Menahan Diri Sebagai Hakikat Puasa

Kesadaran utama dalam kehidupan adalah kesadaran untuk menahan diri atau mengendalikan diri. Menahan diri dari setiap yang mampu ia luapkan, tetapi ia mengendalikannya, termasuk emosi, kekuasaan, dan semacamnya. Perang terbesar dalam hidup ini, kata Nabi saw, adalah memerangi hawa nafsu. Sabda Nabi saw tak kurang dari 1500 tahun silam membuktikan betapa kesulitan yang dialami manusia adalah mengendalikan nafsu.

Karena itu, yang paling substantif dan harus diurus oleh manusia modern kini bukanlah kebebasan, melainkan batas-batas. Dengan kata lain, pelajaran utama tentang kehidupan sebenarnya adalah bagaimana menyadari dan mengarifi akan batas-batas tersebut. Itulah yang disebut dalam Surah Al-Baqarah ayat 183, Allah berkata, “Aku wajibkan kamu atas puasa agar kamu bertakwa”.

Menahan Diri: Intisari Puasa

Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab mengatakan intisari dari puasa adalah al-shiyam, menahan diri. Menahan diri dibutuhkan oleh setiap orang, baik kaya atau miskin, muda atau tua, akademisi atau praktisi, politisi, lelaki atau perempuan, sehat atau sakit, orang modern yang hidup masa kini, maupun manusia primitif yang hidup masa lalu, bahkan perorangan atau kelompok, semuanya terkena kewajiban berpuasa. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban yang dibebankan itu adalah, sebagaimana telah diwajibkan pula atas umat-umat terdahulu sebelum kamu.

Jika kita tarik dalam perspektif lintas agama, sebagaimana keterangan Quraish Shihab, dalam ajaran Budha pun dikenal puasa, sejak terbit sampai terbenamnya matahari. Mereka melakukan puasa empat hari dalam sebulan. Mereka menamainya uposatha, pada hari-hari pertama kesembilan, kelima belas dan kedua puluh.

Orang Yahudi mengenal puasa selama empat puluh hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut-penganut agama ini, khususnya untuk mengenang para nabi atau peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah mereka. Agama Kristen juga demikian. Walaupun dalam kitab Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktek keberagamaan mereka dikenal aneka ragam puasa yang ditetapkan oleh pemuka-pemuka agama.

Kewajiban tersebut dimaksudkan agar kamu bertakwa, yakni terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi maupun ukhrawi, begitu kata Quraish Shihab. Mencermati tujuan puasa yaitu takwa ini menarik sekali. Bagaimana tidak, Allah secara fair menghadiahkan nilai takwa kepada mereka yang totalitas dalam menjalankan ibadah puasa.

Sebuah nilai yang tiada duanya. Dalam konteks ini, takwa dapat dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam mencermati, mengidentifikasi, dan mengarifi batas-batas tertentu sehingga ia tidak terjerembab dalam jurang israf (berlebih-lebihan). Dengan kata lain, takwa adalah peradaban tertinggi bagi manusia.

Mengapa hadiah “takwa” ini hanya diberikan kepada mereka yang berpuasa? Karena manusia – menurut Emha Ainun Najib – pada dirinya masing-masing, tidak punya waktu untuk mengenali presisi batas antara kebutuhan dan keinginan, antara semangat dengan nafsu, antara cinta dengan rasa-magnetik, antara cita-cita dengan khayalan, antara waspada dengan curiga, antara hati-hati dengan paranoia, antara optimisme dengan terburu-buru, antara sabar dengan lemah, antara arif dengan lembek, antara progresivitas dengan keserakahan, atau antara zuhud dengan rasa malas. Bahkan per kata dari semua itu juga tidak benar-benar dicari kejelasan satuan-satuannya. Di sinilah signifikansi peradaban “takwa” sebagai garis demarkasi.

Dengan demikian, hakikat puasa adalah mengendalikan nafsu bukan membunuh nafsu, ujar Quraish Shihab. Ketika menjalankan rukun Islam, lanjut Shihab, di antaranya puasa, tentu seseorang berupaya meneladani sifat-sifat Allah. Kebutuhan fa’ali manusia adalah makan, minum, hubungan suami dan istri, serta masih ada kebutuhan-kebutuhan lain di luar kebutuhan fa’ali.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip qaul Emha Ainun Najib,

“Puasa sebagai hakikat hidup mengajarkan kepada kita untuk tidak melampiaskan kebiasaan kita menurut kemauan kita sendiri, melainkan mau menahan diri karena mempertimbangkan kemaslahatan lebih luas. Sesungguhnya naluri dan akal sehat puasa merupakan muatan terpenting dari kehidupanmu. Bukankah makhluk puasa senantiasa mengontrol perutmu dengan pagar yang bernama rasa kekenyangan, tatkala nafsu makanmu mengalami kebutaan terhadap kapasitas makanan yang secara alamiah engkau butuhkan?

Ketika Allah memberi pernyataan bahwa ibadah puasa merupakan suatu jenis pengabdian yang khas dan berbeda dari ibadah-ibadah lainnya, karena oleh-Nya ditentukan “khusus untuk-Ku”, apakah kita menganggap bahwa dengan demikian Allah sangat membutuhkan puasa kita? Sehingga Ia memonopoli hikmah dan makna puasa kita? Dan karena itu pula kita menyangka bahwa yang memperoleh manfaat dari puasa kita bukanlah kita sendiri, melainkan Allah?’”. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia, M.Pd, Ustadz di Cariustadz

Tertarik mengundang ustadz Senata Adi Prasetia, M.Pd? Silahkan klik disini