Perbedaan – baik secara biologis maupun sosiologis – adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Perbedaan bisa dikatakan sebagai aspek yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, perbedaan mestinya disikapi secara proporsional, karena perbedaan adalah rahmat yang harus disyukuri.
Secara teologis, Islam melalui Al-Qur’an secara eksplisit menyatakan bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Maksudnya, perbedaan telah menjadi ketentuan yang digariskan oleh Allah Swt. bagi manusia. Ini telah ditegaskan oleh Allah Swt. dalam surah al-Hujurat ayat 13 yang berisi tentang kesamaan dan keragaman manusia. Firman-Nya:
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti (QS. Al-Hujurat ayat 13).
Surah al-Hujurat ayat 13 di atas secara umum berbicara bahwa pada dasarnya manusia memiliki perbedaan satu sama lain. Ini dimulai dari jenis kelamin yang terdiri laki-laki dan perempuan hingga ras, bangsa, dan etnis yang berbeda. Namun itu semua tidak menjadikan salah satu kelompok lebih baik daripada kelompok yang lain, karena nilai seseorang ditentukan oleh keimanannya.
Ibnu ‘Athiyyah menyatakan bahwa surah al-Hujurat ayat 13 bermaksud menyatakan kesamaan dan kesetaraan manusia (al-taswiyah bain al-nas). Oleh karena itu, segala macam wujud keragaman yang ada tidak selayaknya dijadikan sebagai alat untuk menyombongkan diri, melainkan menjadi sarana untuk saling mengenal satu sama lain (Tafsir Ibnu ‘Athiyyah [5]: 152).
Imam al-Suyuthi mengatakan surah al-Hujurat ayat 13 mengajarkan orang beriman untuk menyadari bahwa sesungguhnya seluruh manusia memiliki asal-usul yang sama lalu menjadi kelompok-kelompok yang beragam. Perbedaan atau keragaman ini bertujuan agar mereka saling mengenal satu sama lain, bukan untuk saling menyombongkan diri (Tafsir Jalalain: 687).
Pandangan senada disampaikan oleh Muhammad Izzah Darwazah. Menurutnya, pada surah al-Hujurat ayat 13 Allah Swt. menginformasikan kepada manusia bahwa mereka diciptakan dengan keserupaan dan perbedaan. Letak perbedaan di sini adalah keragaman suku dan bangsa yang bertujuan agar mereka saling mengenal satu sama lain, bukan untuk kesombongan (Tafsir al-Hadis [8]: 521).
Perbedaan tidak semestinya dimaknai sebagai keunggulan suatu golongan atas golongan lain, karena manusia sebagai makhluk dengan segala kekurangannya tidak berhak untuk sombong. Di samping itu, barometer keutamaan seseorang di sisi Allah Swt. bukanlah golongan atau keturunan, melainkan ketakwaan yang dimiliki masing-masing insan.
Ketakwaan seseorang dapat dilihat dari dua aspek, yakni keimanan kepada Allah Swt. dan implementasi keimanan tersebut dalam wujud kebaikan (al-iman wa al-amal al-shalih). Artinya, ketakwaan adalah ketika seseorang menyatakan diri beriman kepada Allah Swt. dan melaksanakan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
Berkenaan dengan perbedaan, Prof. Quraish Shihab, menegaskan bahwa Al-Qur’an sejatinya menampung aneka perbedaan. Perbedaan adalah keniscayaan Tuhan. “Bahkan saya selalu berkata baik dalam ucapan maupun tulisan: Tuhan mau kita berbeda. Alam raya berbeda, tumbuhan berbeda, manusia berbeda, pendapat berbeda.”
Dalam konteks perbedaan, Prof. Quiraish Shihab menegaskan pentingnya kesatuan agar tidak menjadi orang yang mudah diprovokasi. Ia mengatakan bahwa manusia harus bisa menjadi satu kesatuan. “Harus merasa bahwa kehidupan ini harus dipikul bersama. Hati harus bersih. Banyak jalan menuju ke Roma. Itu kita bisa bertemu,” jelas pendiri Pusat Studi Al-Quran tersebut.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan adalah suatu keniscayaan atau sunnatullah. Oleh karena itu, seorang muslim harus menyikapi perbedaan sebijaksana mungkin. Ia tidak boleh merasa unggul atau sombong karena perbedaan yang ada. Sebaliknya, ia semestinya menjadikan perbedaan tersebut sebagai sarana saling mengenal dan saling melengkapi satu sama lain.
Kemudian, manakala terjadi gesekan atau konflik yang diakibatkan oleh kesalahpahaman dalam menyikapi perbedaan, maka seorang muslim harus menjadi garda terdepan untuk mendamaikan konflik tersebut. Sebab, pada hakikatnya seorang muslim adalah orang yang cinta damai dan senantiasa mendamaikan (al-islam huwa salam).
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini