Praktik Nikah Siri Haram dan Kemudharatan yang Ditimbulkan

Praktik nikah siri yakni menikah secara agama tanpa mencatatkan secara resmi ke negara belakangan kembali ramai diperbincangkan. Banyak orang memilih jalan ini dengan harapan cepat resmi secara agama, menghindari prosedur, atau karena alasan pribadi. Namun, posisi resmi terbaru dari MUI menyatakan bahwa meskipun nikah siri bisa sah secara agama, praktik ini diharamkan karena sangat berpotensi menimbulkan mudharat bagi perempuan dan anak. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Wakil Ketua Umum MUI, KH Cholil Nafis. 

Menurut KH Cholil, nikah siri yang diperbincangkan masyarakat biasanya yang memenuhi rukun nikah secara agama (wali, saksi, mahar, ijab Kabul) tetapi “tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA)” atau lembaga pencatatan resmi negara. Secara fikih, syarat itu cukup agar pernikahan dianggap sah. Namun, MUI menilai bahwa ketidakjelasan status hukum sangat berpotensi merugikan, terutama perempuan dan anak-anak. 

Islam menempatkan pernikahan sebagai ikatan serius dan perjanjian yang mulia, bukan sekadar akad semalaman. Firman Allah dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa pernikahan adalah perjanjian berat (mitsaqan ghalizha):

وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“Dan mereka (para istri) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisā’ 4:21)

Maksud ayat ini: akad nikah bukan perkara enteng. Ia mengandung tanggung jawab besar antara suami, istri, keturunan, dan hubungan dengan masyarakat. Bila status pernikahan tidak jelas secara sipil, maka tanggung jawab itu bisa sulit dijamin.

Rasulullah SAW juga pernah menegaskan pentingnya mengumumkan pernikahan, bukan menyembunyikannya. Beliau bersabda:

أَعْلِنُوا النِّكَاحَ

“Umumkanlah pernikahan.” (HR. Ahmad, no. 15522) 

Dengan kata lain, pernikahan seharusnya terang, bukan rahasia. Transparansi ini menjaga keadilan, keterbukaan, hak-hak perempuan dan anak, dan menghindari fitnah atau kerugian di masa depan.

Lalu, apa saja dampak nyata ketika menikah siri? Pertama, status anak bisa bermasalah. Tanpa buku nikah, pendaftaran akta lahir anak bisa sulit. Ketika dewasa, anak bisa kesulitan urusan administrasi, pendidikan, bahkan hukum waris. Istri pun bisa kehilangan perlindungan hukum: hak mut’ah, nafkah, iddah, waris, atau hak sosial lain bisa terabaikan. Inilah yang dikhawatirkan MUI sehingga menyatakan nikah siri haram karena “lebih banyak merugikan perempuan.”

Lebih jauh, nikah siri sering disalahgunakan sebagai cara diam-diam untuk poligami, tanpa kejelasan dan tanpa keadilan. Poligami rahasia seperti ini jauh dari tujuan pernikahan mulia yaitu mendirikan keluarga yang sah, aman, adil, dan berkah. Alam syariat menganjurkan transparansi dan keadilan, bukan rahasia.

Oleh karena itu, MUI dan para ulama mendorong masyarakat untuk memilih jalur resmi: menikah secara agama dan negara (mencatatkan akad di KUA) agar tercipta perlindungan penuh bagi suami, istri, dan keluarga. Melalui jalur resmi, hak-hak semua pihak bisa terjamin secara syariat dan sipil: waris, nafkah, status anak, dan kepastian hukum lainnya. 

Singkatnya: nikah siri mungkin sah dalam pandangan agama (fikih) bila memenuhi rukun, tetapi karena banyak mudharat dan ketidakpastian hak, MUI justru mengharamkannya. Pernikahan tidak cukup hanya di sisi agama — ia harus mendapatkan pengakuan negara agar membawa maslahat dan keadilan nyata.

Bagi siapa pun yang mempertimbangkan nikah siri: pikirkan matang-matang. Pastikan bahwa akad tidak hanya sah di mata Allah, tetapi juga sah secara hukum. Agar pernikahan menjadi awal membangun keluarga yang berkah, bukan sumber masalah di masa depan.

Maria Ulfah, S.Ag., Ustadzah di Cariustadz.id

Tertarik mengundang ustadz Maria Ulfah, S.Ag.? Silahkan klik disini