3 Budaya yang Wajib Dimiliki Masyarakat Muslim menurut Al-Quran

“Yang Hilang Dari Kita adalah Akhlak”, demikianlah renungan Quraish Shihab atas kondisi umat Muslim saat ini. Yang defisit dari kehidupan kita adalah akhlak. Lebih mirisnya lagi, berjuta konten di medsos cenderung tidak bernilai edukasi merebak sedemikian rupa dalam kehidupan sehari-hari. Dan ini mempengaruhi mindset anak-anak didik kita.

Moral yang dipraktikkan dan diajarkan oleh leluhur bangsa kita, kata Quraish Shihab, demikian juga yang diajarkan oleh agama, tidak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian kita. Ia telah hilang, padahal ia adalah milik kita yang paling berharga lagi sangat dihargai orang lain. Ada sesuatu yang hilang dari kita, terutama dari orang-orang yang mestinya menjadi teladan.

Betapapun jika kita berkata, “Yang hilang dari kita,” kata kita di sini bukan menunjuk pribadi (Anda atau Dia), tetapi menunjuk masyarakat kita sebagai Muslim atau sebagai bangsa atau sebagai umat manusia. “Umat Islam tidak mencerminkan ajaran Islam di tengah masyarakat”, ujar Quraish Shihab. Karena itu, umat Islam perlu memiliki tiga budaya atau kepribadian yang mencerminkan Islam itu sendiri sebagaimana yang diajarkan Al-Quran dan Nabi Muhammad saw.

Tanggungjawab

Budaya yang pertama ialah tanggung jawab. Seorang muslim tidak cukup hanya memiliki tanggung jawab beragama, melainkan mengemban tanggung jawab sosial. Tanggung jawab yang pertama biasa disebut hablun minallah, sedangkan yang kedua hablun minannas. Tanggung jawab yang kedua inilah yang ditekankan oleh Allah kepada manusia. Bahkan, dengan tegas Allah menyatakan “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Q.S. al-Mukminun: 115).

Pernyataan Allah ini ditegaskan juga oleh Nabi Muhammad saw dalam sebuah hadisnya,

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya” (HR al-Bukhari).

Hadis di atas menegaskan bahwa sejatinya setiap diri adalah seorang pemimpin, baik pemimpin publik maupun privat. Dan oleh karenanya, ia akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT. Dengan demikian, yang terpenting dalam kepemimpinan diri manusia bukan persoalan besar kecilnya tanggung jawab yang diembannya, akan tetapi seberapa kuat ia mampu menjalakannya dengan penuh amanah dan adil.

Rasa Bersalah

Budaya yang kedua ialah rasa bersalah. Salah satu tanda kedewasaan mental seseorang ditandai dengan adanya seberapa jauh ia memiliki perasaan bersalah. Emha Ainun Nadjib, budayawan sekaligus cendekiawan Muslim Indonesia, mengatakan, “orang yang punya komitmen terhadap kebenaran, akan dengan sendirinya bersikap blingsatan jika ia melakukan kesalahan atau apalagi ketidakbenaran, minimal ketidakbecusan. Semakin parah blingsatannya, semakin tercermin kedalaman komitmennya terhadap kebenaran”.

Maka output (keluaran) sikap merasa bersalah adalah ia akan meminta maaf terlebih dahulu tanpa diminta atau menunggu alat bukti rekaman CCTV, misalnya. Meminta maaf ini memang perkara sunnah, tapi memiliki derajat tinggi di sisi Allah karena ia menyadari betapa dirinya tidak bisa terbebas dari perbuatan salah dan khilaf. Hal seperti ini pula yang diajarkan Allah swt kepada Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa tatkala mereka berdua melakukan kesalahan dengan memakan buah khuldi, sebagaimana diabadikannya doa mereka dalam Al-Quran,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S. al-A’raf [7]: 23)

Ayat di atas, menurut mufasir kenamaan Indonesia, Quraish Shihab, adalah doa keduanya (Nabi Adam dan ibunda Hawa) sebagai rasa penyesalan yang amat begitu dalam. Keduanya berkata dengan penuh penyesalan: kami telah menganiaya diri kami sendiri akibat melanggar larangan-Mu. Kami menyesal dan memohon ampun. Jika engkau tidak menganugerahi kami pertaubatan tentulah kami akan terus menerus dalam kegelapan maksiat, dan jika Engkau tidak mengampuni kami, yakni menghapus apa yang kami lakukan dan memberi rahmat kepada kami dengan mengembalikan kami ke surga, niscaya demi keagungan-Mu pastilah kami termasuk kelompok orang-orang yang rugi.

