Bagi mereka yang sadar atau tanpa sadar terpengaruh oleh pemikiran sekularisme dan ateisme, sering beranggapan bahwa agama tak lebih dari sebuah pelarian bagi mereka yang frustasi dan gagal dalam persaingan hidup, baik dalam urusan politik dan ekonomi (Komaruddin Hidayat, Psikologi Agama).
Mereka yang merasa tertekan dan tidak mampu menghadapi kerasnya hidup yang dijalani, menjadikan agama sebagai “tempat bersembunyi”. Meskipun anggapan ini cukup populer di sebagian kalangan, tentu hal ini sangat menyederhanakan dan bahkan menyesatkan pemahaman tentang peran dan hakikat agama dalam kehidupan manusia.
Asumsi itu sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx, yang menyebut agama sebagai “opium rakyat”. Kutipan ini sering dipahami secara sepihak, seolah-olah agama hanya berfungsi sebagai penghibur atau candu yang meninabobokan masyarakat dari penderitaan.
Padahal, jika dicermati secara utuh, Marx juga mengakui bahwa agama adalah “desah napas dari makhluk yang tertindas, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa.” (Marx, A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right). Maksudnya, agama muncul sebagai respons atas realitas yang penuh penderitaan, namun Marx menilai solusi yang ditawarkan agama bersifat sementara dan ilusif.
Pandangan Marx ini tidak sepenuhnya tepat jika diterapkan pada realitas agama, khususnya Islam. Dalam tradisi Islam, agama bukan sekadar pelarian dari masalah, atau sebaliknya sebagai sumber masalah. Sebaliknya, agama adalah fondasi moral dan spiritual untuk menghadapi tantangan hidup.
Al-Quran secara tegas mengatakan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, tetapi bukan berarti manusia harus menghindari dunia. Allah berfirman, “Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal. (QS. Ghafir: 39). Al-Baidhowi mengomentari kata “متاع” dalam Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, “kenikmatan duniawi memang mudah dinikmati karena cepat menghilang.”
Islam juga menekankan pentingnya keterlibatan aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam literatur ekonomi Islam, ditegaskan bahwa tujuan politik ekonomi Islam adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu, serta menciptakan distribusi kekayaan yang adil (Aditama, Etika Distribusi Ekonomi Islam). Umat Islam didorong untuk bekerja keras, berusaha, dan berkontribusi bagi masyarakat. Pepatah mengatakan, “Dunia adalah ladang akhirat” (الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الآخِرَةِ). Ini berarti kehidupan dunia justru harus dimanfaatkan sebagai sarana meraih kebahagiaan abadi di akhirat.
Jika agama hanyalah pelarian semata, tentu dunia Islam tak akan melahirkan tokoh-tokoh besar dan beberapa gerakan sosial yang terinspirasi nilai-nilai agama. Sejarah berkata, berbagai perubahan sosial, kemanusiaan, dan juga keadilan dimulai dari semangat dalam memahami agama. Ini tentu semakin menegaskan posisi agama. Dengan agama, jiwa seseorang akan terus menyala, bukan menyerah pada keadaan.
Agama juga tidak mengajarkan eskapisme, yakni pelarian dari kenyataan menuju ilusi. Dalam filsafat, escapism berarti menghindar dari realitas dengan mencari hiburan semu. Namun, agama justru mengajak manusia untuk menghadapi kenyataan dengan sikap optimis dan penuh tanggung jawab. Pelarian yang sehat adalah upaya mencari kondisi yang lebih baik, bukan menghindar ke dunia khayalan. Dalam Al-Quran juga ditegaskan, “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya” (QS. Al-Baqarah: 257). Ini menunjukkan bahwa agama membawa manusia dari keputusasaan menuju harapan.
Memang harus diakui, sekularisme yang memisahkan agama dari urusan duniawi sering dianggap sebagai solusi rasional bagi kehidupan modern. Namun, pemisahan ini justru berpotensi menimbulkan kekosongan makna dan keterasingan dalam hidup. Buya Syafii Maarif dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (2015) menjelaskan, sekularisme mendorong manusia untuk hanya mengejar materi, sehingga mengabaikan dimensi spiritual yang sejatinya sangat penting bagi keseimbangan hidup.
Agama memang bukan jalan pelarian dari kekalahan atau kegagalan dalam hidup. Agama, khususnya Islam, merupakan sistem nilai yang membimbing manusia untuk menghadapi tantangan secara aktif, bermartabat, dan penuh makna. Agama menawarkan perspektif yang luas tentang tujuan hidup, serta menjadi sumber inspirasi dan kekuatan dalam membangun peradaban yang adil dan manusiawi. Pandangan yang mereduksi agama sebagai sekadar pelarian tidak hanya keliru secara konseptual, tetapi juga mengabaikan kontribusi besar agama dalam sejarah manusia.
Zaimul Asroor. M.A., Dosen IAI Khozinatul Ulum Blora dan Ustadz di Cariustadz.id
Tertarik mengundang ustadz Zaimul Asroor. M.A.? Silahkan klik disini