Islam melalui al-Qur’an sejatinya sangat menghargai seni dan keindahan. Misalnya surat Qaf ayat 6 mengajak manusia untuk memperhatikan dan merenungkan ciptaan Allah berupa alam semesta yang serasi dan indah. Al-Qur’an juga menyebutkan banyak sekali keindahan seperti istana Sulaiman, juga keindahan taman dan bangunan di surga yang menginspirasi para arsitektur dalam membangun karya mereka. Seni dalam Islam dimaksudkan untuk menemukan dan mengagungkan yang Maha Indah dan mencintai keindahan.
Sayangnya, nilai-nilai seni islami mulai tergerus oleh seni-seni barat yang mengesampingkan akhlak dan nilai kebenaran. Sehingga mayoritas ulama’ kemudian memberikan batasan yang ketat terkait seni, baik seni suara maupun seni rupa. Baru-baru ini sedang hangat perdebatan lama tentang salah satu hukum seni suara, yaitu musik. Penjelasan yang disampaikan oleh Ustadz Adi Hidayat (UAH) terkait hukum musik memicu reaksi publik terutama dari kalangan yang menganut paham keharaman musik secara menyeluruh tanpa pengecualian.
Sebagai umat yang diperintahkan untuk terus belajar dan selalu berada di poros moderat (ummatan wasathan) sesuai ketetapan surat al-Baqarah ayat 143, maka sikap kita terhadap perdebatan tersebut sebaiknya biasa saja. Mengingat perdebatan tentang hukum musik adalah perdebatan klasik. Sudah banyak fatwa yang mempertemukan antara pendapat ulama’ salaf yang mengharamkan dan pendapat ulama’ yang membolehkan. Salah satu tolok ukurnya adalah tujuan dan nilai moral musik itu sendiri. Apabila tujuannya berpotensi untuk sesuatu yang tidak baik, maka sudah barang tentu dilarang. Begitu juga apabila tidak ada nilai moral, kebenaran dan manfaat yang dapat diambil darinya, bahkan mungkin menyertai hal-hal yang dilarang, maka musik semacam itu dilarang.
Salah satu kegunaan musik yang diperbolehkan diantaranya adalah untuk meningkatkan semangat dan pengusir kantuk, seperti genderang perang ataupun drum band dalam pembukaan event-event islami. Boleh juga sebagai musik latar supaya sebuah acara lebih terasa khidmat dan merasuk dalam jiwa pesertanya, misalnya dalam rangka haflah ataupun wisuda. Penggunaan musik dalam kegiatan semacam ini umum dilakukan, bahkan oleh negara yang mayoritas masyarakatnya penganut madzhab yang melarang musik secara mutlak.
Sebaiknya tidak terburu-buru menghakimi penganut pendapat tertentu. Bisa jadi, yang menyuguhkan aneka pendapat sebenarnya hendak merangkul seluruh umat apapun golongannya. Bisa jadi pula, yang menolak keras kebolehan musik adalah karena kecintaan dan pembelaannya kepada agama yang amat kuat berdasarkan apa yang dipahaminya dari agama. Oleh karena itu, sebagai umat yang baik hendaknya memilih untuk mendamaikan dan mengkompromikan perbedaan. Jika tidak mampu, maka sebaiknya diam dan tidak perlu menyulut api kontroversi lebih membara. Sebab, tabiat manusia adalah membela pendapatnya apabila dijatuhkan.
Semoga kita menjadi warga muslim Indonesia yang rukun dengan berbagai madzhab dan aneka pendapat. Sebab, bumi tempat kita berpijak adalah bumi yang ramah dengan perbedaan. Dan tidak mudah tersulut api perpecahan, karena semuanya sadar bahwa perbedaan adalah sunnatullah atau sebuah keniscayaan. Wallahu a’lam.
Khoirul Muhtadin, M.Ag., Dosen STIQ Asy-Syifa dan Ustadz di Cariustadz
Tertarik mengundang Khoirul Muhtadin, M.Ag.? Silakan klik disini