Yang menarik dari ayat ini, Nabi Adam dan Siti Hawa totalitas dalam menyadari kesalahannya yang ditandai dengan redaksi penutup ayat ini, lanakunanna minal khasirin menunjukkan betapa dalam kesadaran dan penyesalan Adam dan Hawa as. Inilah nilai fundamental bagi seorang manusia apabila telah berbuat salah, hendaknya meminta maaf tanpa menunggu diseret terlebih dahulu di meja hijau.

Rasa Malu

Budaya yang ketiga adalah rasa malu. “Sesungguhnya rasa malu merupakan bagian dari iman”, demikian sabda Nabi saw. Memiliki sifat malu ini penting terlebih di era medsos. Hari-hari ini kita banyak disuguhkan budaya tidak tahu malu melakukan kesalahan secara terang-terangan. Bahkan sudah terbukti secara empirik, rekaman CCTV, rekening gendut hasil pencucian uang (money laundry), misalnya, masih tetap menyangkal dan membela diri dengan sejuta argumen yang hoax.

Rasa bersalah dan rasa malu adalah dua hal yang tak terpisahkan. Jika kita memiliki rasa malu, tetapi tidak mempunyai perasaan bersalah dalam diri sendiri, pastilah kita slintat-slintut (baca: sembunyi-sembunyi) alias munafik. Dan sebaliknya, jika kita memiliki rasa bersalah, tetapi tidak memiliki rasa malu yang ada hanyalah pengulangan atas kesalahan yang lalu, dalam istilah Jawa disebut kapok lombok (baca: kambuh kembali).

Baginda Nabi saw melukiskan rasa malu ini dengan redaksi sindiran untuk menyindir kepada mereka yang tidak tau malu, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda,

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عقبه بن عمرو الانصاري الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ، فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

“Diriwayatkan dari Abu Mas’ud Uqbah bin ‘Amr Al Anshari bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah diketahui oleh manusia dari pesan kenabian yang terdahulu: jika kamu tak punya malu, maka berbuatlah sesukamu.” (H.R. Al Bukhari)

Dari hadits di atas, Nabi saw secara eksplisit mengatakan jika kalian tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu. Artinya, Nabi sudah lepas tanggung jawab terhadap orang tersebut. Dalam arti, jatah syafaat-Nya kepada orang tersebut berpotensi hangus. Atau bisa ditafsirkan, jika tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu karena sesungguhnya kamu pasti menerima balasannya baik kembali kepada dirimu, keluargamu, maupun keturunanmu. 

Dalam riwayat yang lain disebutkan,

اَلْـحَيَاءُ وَاْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ

Artinya: Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” (H.R al-Hakim)

Maka, pertanyaannya kemudian, sifat malu yang seperti apakah yang harus dimiliki seorang muslim. Nabi saw mendefinisikannya sebagai berikut,

وَلَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَلِتَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآَخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذلكَ اِسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Bukan begitu, tetapi sesungguhnya malu kepada Allah adalah kalian menjaga akal dan pikiran, memelihara perut (dari hal yang diharamkan), serta senantiasa mengingat kematian. Orang yang mengharapkan akhirat akan meninggalkan gemerlapnya dunia, dan orang yang telah melampaui itu telah sungguh malu kepada Allah”.

Dalam Al-Quran disebutkan, indikator malu sebagaimana Allah tegaskan dalam ayat-Nya, “Katakanlah kepada orang yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (Q.S. al-Nur [24]: 30).

Mengutip Ahmad Fuad Effendy, pakar bahasa Arab dan cendekiawan Muslim Indonesia, ia mengatakan,

“Hendaklah kita mengembangkan rasa malu dalam diri kita. Malu kepada Allah ketika terbersit di dalam hati keinginan berbuat dosa apalagi melakukannya. Malu kepada sesama manusia ketika melakukan sesuatu yang tidak pantas menurut nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat. Malu kepada diri sendiri ketika melakukan sesuatu yang bertentangan dan dicela oleh hati nurani. Malu ketika tidak menjalankan tugas dengan baik padahal sudah dibayar mahal. Malu ketika tidak berkarya ilmiah padahal sudah memajang gelar-gelar akademik di depan dan di belakang namanya. Malu ketika membuat karya ilmiah asal-asalan sekadar memenuhi formalitas, sehingga tidak jelas kontribusinya terhadap pengembangan ilmu dan pencerdasan kehidupan masyarakat, padahal sudah didanai besar-besaran oleh negara dengan uang rakyat. Malu ketika masih berpikir dan bertindak menguntungkan diri sendiri ketika memegang jabatan atau kekuasaan, padahal sudah digaji besar oleh negara”.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini