Secara sederhana, orang-orang memahami bahwa alam sekitar diciptakan untuk kemakmuran manusia. Pandangan ini tidaklah keliru karena didasarkan pada dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun pada praktiknya, sering terjadi keserampangan dan penyelewengan yang menghantarkan pada kerusakan alam. Oleh sebab itu, penting kiranya bagi kita untuk merefleksikan ulang hubungan manusia dengan alam sekitar.
Bagi umat Islam, alam merupakan karunia Allah Swt. yang memiliki berbagai hikmah dan tujuan yang tak terhingga. Salah satu dari tujuan tersebut adalah menjadi wasilah bagi kemakmuran manusia. Bahkan, manusia pada hakikatnya ciptakan sebagai khalifah di muka bumi, yakni orang yang bertanggungjawab mengelola bumi secara bijaksana.
Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menundukkan bagimu (manusia) apa yang ada di bumi dan kapal yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit agar tidak jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia (QS. Al-Hajj ayat 65).
Secara umum, surah al-Hajj ayat 65 menginformasikan bahwa Allah Swt. telah menundukkan bagi manusia berbagai hal yang ada di bumi, lautan dan angkasa raya. Dengan menundukkan alam, manusia dapat mengambil manfaat darinya seperti memanfaatkan lautan sebagai sarana transportasi. Semua itu dilakukan sebagai bentuk rahmat dan kasih sayang Allah Swt. kepada manusia.
Ali al-Shabuni mengatakan surah al-Hajj ayat 65 sebuah pengingat bagi orang beriman bahwa Allah Swt. telah menundukkan segala macam keperluan bagi hambanya, mulai dari hewan, tumbuh-tumbuhan, hingga sungai dan lautan. Selain itu, Allah Swt. juga menundukkan benda langit agar tidak menimpa bumi dan menghancurkan seisinya. Ini semua dilakukan atas rahmat dan kasih sayang-Nya (Shafwat al-Tafasir [2]: 273).
Pandangan senada disampaikan oleh Imam al-Thabari dalam kitabnya, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an. Menurutnya, surah al-Hajj ayat 65 bermakna, “Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa Allah Swt. telah menundukkan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada di langit untuk keperluan manusia. Allah juga menundukkan lautan, kapal, dan langit dengan kekuasaannya untuk kemanfaatan manusia.”
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya Allah Swt. secara eksplisit telah mengizinkan manusia untuk memanfaatkan alam sebagai wasilah mencapai kemakmuran. Namun – tentu – pemanfaatan tersebut didasari dengan prinsip wasathiyah, moderasi, dan proporsional, karena Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
Sejauh Mana Pemanfaatan Alam bagi Manusia?
Meskipun dalam surah al-Hajj ayat 65 Allah Swt. telah menerangkan izin atau kebolehan pemanfaatan alam bagi kemakmuran manusia, namun bukan berarti hal itu bisa dilakukan secara membabi-buta. Sebab, pada surah ar-Rum ayat 40 Allah Swt. mengingatkan akan potensi kerusakan alam yang timbul akibat campur tangan manusia. Firman Allah:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum ayat 41).
Zamakhsyari menuturkan kala menafsirkan surah Ar-Rum ayat 41, kerusakan yang dimaksud pada ayat ini adalah kekeringan, musim kemarau panjang, kebakaran, tumbuh-tumbuhan mengering, hewan-hewan mati, banjir, berkurangnya pangan dan sebagainya. Ini semua terjadi akibat tangan-tangan jahat manusia yang menggerus alam secara serampangan (al-Kasysyaf: [3] 482).
Lantas bagaimana manusia sebaiknya memanfaatkan alam? Jawaban paling logis berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas adalah dengan memanfaatkan alam secara sadar, penuh tanggung jawab, dan berlandaskan keseimbangan (moderat). Dengan kata lain, manusia sebaiknya memanfaatkan alam secukupnya dengan meminimalisir kerusakannya.
Manusia tidak boleh mengeksploitasi alam secara berlebihan, apalagi itu dilakukan demi kepentingan pribadi semata. Namun bukan berarti manusia tidak boleh memanfaatkan alam. Posisi pemanfaatan alam haruslah di tengah-tengah antara tidak boleh dan berlebihan laksana sikap dermawan yang berada di antara sikap boros dan kikir.
Selain itu, penting untuk diingat bahwa meskipun manusia dibolehkan untuk memanfaatkan alam, namun pada hakikatnya mereka bukanlah pemilik alam. Manusia hanyalah khalifah di muka bumi, yakni orang yang diberi wewenang untuk mengelola bumi. Setiap wewenang – tentu – akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Wallahu a’lam.
Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag., Penyuluh Agama Islam Kemenag Kotabaru dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Muhammad Rafi, S.Ag., M.Ag.? Silakan klik disini