling menonjol, yakni keikhlasan dalam berdakwah tanpa mengharap imbalan, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Yāsīn [36]: 21, “Ittabi‘ū man lā yas’alukum ajran wa hum muhtadūn(ikutilah orang-orang yang tidak meminta imbalan kepada kalian dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk). Maka Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk menyatakan dengan tegas bahwa beliau tidak meminta upah sedikit pun atas risalah yang disampaikannya, termasuk atas penyampaian wahyu Al-Qur’an. 

Dakwah itu tidak dimaksudkan sebagai sarana keuntungan pribadi, melainkan sebagai peringatan yang terus hidup dan berlaku sepanjang masa, bagi seluruh alam—baik manusia maupun jin. Di sinilah keteladanan para nabi menemukan maknanya yang paling dalam: keikhlasan total dalam mengabdi kepada Allah dan membimbing umat manusia.

Nabi Muhammad saw juga pandai dalam bersosial dan berinteraksi dengan mereka yang berbeda. Bahkan, andai kata Nabi saw tidak pandai bersosial dan sekali saja menyinggung perasaan masyarakat atau melanggar aturan sosial, tentulah mereka menjauhkan diri (lan faddhu min haulik), begitu kata QS. Ali Imran: 159. Karena itu, Nabi saw. betul-betul berlaku lemah lembut dan penuh kasih sayang terhadap mereka.

Nabi saw telah mengajarkan kepada kita bagaimana hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda secara damai, adil, dan bermartabat. Tidak berhenti di situ, Nabi saw. juga menampilkan etika sosial yang menekankan harmoni, penghormatan, dan pengakuan atas keberadaan pihak lain tanpa harus mencairkan keyakinan sendiri, serta tanpa menegasikan agama-agama lain yang disebutkan dalam surah al-Kafirun, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Dalam konteks inilah, keteladanan kenabian menemukan relevansinya yang terus hidup—menjadi kompas etis yang membimbing umat untuk bersikap, bertindak, dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab di tengah kompleksitas realitas sosial yang senantiasa berubah.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini