Marah adalah satu jenis emosi yang kerap dirasakan manusia. Jenis emosi yang jika tidak dikelola dengan tepat, bisa menyebabkan perilaku agresif berlebih; melukai diri sendiri, keluarga bahkan orang lain. Islam sesungguhnya mengakui aneka emosi manusia karena manusia terdiri dari jasmani (fisik) maupun unsur ruhani. Marah (ghadab) sebagai salah satu jenis emosi adalah perasaan yang wajar dialami.
Hanya saja, regulasi emosi jenis ini cukup sulit. Bahkan, beberapa hari ini, kita melihat pemberitaan mengerikan sebagai dampak dari amarah; wafatnya isteri di tangan suaminya sendiri juga seorang bocah SD yang tega mencolok mata teman perempuannya hingga akhirnya buta. Begitu parah dampak marah, jika tak dikenali dan dikendalikan dengan baik. Karenanya, Islam memberi tuntunan bahwa manusia sebagai hamba yang tak bisa lepas dari nafsu (nafs), memaksimalkan potensi spiritualnya agar hawa nafsu yang dirasakan mampu tersalur dengan baik.
Istilah nafs dalam al-Qur’an diartikan sebagai sesuatu yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tindakan. Kata nafs masih bersifat umum, dan itu bisa mempunyai bermacam-macam arti. Ada beberapa lafadz yang disebut dalam Al-Quran misalnya nafs al-ammarah yang berarti mempunyai arti yang lebih spesifik atau khusus (nafsu yang cenderung pada hal-hal negatif). Al-Qur’an menyebutkan kata nafs dalam beragam derivasi. Mu’jam mufahras li alfaz Al-Quran misalnya menyebut nafs dalam bentuk mufradat disebut 77 kali tanpa idhafah dan 65 kali dalam bentuk idhafah, dalam bentuk jamak nufus disebut 2 kali, sedangkan dalam bentuk jamak anfus disebut 158 kali, sedangkan kata tanaffasa-yatanaffasu dan al-mutanaffisun masing-masing hanya disebut satu kali.
Term nafs dalam al-Qur’an semuanya disebut dalam bentuk Ism atau kata benda, yakni nafs, nufus, dan anfus. Dalam al-Qur’an, kata nafs mempunyai aneka makna. Pertama, Nafs sebagai diri atau seseorang, dalam surat Ali-Imran /3:61, surat Yusuf /12:54, dan surat al-Zariyat /51:21. Kedua, Nafs sebagai diri Tuhan, surat al-An’am /6:12, 54. Ketiga, Nafs sebagai Roh, surat al-An’am /6:93. Keempat, Nafs sebagai jiwa, surat al-Syams /91:7 dan surat al-Fajr /89:27. Kelima, Nafs sebagai totalitas manusia, surat al-Maidah /5:32, dan surat al-Qashash /28:19, 33. Keenam, Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku, surat al-Ra’d /13:11 dan surat al-Anfal /8:53.
Sementara itu, kata ‘nafsu’ dalam bahasa Indonesia adalah cenderung bersifat konotasi, yaitu sesuatu yang bersifat negatif. Karena sesuatu yang bernafsu itu akan mengarah dan condong pada suatu akibat yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian baik itu pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Padahal nafsu itu sebenarnya adalah bersifat netral tergantung pada penggunaannya, misalnya nafsu makan, nafsu belajar, nafsu bekerja dan lain sebagainya. Kendati kemudian, al-Qur’an menggunakan lafadz an-nafs di beberapa tempat. Misal dalam Qs. Yusuf/ 53, “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
Sebagai makhluk yang tak bisa lepas dari hawa nafsu, manusia dianjurkan untuk meregulasi emosinya (bukan memperturutkannya). Bahkan, terkait marah ini, Rasulullah Saw bersabda, “Seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW, ‘Berilah aku wasiat.” Kemudian beliau SAW menjawab, “Jangan marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, dan Nabi SAW menjawab, “Jangan marah.” (HR Bukhari). Hadits yang telah sering kita dengar setidaknya memberikan tuntunan pada kita untuk memahami bahwa amarah berlebih seringkali merusak diri sendiri maupun orang lain. Selain berdampak pada kesehatan, amarah yang meluap-luap berpotensi melukai fisik dan jiwa individu yang marah maupun orang di sekitarnya.
Karena itu, Nabi SAW menganjurkan beberapa cara untuk meregulasi emosi (amarah) ini beberapa di antaranya ialah dengan berta’awwudz, ““Jika seseorang dalam keadaan marah, lantas ia ucapkan, ‘A’udzu billah (Aku meminta perlindungan kepada Allah)’, maka redamlah marahnya.” (HR. As-Sahmi no. 1376). Kedua, dengan cara berwudhu. “Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudhu.” (HR Ahmad). Ketiga, dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Dzar RA disebutkan pentingnya regulasi emosi dengan ‘movement/ bergerak’ “Bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Jika marahnya telah hilang (maka sudah cukup). Namun jika tidak lenyap pula maka berbaringlah.” (HR. Abu Daud, no. 4782).
Demikian beberapa anjuran Nabi Saw dalam meregulasi emosi (marah) yang dapat kita terapkan sehari-hari. Semoga Allah ta’ala memberikan kemampuan pada kita agar jangan sampai marah yang meluap-luap beruah musibah. Aamiin
Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini