Di antara bulan yang ditunggu dan disambut dengan suka cita oleh umat muslim adalah bulan syakban. Bulan kedelapan dalam kalender hijriah ini memiliki banyak keistimewaan. Kata Syakban itu sendiri memiliki beberapa makna yang menunjukkan kelebihannya, seperti al-ta’asysyub (terkumpulnya banyak kebaikan). al-syi’b (jalan kebaikan), dan al-sya’b (tambalan kebaikan).
Beberapa Keistimewaan Syakban
Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi di bulan Syakban dalam sejarah Islam awal, seperti turunnya ayat perintah bersalawat kepada Nabi Muhammad saw. (QS. al-Ahzab: 56), terjadinya pemindahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Kakbah. Selain itu, penyerahan amal ibadah umat manusia setiap tahun juga terjadi di bulan ini, tepatnya di pertengahan bulan (Nisfu Sya’baan).
Di bulan ini juga Nabi Muhammad saw. melakukan banyak puasa sunah. Aisyah radhiyallahu ‘anhaa menerangkan bahwa dirinya selalu melihat Nabi berpuasa di bulan Syakban. Dalam sebuah hadis Aisyah berkata,
“… Dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa di suatu bulan yang lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Syakban.” (HR. al-Bukhari).
Di sisi lain, ada nilai penting mengapa puasa sunah di bulan Syakban bernilai tinggi. Syakban adalah bulan terakhir sebelum Ramadan tiba. Berpuasa di bulan Syakban adalah salah satu cara latihan dan menyiapkan diri sebelum berpuasa penuh di bulan Ramadan. Selain itu, berpuasa di bulan tersebut juga menjadi bentuk penghormatan terhadap Ramadan.
Namun, penting untuk diingat bahwa seorang muslim, sebelum memasuki Ramadan yang akan datang, diwajibkan untuk menyelesaikan hutang-hutang puasa Ramadan yang telah lalu.
Mengganti (Qadha) Puasa Ramadan
Sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 183 bahwa setiap muslim yang telah mukalaf diwajibkan untuk melaksanakan puasa Ramadan. Setiap muslim dilarang untuk secara sengaja meninggalkan puasa tersebut tanpa adanya uzur atau alasan yang dibenarkan oleh syariat, seperti musafir, sakit parah, haid, dan lainnya.
Jika seorang mukalaf meninggalkan puasa Ramadan, maka ia diwajibkan untuk menggantinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 184 yang berbunyi,
… فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ
“… Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin…”
Jumhur ulama berpendapat bahwa mengganti puasa Ramadan dapat dilakukan kapan pun sebelum tiba Ramadan berikutnya. Artinya, qadha (mengganti) puasa boleh dilakukan segera setelah hari raya fitri selesai atau berlambat-lambat hingga bulan Syakban. Karenanya, umat muslim banyak yang melaksanakan puasa sunah terlebih dahulu, khususnya puasa enam di bulan Syawal, dibandingkan mengganti puasa Ramadan.
Empat mazhab ulama memiliki perbedaan pendapat terkait hal kebolehan melakukan puasa sunah sebelum mengganti ketertinggalan puasa Ramadan. Dalam kitab al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (jil. 28, hal: 100) dijelaskan bahwa mazhab Hanafiyah menyebut boleh melaksanakan puasa sunah sebelum mengganti puasa Ramadan.
Malikiyah dan Syafiyah berpendapat sama, bahwa kendati diperbolehkan melaksanakan puasa sunah sebelum mengganti puasa, hal itu disertai dengan kemakruhan (karaahah). Sedangkan mazhab Hanbali berpendapat bahwa haram berpuasa sunah sebelum mengganti puasa Ramadan, dan puasa sunahnya tidak sah.
Kewajiban Membayar Fidyah
Kewajiban, bagi orang yang belum selesai mengganti puasa Ramadan adalah membayar fidyah (gantian atau tebusan). Sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 184, fidyah diwajibkan “bagi orang yang berat melaksanakannya”. Dan, masih berdasarkan ayat yang sama, fidyah dibayarkan dengan cara memberi makan orang miskin.
Melansir dari instagram nu.online, ada tiga kategori orang yang disebutkan sebagai “yang berat melaksanakannya” sehingga diwajibkan membayar fidyah. Mereka adalah orang sakit yang tidak memiliki harapan untuk sembuh, orang yang tua renta, dan wanita hamil serta menyusui yang khawatir akan keselamatan bayinya.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai besaran fidyah. Mengutip dari baznas.go,id, mazhab Maliki dan Syafii berpendapat besaran fidyah yang wajib dibayarkan adalah 1 mud makanan pokok. Sedangkan bagi ulama Hanafiyah besaran fidyah adalah 2 mud.
Besaran tersebut adalah untuk satu hari ketertinggalan puasa. Artinya, setiap besaran fidyah dikali dengan jumlah puasa yang belum diganti. Misalnya, jika seseorang masih memiliki tujuh hari hutang puasa, maka ia wajib mengeluarkan 7 mud atau 14 mud menurut mazhab Hanafiyah. Besaran fidyah juga berkali lipat sesuai dengan jumlah tahun di mana seseorang belum mengganti puasa.
Dalam kitab Kanz al-Raaghibiin (jil. 1, hal: 467) Imam Jalaluddin al-Mahalli menerangkan jika seorang muslim belum mengganti puasa Ramadan yang ditinggalkannya hingga tiba Ramadan berikutnya disertai dengan uzur yang dibenarkan oleh syariat, maka ia tidak berdosa, seperti orang yang sakit parah atau orang tua renta. Akan tetapi, jika ia adalah seorang yang sehat dan tidak memiliki uzur, ia berdosa jika tidak mengganti puasa Ramadan hingga tiba Ramadan berikutnya.
Dengan demikian, setelah mengetahui hal ini, alangkah baiknya memanfaatkan Syakban untuk mengganti puasa Ramadan yang ditinggalkan sebelum Ramadan berikutnya tiba. Sebab, orang yang sengaja tidak mengganti puasa tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat akan mendapatkan dosa. Selain itu, dia juga diwajibkan untuk membayar fidyah.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini