Kisah Rasulullah Menolak Permintaan Jabatan Abu Dzar

Sepanjang sejarah umat manusia, kita sering membaca kisah manusia berlomba-lomba mengejar jabatan. Jabatan sering dianggap sebagai simbol kehormatan, sumber kekayaan, hingga jalan pintas menuju pengaruh sosial. Padahal, dalam Islam, jabatan bukanlah sekadar kedudukan yang membawa gengsi, melainkan sebuah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah.

Rasulullah Saw, teladan agung umat Islam, memberikan pengajaran yang sangat berharga tentang kepemimpinan. Salah satu kisah yang penting dicermati adalah penolakan beliau terhadap permintaan jabatan yang diajukan oleh Abu Dzar al-Ghifari, salah seorang sahabat yang terkenal karena sifat zuhud dan kejujurannya. 

Kisah Abu Dzar bukan sekadar peristiwa sejarah, tetapi juga cermin yang selalu relevan untuk menilai ulang bagaimana kita memandang jabatan dan kepemimpinan di sepanjang sejarah umat manusia. 

Kisah Abu Dzar al-Ghifari Meminta Jabatan

Imam Muslim dalam kitab Sahihnya meriwayatkan sebuah hadis:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: ” قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي، قَالَ: فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ، قَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ: إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

Abu Dzar berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pegawai (memberi jabatan)?” Lalu beliau menepuk pundakku seraya bersabda:

Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, sedangkan kepemimpinan adalah sebuah amanah. Dan kepemimpinan itu pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil haknya dan menunaikan kewajiban yang ada padanya.” 

Jawaban Nabi yang singkat ini sarat dengan pesan mendalam. Rasulullah tidak sekadar menolak permintaan salah seorang sahabatnya yang terbaik, tetapi sekaligus menegaskan prinsip dasar kepemimpinan dalam Islam: jabatan adalah amanah dan ujian, bukan sekadar kehormatan. 

Amanah Adalah Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam Islam dipandang sebagai amanah, sebuah titipan yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan. Seorang pemimpin tidak hanya mengatur urusan dunia, tetapi juga memikul tanggung jawab di hadapan Allah kelak atas setiap kebijakan, keputusan, dan nasib orang-orang yang dipimpinnya. 

Tentang amanah, Allah Swt telah menjelaskan melalui firman-Nya dalam dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 72:

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.”

Ayat ini menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang begitu berat, sampai-sampai gunung yang kokoh pun menolaknya. Tetapi, manusia dengan segala kelemahannya justru berani memikulnya, sering kali bukan karena kesiapan, melaikan karena kesombongan dan ambisi. 

Inilah yang menjadikan jabatan penuh resiko: bila dijalankan tanpa kesadaran dan tanggung jawab, ia akan berbuah kehancuran bagi kepemimpinan itu sendiri dan yang orang-orang yang dipimpinnya. 

Tentang kisah Abu Dzar al-Ghifari di atas, Imam al-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim (jil. 12, hlm. 210) menjelaskan bahwa hadis di atas merupakan dalil yang kuat agar menjauhi kepemimpinan, khususnya bagi mereka yang lemah untuk menjalankan tugas-tugas kepemimpinan. Kehinaan dan penyesalan akan dirasakan bagi seorang pemimpin yang sejatinya tidak cakap, atau bagi mereka yang sejatinya cakap tetapi tidak adil dalam memimpin. 

Mengapa Abu Dzar Ditolak?

Abu Dzar al-Ghifari adalah salah seorang sahabat yang terkenal akan sifat zuhud. Beliau juga seorang yang tegas dalam membela kebenaran serta selalu bersikap jujur tanpa kompromi. Aslah dan Yunia, dalam artikel jurnalnya, menjelaskan konsep kezuhudan yang dianut oleh Abu Dzar:

Pertama, kesederhanaan ekstrem. Abu Dzar menolak segala kemewahan dan kekayaan duniawi dan memilih hidup sangat sederhana. Kedua, penolakan terhadap kekayaan. Abu Dzar meyakini bahwa kekayaan dapat menghambat bahkan menghalangi seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ketiga, penerapan kezuhudan dalam kehidupan sehari-hari. Beliau menggunakan sebagian besar waktunya untuk beribadah, menghindari segala perkara duniawi yang dapat mengganggu fokus ibadahnya. 

Rasulullah Saw mengerti karakter setiap sahabatnya. Beliau tahu bahwa Abu Dzar memiliki kelemahan dalam hal manajerial dan diplomasi, serta cenderung keras dalam pandangan sosialnya. Sifat-sifat ini dapat menimbulkan kesulitan bila ia memegang kekuasaan yang menuntut keluwesan, strategi, dan kesabaran dalam menghadapi keragaman masyarakat. 

Dari sini kita dapat belajar bahwa kesalehan pribadi saja tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin yang bijaksana. Kepemimpinan membutuhkan kombinasi antara iman, akhlak, dan keterampilan mengelola manusia yang beragam serta membangun sistem yang baik. 

Refleksi untuk Zaman Sekarang

Kisah Abu Dzar dan Rasulullah di atas terasa sangat relevan dengan kondisi hari ini. Kita sering melihat bagaimana jabatan sering dikejar dengan segala cara, seolah-olah ia adalah tujuan hidup. Banyak yang mencalonkan diri sebagai pemimpin bukan karena merasa mampu dan benar-benar siap, tetapi karena tergoda oleh kemuliaan dan keuntungan duniawi yang melekat pada jabatan. 

Padahal Islam justru memperingatkan agar tidak meminta jabatan. Dalam hadis lain Rasulullah bersabda:

Abdurrahman bin Samurah berkata, “Rasulullah berkata kepadaku:”

Wahai Abdurrahman! Janganlah meminta kepemimpinan. Sebab, jika engkau memimpin karena engkau memintanya, engkat akan dibiarkan (sendiri menanggungnya). Namun, jika kepemimpinan diberikan kepadamu tanpa engkau meminta, engkau akan dibantu (oleh Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Prinsip ini menunjukkan bahwa kepemimpinan seharusnya dipandang sebagai amanah yang harus dipikul dengan kerendahan hati, bukan ambisi. Pemimpin sejati adalah orang yang dipilih karena kapasitasnya dalam memimpin, bukan karena ‘merasa mampu’ yang dilandasi oleh ambisi pribadi semata. 

Bagi masyarakat, kisah ini dapat menjadi teladan dan pengingat agar tidak sembarangan dalam memberikan kepercayaan terhadap pemimpin, apalagi jika yang dipilih telah memiliki catatan kepemimpinan yang tidak memuaskan. Kepemimpinan harus diserahkan kepada orang yang benar-benar layak: amanah, kompeten, berorientasi pada keadilan dan kemaslahatan, serta takut akan Allah Swt.

Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang Taufik Kurahman, S.Ag., M.Ag.? Silakan Klik disini