Merenungi Tanda-Tanda Kebesaran Allah Swt lewat Isyarat Kauniyah

“Sungguh, pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang mukmin. Dan pada penciptaan dirimu dan pada makhluk bergerak yang bernyawa yang bertebaran (di bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dengan (air hujan) itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering); dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berakal.” (Q.S al-Jatsiyah/ 45: 3-5).

Dalam ribuan ayat yang tersebar di al-Quran, ada ayat yang berisi syari’ah, ibadah, ada pula ayat yang berisi tanda-tanda alam (kauniyah). Ayat-ayat tentang penciptaan alam, manusia, serta makhluk hidup yang ada di seluruh persada bumi ini mengajarkan manusia untuk lebih sadar bahwa manusia adalah makhluk yang tidak banyak tahu bahkan hakikat dirinya sendiri yang banyak teka-teki.Termasuk tiga ayat pembuka tulisan ini, memberikan isyarat yang begitu indah mengenai isyarat kauniyah.

Surah di atas dinamakan al-Jatsiyah (yang bertekuk lutut) sebagai satu-satunya kata yang disebutkan dalam surah ini, bahkan satu-satunya dalam al-Quran. Surah ini juga dinamakan ad-Dahr karena ada lafadz ad-Dahr pada salah satu ayatnya, sedang kata tersebut (ad-Dahr) tidak ditemukan pada surah-surah yang dimulai dengan lafadz ha mim. Tujuan utama surah al-Jatsiyah adalah tantangan terhadap mereka yang meragukan al-Quran, pembuktian tentang keesaan Allah, dahsyatnya kejadian hari kiamat, dan dibuka oleh tiga ayat di atas, sebagai nasihat sekaligus pengingat.

Pertama, penciptaan langit dan bumi disebutkan lebih dulu dari penciptaan makhluk (daabbah), karena hanya Allah saja yang Maha Mengetahui hakikat langit dan bumi, apa yang ada di dalamnya, apa yang tersembunyi, yang masuk, berkurang, tumbuh, intinya, dengan segala keterbatasan ilmu dan tenaga manusia, tidak ada satupun yang mampu menjelaskan secara detail unsur-unsur penting dan dua ciptaan Allah yang Maha Luar Biasa ini.

Kedua, pada ayat 4, Allah menyebutkan (sekaligus meminta kita berpikir) atas penciptaan diri kita sendiri; bagaimana sistem kerja tubuh bekerja sempurna atas izin dan kuasa Allah. Meski unsur kejadian manusia terambil dari bumi, tetapi manusia tidak hanya tercipta dari unsur itu. Ada sesuatu penting, yang tidak terdapat pada langit dan bumi, hanya Allah (pula) yang mengetahui hakikatnya. Apakah itu? Ia adalah ruh. Sesuatu yang juga dipertanyakan oleh orang-orang Yahudi Madinah pada Rasulullah, semntara Rasul hanya menjawab,“Ruh adalah urusan Allah. Dan tiadalah kamu diberikan ilmu (untuk mengetahuinya) kecuali sangat sedikit,”(Q.S al-Isra/ 85). Karenanya, karena keterbatasan manusia dalam mencapai unsur‘ruh’ini, Rasulullah enggan membahasnya lebih jauh karena pengetahuan manusia sangat sedikit untuk mencapainya. Demikian pula, jika unsur jasmani manusia mengalami kematian dan kehancuran, maka tidak demikian dengan ruh.

Jika kita amati rangkaian lafadz pada ayat 3-5 di atas, Allah terlebih dulu menyebut mu’minun (orang mukmin/ percaya). Kedua, Allah menyebut lafadz yuqinun (orang-orang yang yakin) yakni kepercayaan yang tidak lagi disertai keraguan. Ketiga, lafadz ya’qilun yakni secara harfiah berakal. Lafadz ketiga ini secara khusus memiliki arti penggunaan daya pikir serta kesadaran moral sehingga terpelihara dari kesesatan dan kedurhakaan pada Allah, Sang Pencipta Alam Semesta. Dengan demikian, tahap pertama masih seputar ‘iman’ yang seringkali batin masih mempertanyakan tanda-tanda yang terhampar di alam raya hingga lafadz akhir ayat 4 dan 5 keimanan makin mantap dengan penggunaan lafadz yuqinun (yakin) dan ya’qilun (berakal). Karenanya, tanda keimanan seseorang ialah ketika ia meyakini bahwa ayat-ayat (tanda) yang Allah ‘suguhkan’ di alam raya. Maka, dengan iman dan keyakinan itulah, manusia menggunakan daya pikir, ilmu, kemampuan intelektual untuk terus mencari tau jawaban-jawaban atas semua tanda yang Allah hamparkan.

Berbicara mengenai ayat kauniyah, apa sebenarnya makna kedua kata ini? Dalam Al-Mu`jam Al-Wasith kata ayat terkadang bermakna alamat yang berarti tanda, kadang bermakna ibrah yang berarti pelajaran, dan kadang bermakna mu`jizat yang berarti mukjizat. Sedangkan kata kaun sendiri dalam kitab tersebut musytaq dari kata kna-yaknu bisa bermakna al-wujud al-mutlaq al-`am (yang berarti sesuatu yang nampak dan ada. Sehingga jadilah istilah ayat kauniyah yang apabila diartikan secara harfiyah berdasarkan makna masing-masing kata tersebut menjadi tanda-tanda yang berbicara tentang segala hal yang nampak dan bisa dirasakan oleh panca indera.

Ayat-ayat kauniyah ini pun cukup banyak disebutkan dalam al-Qur’an, misalnya air disebutkan sebanyak 44 kali, buah-buahan 69 kali, angin 26 kali, binatang 20 kali, alam langit dan bumi delapan kali, hujan 15 kali, waktu 16 kali, bilangan dan angka-angka 10 kali,  api 13 kali, dan awan 10 kali. Penyebutan ayat-ayat kauniyah ini mengisyaratkan setidaknya tiga hal. Pertama, agar manusia mengetahui (level kognitif)  adanya  penciptaan benda-benda langit dan apapun yang terhampa di bumi tidak tiba-tiba terjadi dengan sendirinya. Ada Zat Yang Maha Kuasa yang menciptakan, mengaturnya dengan sempurna.

Kedua, tidak cukup hanya sekedar tahu saja (berhenti di level kognitif), maka penciptaan alam raya bahkan hakikat diri manusia itu sendiri yang berada di bawah kendali dan kuasa Tuhan, hendaknya membuahkan ‘iman’. Rasa percaya adanya Tuhan dan kemahakuasaan-Nya atas apa yang ia lihat di langit dan di bumi.

Ketiga, setelah tahu dan meyakini, level tertinggi ialah apa yang Allah sebutkan di penghujung surah ali-Imran/3: 190-191, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “ Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilaa— ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan satu makhlukpun di langit juga di bumi dengan sia-sia. Semoga kami termasuk hamba-Mu yang mampu mendayagunakan akal dengan maksimal, tidak hanya merasa cukup di level kognitif; tapi juga senantiasa sadar mengingat Allah dan segenap ciptaan-Nya dengan turut menjaga kelestarian alam semesta. Aamiin..

Dr. Ina Salma Febriany, M.A, Ustadzah di Cariustadz.id