Urgensi Kesalingan dalam Membangun Rumah Tangga Harmonis

Rumah tangga yang harmonis adalah impian semua keluarga. Bagi banyak orang, keluarga harmonis adalah puncak kebahagiaan dalam membina rumah tangga. Kendati demikian, menurut Fahruddin Faiz, keluarga dengan tipe ini berada di tingkat kedua secara psikologis.

Keluarga yang paling mesra, dalam kategori Faiz, disebut dengan keluarga yang hidup, yang menggairahkan (vitalized). Pada tingkat ini, hubungan berjalan dengan sangat baik. Ketika muncul masalah, ia dapat segera diselesaikan karena komunikasi yang lancar dan mudah dimengerti. 

Sedangkan pada keluarga harmonis (tingkat kedua), beberapa masalah yang ada tidak dapat diselesaikan. Namun, masalah-masalah tersebut tidak menjadi gangguan keromantisan antar anggota keluarga. 

Dalam hal membina rumah tangga, banyak teori dicetuskan agar harmoni keluarga dapat terjalin. Di antara teori tersebut adalah “kesalingan”. 

Sekilas Teori “Kesalingan”

Kesalingan adalah terjemahan Bahasa Indonesia dari teori mubaadalah. Salah satu cendikiawan Indonesia yang terkenal mengembangkan teori ini adalah Faqihuddin Abdul Kodir (Kang Faqih). Beliau aktif dalam pemberdayaan perempuan.

Untuk pemberdayaan tersebut, beliau juga mengerahkan banyak pikiran pada relasi gender, yang di antaranya adalah dengan teori mubaadalah. Hasil pemikiran beliau dapat terlihat pada beberapa karya tulis beliau, seperti Qira`ah Mubaadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, dan lainnya. 

Dalam Qira`ah Mubaadalah, Kang Faqih menjelaskan bahwa mubaadalah digunakan sebagai sebuah perspektif untuk melihat relasi tertentu antar dua pihak. Relasi tersebut mengandung nilai dan semangat kerja sama, kesalingan, timbal balik, dan lain sebagainya. 

Dengan mubaadalah, Kang Faqih mengkaji banyak teks normatif yang secara tekstual ditujukan pada salah satu gender. Teks tersebut kemudian dibaca secara terbalik. Umumnya, teks-teks normatif tersebut dijadikan dalil legitimasi kuasa laki-laki terhadap perempuan.  

Dalam bukunya Perempuan (bukan) Sumber Fitnah! misalnya, beliau menyoroti kata “laknat” pada pada hadis yang cukup terkenal berikut:

Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur (berhubungan seksual), tetapi si istri enggan (tidak mengindahkan) sehingga si suami tidur dalam keadaan marah, malaikat akan melaknatnya hingga waktu pagi tiba.” (HR. Bukhari-Muslim).

Sering ditemui dalam masyarakat bagaimana hadis di atas dijadikan landasan bagi hak seorang suami untuk mengajak istrinya kapan pun dia mau tanpa adanya bantahan dari si istri. Dengan alasan akan mendapat “laknat”, istri dipaksa untuk siap sedia melayani panggilan suaminya. 

Dengan pembacaan mubaadalah, Kang Faqih menyoroti kata “laknat (al-la’nah)” pada hadis di atas. Menurutnya, kata laknat pada dalil di atas bermakna jauh dari kasih sayang (al-rahmah). Sehingga, adanya penolakan dari si istri terhadap ajakan suaminya akan menjauhkan mereka dari kasih sayang. 

Dengan demikian, hadis di atas dapat dibaca secara terbalik. Misalnya, ketika yang mengajak untuk berhubungan seksual adalah si istri, dan suaminya menolak, maka ada kemungkinan laknat (menjauh/pudarnya kasih sayang) akan menimpa mereka. Sebab, baik laki-laki mau pun perempuan, keduanya memiliki hasrat seksual.

Kesalingan dalam Rumah Tangga 

Sebelumnya telah dicontohkan bagaimana kesalingan dapat digunakan sebagai perspektif dalam membaca dan memahami teks-teks normatif agama. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sikap “saling” dapat berperan penting dalam pembinaan rumah tangga. 

Keluarga yang harmonis sering dibangun atas dasar “saling”. Salah satu kesalingan yang penting dalam hal ini adalah “saling” membantu pekerjaan masing-masing. Umum ditemui dalam masyarakat, bahwa suami jarang membantu pekerjaan rumah yang dibebankan pada istri, terlebih bagi mereka yang bekerja seharian di luar rumah. 

Salah satu penyebab terbesar hal ini adalah adanya pemahaman bahwa pekerjaan rumah adalah tugas seorang istri. Padahal, menurut Quraish Shihab yang mengutip Ibnu Hazm, termasuk dari bagian nafkah yang menjadi kewajiban suami adalah memberikan makan yang siap disantap dan pakaian yang siap dipakai kepada anggota keluarganya. 

Membebankan tugas di rumah kepada istri boleh dilakukan, apalagi jika suami sibuk bekerja setiap hari untuk mencari rezeki. Akan tetapi, sangat baik dan penting bagi suami untuk membantu pekerjaan istri ketika mampu. Begitu pun sebaliknya. Baik untuk keharmonisan rumah tangga jika istri membantu pekerjaan suaminya. 

Membantu pekerjaan rumah sejatinya telah dicontohkan oleh teladan utama umat muslim, yaitu Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, diceritakan bahwa al-Aswad bin Yazid al-Nakha`i bertanya kepada Aisyah tentang bagaimana keseharian Nabi ketika bersama keluarganya. Aisyah pun menjawab, 

Beliau (Nabi Muhammad Saw) biasa membantu pekerjaan keluarga di rumah. Jika tiba waktu salat, beliau berdiri dan segera menuju salat.

Tak bisa dipungkiri betapa sibuknya Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang pemimpin agama dan negara. Akan tetapi, ketika memiliki waktu luang bersama keluarga, beliau tidak lantas bersantai seorang diri. Beliau justru membantu pekerjaan-pekerjaan rumah yang dapat dilakukan, seperti menjahit sendal dan menambal pakaiannya sendiri (sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam Ahmad). 

Selain “saling” membantu pekerjaan, “kesalingan” juga penting untuk diterapkan pada berbagai aspek lainnya. Antar anggota keluar dituntut untuk saling memahami, saling memberikan perhatian, saling berkasih sayang, saling jujur, saling menghilangkan egoisme, dan saling-saling lainnya. 

Dengan demikian, keharmonisan dalam rumah tangga dapat lebih mudah untuk dicapai. Sebab, rumah tangga dibangun atas dasar relasi yang setara (suami-istri, orangtua-anak), bukan kuasa (bos-bawahan, pemilik-pekerja).

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini