Tertimpa Kelaparan dan Kehilangan Rasa Aman: Refleksi Surah Al-Quraisy dan Bencana Ekologis

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini. Yang telah memberi makan mereka setelah lapar dan memberi mereka rasa aman dari ketakutan. (Qs. Al-Quraisy’ 1-4)

Sudah hampir satu bulan pasca bencana ekologis yang meluluhlantakkan tiga provinsi di Pulau Sumatera, tak sedikit dampak yang dirasa. Ibu hamil yang tak mendapatkan akses pemeriksaan layak, ibu menyusui yang kelaparan namun harus ikut antri makanan, para balita dan anak-anak yang kehilangan tempat bermain, ribuan keluarga yang harus berjuang di pengungsian. Bencana ini—bukan saja merenggut fasilitas fisik namun juga menyisakkan kepedihan; korban yang tertimpa kelaparan dan kehilangan rasa aman.

Surah al-Quraisy di atas sesungguhnya merefleksikan lebih dalam bagaimana Al-Quran mendeskripsikan tentang dua kenikmatan (dasar) yang sangat dibutuhkan manusia yaitu nikmat ketersediaan pangan dan jaminan keamanan; dua hal yang tidak dirasakan saudara-saudara kita yang terdampak bencana ekologis di Sumatera.

Surat Al-Quraisy yang merupakan surat ke-106 dalam Al-Qur’an, terletak pada juz 30 dan berjumlah empat ayat. Mayoritas ulama menempatkan surat ini sebagai surat Makkiyah. Isi surat ini menyingkap berbagai karunia besar yang Allah limpahkan kepada suku Quraisy di Mekkah. Di dalamnya tergambar solidaritas dan ikatan kekeluargaan di antara mereka, serta suasana aman dan makmur yang timbul dari aktivitas perdagangan antara Yaman dan Syam. Bani Quraisy juga diberikan rasa aman di tanah suci mereka, sehingga dapat hidup tenang tanpa menghadapi konflik berkepanjangan. Pesan utama surat ini menegaskan pentingnya mensyukuri Tuhan yang telah menyediakan rezeki dan menjamin keselamatan mereka.

Surah ini diawali dengan huruf lam. Prof. Dr. M. Quraish Shihab menguraikan, para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan huruf lam pada awal surah ini. Ada yang mengaitkannya dengan kandungan ayat yang lalu, yakni Allah Swt. membinasakan tentara bergajah itu dan menjadikan mereka bagaikan daun-daun yang dimakan (ulat) adalah untuk menjamin kelancaran jalur perdagangan kaum Quraisy yang telah terbiasa melakukan perjalanan pada musim dingin dan panas. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Ubay Ibn Ka‘b. Namun sebagian ulama berpendapat, surah ini masih menjadi bagian surah sebelumnya (al-Fiil).

Kata اْيلٰف (îlâf) lanjut Quraish Shihab, terambil dari kata آلف (âlafa) dengan huruf hamzah (a) berganda. Asalnya adalah alifa yang dengan satu huruf hamzah (a). Kata ini antara lain berarti terbiasa, jinak, dan harmonis. Ar-Râghib al-Ashfahâni berpendapat bahwa kata tersebut mengandung makna keterkumpulan dalam harmonisme. Al-Biqâ‘i memahami Li Îlâf Quraysy dalam arti bahwa suku ini mewujudkan Îlâf, yakni pemahaman atas negeri mereka, yang kemudian melahirkan ketenangan mereka serta wibawa dan kekaguman yang bercampur dengan rasa takut orang lain terhadap mereka. Ini hanya bisa lahir jika mereka terlebih dahulu saling terbiasa jinak dan harmonis. Lalu, jika itu membuahkan keterbiasaan bersikap kagum dan hormat kepada tempat tinggal mereka, yakni di Makkah di mana terdapat Ka‘bah, dan mengundang untuk memelihara dan membelanya, kedudukan mereka akan sangat kuat dan akhirnya mereka menjadi terbiasa dengan hal-hal yang disebut di atas.

Masyarakat Makkah dikagumi dan ditakuti oleh masyarakat sekitarnya karena semua pihak mengagungkan Ka‘bah, sedang kaum Quraisy dengan berbagai cabang-cabang kesukuannya memegang tampuk tanggung jawab memelihara Ka‘bah, memenuhi kebutuhannya, serta kebutuhan pokok para peziarahnya. Karena itu, mereka memperoleh rasa aman, baik dalam tempat pemukiman mereka di Makkah maupun dalam perjalanan mereka ke luar kota. Penghormatan dan rasa kagum itu bertambah­ sejak dibinasakannya oleh Allah Swt. pasukan bergajah yang sengaja datang untuk merubuhkan Ka‘bah yang diurus oleh penduduk Makkah itu (suku Quraisy).

Kata قُرَيْش (quraysy) pada mulanya adalah gelar dari an-Nadhr Ibn Kinânah, yang merupakan kakek Nabi yang ketiga belas. Nabi Muhammad saw. adalah Ibn (putra) Abudullâh, Ibn Abdul Muththalib, Ibn Hâsyim, Ibn ‘Abd Manâf, Ibn Qushayy, Ibn Kilâb, Ibn Murrah, Ibn Ka‘b, Ibn Lu’ayy, Ibn Ghâlib Ibn Fihr, Ibn Mâlik, Ibn An-Nadhr Ibn Kinânah. Fihr dinamai juga Quraisy. Karena itu, ada juga yang berpendapat bahwa keturunan Fihr-lah yang dinamai Quraisy. Hampir semua—penduduk asli Makkah adalah keturunan Quraisy. Seperti sabta Nabi saw: “Sesungguhnya Allah telah memilih dari keturunan (Nabi) Ismâ‘îl, Kinânah, dan memilih Quraisy dari (keturunan) Kinânah, dan memilih Banî Hâsyim dari (keturunan) Quraisy, lalu memilih dari putra putri Hâsyim dari (keturunan) Quraisy, lalu memilihku dari Banî Hâsyim” (HR. Muslim).

Kata قُرَيْش (quraisy) terambil dari kata التّقرّش (at-taqarrusy) yang berarti keterhimpunan. Anggota suku ini tadinya berpencar-pencar, kemudian menyatu dalam bentuk yang sangat kukuh, sehingga mereka dikenal dengan gelar itu. Ada juga yang menyatakan bahwa kata ini terambil dari kata قرش (qarasya) yang berarti berusaha atau mencari. Suku ini terkenal sebagai pengusaha (pedagang) yang ulet dan mereka selalu mencari orang-orang yang butuh untuk mereka bantu. Pendapat lain menyatakan bahwa ia terambil dari kata قرش (qirsy), yakni ikan Hiu. Ikan ini sangat kuat, mengatasi ikan-ikan lainnya, bahkan dapat menjungkirbalikkan perahu-perahu dan menerkam manusia. Suku yang dibicarakan ini dinamai Quraisy untuk menggambarkan betapa kuat dan berpengaruh mereka. Apa pun asal katanya, yang jelas, sebagaimana tulis al-Biqâ‘i, kata ini mengandung makna keterhimpunan, kekuatan, dan kesucian dari hal-hal buruk. Penamaan suku itu demikian untuk memuji mereka dalam persatuan dan kekukuhan mereka serta sikap yang ditampakkan dalam perdagangan mereka

Sementara itu, kata رِحْلَةَ (rihlah) terambil dari kata رحل (rahala) yang berarti pergi ke tempat yang relatif jauh. Rihlah adalah kepergian atau perjalanan yang cukup jauh. Yang dimaksud adalah perjalanan dagang kaum Quraisy yang mereka lakukan dua kali setahun yaitu pada musim dingin dan musim panas. Perjalanan dagang ini dilakukan pertama kali oleh kakek Nabi saw., Hâsyim Ibn ‘Abd Manâf. Ini disebabkan—sebelum itu—apabila penduduk Makkah mengalami kesulitan pangan, pemimpin rumah tangga membawa keluarga mereka ke satu tempat tertentu dan membangun kemah buat mereka di sana untuk tinggal sampai mereka mati kelaparan. Ini mereka istilahkan dengan الإعتفار (al-i‘tifâr). Ketika itu, ada salah satu keluarga Banî Makhzûm yang bermaksud melakukan hal tersebut tetapi beritanya didengar oleh Hâsyim kakek Nabi saw. itu. Maka, beliau menyampaikan kepada suku Quraisy peristiwa tersebut dan meminta mereka bergotong royong untuk saling membantu. Dari sini kemudian mereka bersepakat untuk melakukan perjalanan dagang yang keuntungannya dibagi rata. Apa yang diperoleh si kaya diperoleh dalam kadar yang sama oleh yang miskin. Agaknya, sikap gotong royong inilah yang direstui Allah dan yang menjadikan perjalanan dagang itu diabadikan oleh surah ini.

Kebiasaan kaum Quraisy yang diabadikan dalam surah al-Quraisy ini memberikan kita pelajaran berharga tentang dua hal yang disebut oleh ayat terakhir surah ini—yaitu kesejahteraan yang dicapai dengan tersedianya pangan (pertumbuhan ekonomi) serta jaminan (stabilitas) keamanan—merupakan dua hal yang sangat penting bagi manusia dan hilang tatkala bencana melanda. Ketersediaan pangan, terlebih saat bencana, adalah cara agar korban bisa tetap bertahan, namun yang terjadi justeru sebaliknya; untuk mendapatkan makanan, para korban terdampak harus berjalan kaki berkilo-kilo meter, tanpa alas kaki dan mengantri panjang.

Ketersediaan pangan dan jaminan keamanan juga merupakan dua hal yang saling berkaitan. Pertumbuhan ekonomi melahirkan stabilitas keamanan dan stabilitas keamanan memicu pertumbuhan ekonomi. Demikian juga sebaliknya. Krisis keamanan menimbulkan kerawanan pangan dan kerawanan pangan menimbulkan gangguan keamanan. Dua hal tersebut menjadi hal yang patut disyukuri dengan beribadah kepada Allah Pemberi rasa aman serta Pencurah aneka rezeki. Kedua hal itu pula yang hingga kini dibutuhkan serta diusahakan oleh Pemerintah semua negara di dunia ini, betapapun pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi mereka.

Dalam konteks bencana Sumatera dan penolakan pemerintah terhadap uluran bantuan pangan dari negara lain, ini menjadi catatan yang sangat menyesakkan. Kenyataannya, ratusan ribu pengungsi kelaparan, rumah yang hancur porak poranda, tak sedikit pula korban yang masih terisolir jauh dari bantuan bahkan belum ditemukan. Semua ini terjadi akibat dosa ekologis; alih fungsi hutan menjadi kebun sawit dan deforestasi, dosa yang mungkin tak pernah dilakukan oleh masyarakat yang tinggal dikelilingi berhektar-hektar kebun kelapa sawit tapi merekalah yang kali pertama terdampak dan terhimpit.

Sepatutnya negara hadir untuk memenuhi—setidaknya apa yang disampaikan dalam surah ini; pemenuhan kebutuhan dasar makanan dan stabilitas keamanan. Mari terus bergerak dan berdampak, memberikan bantuan finansial, tenaga atau apapun yang kita bisa juga yang paling utama, mari langitkan doa bersama-sama untuk mereka yang terdampak bencana.

Dr. Ina Salmah Febriani, M.A., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Dr. Ina Salmah Febriani, M.A? Silahkan klik disini