Musibah dalam Pandangan Al-Qur’an: Antara Ujian, Nikmat, dan Teguran Ilahi

Sebagian besar manusia mengira bahwa musibah hanyalah hal buruk bencana, kehilangan, penyakit, atau penderitaan. Padahal, dalam pandangan Al-Qur’an, kata musibah memiliki makna yang jauh lebih luas dan netral. Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Ḥadīd [57]: 22, 

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah.” Ayat ini menegaskan bahwa segala peristiwa yang menimpa manusia baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan semuanya berada di bawah kehendak Allah sebagai bagian dari sistem takdir-Nya.

Menurut Al-Rāghib al-Aṣfahānī dalam Mufradāt Alfādẓh al-Qur’ān, musibah berasal dari akar kata aṣhāba yang berarti ‘menimpa sesuatu dengan tepat’. Artinya, musibah bukan sekadar bencana, melainkan setiap ketentuan yang menimpa manusia, baik berupa nikmat maupun ujian. Pemaknaan ini diperkuat oleh Imam al-Qurṭubi, yang menjelaskan bahwa semua yang menimpa manusia, besar atau kecil disebut musibah karena terjadi atas kehendak Allah. Maka, musibah sejatinya adalah tanda bahwa Allah masih menata hidup hamba-Nya, bukan sekadar bentuk kemalangan.

Ibn Katsir menafsirkan ayat ini dengan menekankan aspek ketenangan iman. Seorang mukmin, katanya, tidak akan panik terhadap musibah yang menimpa, karena semuanya sudah tercatat dalam Lauh al-Mahfūzh. Bahkan, dalam pandangan tauhid, musibah adalah bagian dari ujian keimanan yang mengandung hikmah tersembunyi. Kadang Allah menguji dengan kehilangan agar hamba-Nya belajar bersabar, dan kadang menguji dengan nikmat agar hamba-Nya belajar bersyukur. Keduanya adalah musibah dalam arti luas karena sama-sama ‘menimpa’ dan menuntut respon spiritual.

Sayyid Qutb dalam Fi Dzhilāl al-Qur’ān menambahkan, bahwa pemahaman musibah yang benar akan melahirkan keseimbangan jiwa. Orang yang beriman tidak akan berlebihan dalam kesedihan saat diuji, dan tidak pula sombong saat diberi keberhasilan. Kesadaran bahwa setiap hal sudah dalam rencana Allah membentuk ketenangan batin dan sikap proporsional terhadap dunia. Dengan begitu, musibah justru menjadi pendidik spiritual yang menumbuhkan kedewasaan iman.

Dengan demikian, musibah dalam pandangan Al-Qur’an bukan semata-mata peristiwa buruk, melainkan pertemuan antara ujian, nikmat, dan teguran ilahi. Al-Qur’an menyatakan QS. An-Nisā’: 79

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ

“Apa saja kebaikan (ḥasanah) yang menimpamu, maka itu dari Allah; dan apa saja keburukan (sayyi’ah) yang menimpamu, maka itu dari dirimu sendiri.”

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa “aṣhābaka” (menimpamu) bisa dalam konteks nikmat (ḥasanah) juga. Jadi, “musibah” tidak selalu buruk pada mulanya. Ketika manusia hanya memandang musibah dari sisi penderitaan, ia kehilangan kesempatan untuk menemukan hikmah dan pertumbuhan. QS. Al-Ḥadīd ayat 22 mengajak kita untuk beriman dengan cara pandang yang lebih dalam: bahwa segala yang menimpa, apa pun bentuknya, adalah pesan lembut dari Allah agar kita kembali, bersyukur, dan berbenah diri.