“Hari Ibu itu harusnya setiap hari, setiap waktu. Bukan setahun sekali.”
Kalimat di atas merupakan contoh dari sikap skiptisme mengenai sebuah perayaan yang umumnya dilakukan setiap tahun sekali. Kalimat senada biasanya juga diucapkan untuk beberapa perayaan lainnya, seperti maulid Nabi Muhammad Saw.
Kalimat tersebut bisa diartikan ke dalam beberapa makna. Ia bisa bermakna satire, sebuah sindiran bagi orang-orang yang hanya mengingat jasa orangtua, khususnya ibu, setahun sekali. Ia mengajak orang lain agar selalu mengingat jasa ibu setiap waktu. Di sisi lain, di antara pengucapnya ada yang memandang negatif terhadap peringatan yang terjadi setiap tahun sekali. Bahkan, ada pula yang menyatakannya sebagai sebuah bidah, seperti dijelaskan di website Almanhaj.
Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa manusia pada umumnya membutuhkan momentum. Dalam hal ini, seorang anak diajak untuk mengingat kembali jasa-jasa ibunya terhadap dirinya. Sehingga ditetapkanlah sebuah hari yang tepat untuk momentum tersebut.
Sejarah Hari Ibu di Indonesia
Mengutip dari UICI, peringatan Hari Ibu pertama kali ditetapkan pada era Presiden Soekarno, yaitu setiap tanggal 22 Desember, melalui Dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959. Penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Ibu merujuk pada Kongres Perempuan Indonesia I yang dilaksanakan pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, beberapa pekan setelah Kongres Pemuda II.
Peringat ini ditujukan juga untuk mengingat kembali jasa-jasa perempuan dalam perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Kongres Perempuan I di Yogyakarta tersebut dihadiri sekitar 30 organisasi wanita yang tersebar di Sumatera dan Jawa. Kongres tersebut bertujuan untuk mempersatukan cita-cita dan usaha memajukan wanita Indonesia.
Dalam perkembangannya, beragam cara dilakukan untuk menyemarakkan peringatan Hari Ibu. Yang paling umum, sebagai sebuah ekspresi rasa terima kasih kepada ibu, anak membebastugaskan ibunya dari pekerjaan sehari-hari. Pekerjaan memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan lain sebagainya diambil alih oleh anak-anak, sedangkan ibunya dipaksa untuk beristirahat.
Pribahasa tentang Sosok Ibu
Tumbuh kembang seorang anak sangat dipengaruhi oleh kedua orangtuanya, khususnya ibu. Sejak di dalam kandungan, kesehatan bayi dipengaruhi oleh pola hidup ibunya, nutrisinya, tingkat stressnya, dan lain sebagainya. Hingga si bayi lahir, ibu tetap menjadi orang yang paling berpengaruh dalam kehidupannya.
Kepribadian seorang ibu akan berdampak banyak terhadap karakter seorang anak. Sebagai contoh, mengutip dari halodoc, seorang ibu yang pemarah dan suka membentak ketika menegur si buah hati akan menjadikan si anak pribadi yang merasa rendah diri, tertutup, pemberontak, dan emosial. Karena itu, sangat penting untuk memberikan pendidikan yang cukup bagi perempuan terkait parenting, baik sebelum mau pun sesudah melahirkan (memiliki anak).
Terkait pembentukan pribadi calon ibu, ada sebuah pepatah Arab yang sangat terkenal, yaitu:
“Ibu adalah sekolah utama. Bila engkau mempersiapkannya (dengan baik), maka engkau telah mempersiapkan sebuah generasi terbaik.”
Senada dengan pepatah di atas, Brigham Young, mantan Gubernur Wilayah Utah, Amerika Serikat, pernah mengucapkan:
“You educate a man; you educate a man. You educate a woman; you educate a generation (Kau mendidik seorang laki-laki, berarti hanya mendidik satu orang. Kau mendidik seorang perempuan, berarti kau mendidik sebuah generasi).”
Penghargaan Islam terhadap Ibu
Mencintai, menghormati, berbakti, dan perbuatan baiknya lainnya merupakan sebuah kewajiban bagi seorang anak terhadap orangtuanya. Al-Qur’an secara tegas menyebutkan bahwa meskipun orangtua mengajak pada kesyirikan, berbuat baik kepada mereka di dunia tetaplah harus dilaksanakan (QS. Luqman[31]: 14-15), mengingat besarnya jasa yang telah mereka berikan untuk anaknya.
Pada surah Luqman ayat 14 dan surah al-Ahqaf ayat 15 disebutkan secara khusus bagaimana beratnya perjuangan seorang ibu. Sembilan bulan ia mengandung, membawa beban ke mana saja tanpa dapat ditinggalkan walau hanya sejenak. Setelah melahirkan, ibu juga menyusui anak hingga usia dua tahun.
Banyak cerita dalam hadis Nabi mengenai kemulian seorang ibu. Di antara hadis yang paling terkenal dalam masalah ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
“Abu Hurairah berkata, ‘Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw. dan bertanya, “Wahai Rasulullah! Siapa orang yang paling berhak atas kebaikan (kebaktian)ku?” Rasulullah menjawab, “Ibumu!.” Dia bertanya lagi, “kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu!” Dia bertanya lagi, “kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ibumu!” Dia bertanya lagi, “kemudian siapa?” Beliau menjawab, “Ayahmu!”
Pada hadis di atas, Nabi menyebutkan tiga kali kebaikan untuk seorang ibu, berbanding satu kali atas seorang ayah. Tiga kali penyebutan itu merupakan balasan atas jasa seorang ibu yang telah melewati tiga fase yang sangat berat dalam mempertahankan kehidupan anaknya, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui (Manaar al-Qaarii Syarh Mukhyashar Shahiih al-Bukhaarii, jil. 5, hal. 241).
Pada hadis lain, Nabi Muhammad Saw menyebut bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu. Imam al-Nasa’i meriwayatkan bahwa suatu ketika ada seorang sahabat, yaitu Jahimah, menemui Nabi dan menyatakan keinginannya untuk berperang. Ketika Nabi mengetahui bahwa Jahimah masih memiliki seorang ibu, beliau berkata kepadanya, “Tinggallah bersama dia (ibumu). Karena, sungguh surga berada di bawah kakinya.” (HR. al-Nasa’i, no. 3104).
Terhadapa jasa seorang ibu, Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata,
“Jangan gunakan kefasihan bicaramu di hadapan ibumu (mendebatnya) yang dahulu mengajarimu bicara.”
Maka dari itu, marilah kita kenang jasa-jasa ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, mendidik, dan menjaga tumbuh-kembang kita. Mari kita balas jasa-jasanya dengan balasan terbaik yang kita bisa berikan. Selamat Hari Ibu.
Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini